Mengurai Kompleksitas Problem Keadilan Sosial di Indonesia: Uraian Singkat atas Pemikiran Buya Syafii Maarif

Haryanto*))
“Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.” Kalimat tersebut merupakan prinsip yang tak bisa ditawar lagi kekuatannya dalam membangun sebuah tatanan masyarakat ideal yang terbuka, demokratik, toleran, dan damai. Karena keberadaan kita yang senantiasa bersinggungan kepada aneka perbedaan yang multikultur, multi agama, dan multi ideologi, sehingga menjadi suatu keniscayaan untuk menggalang persatuan dengan mencari titik temu di balik perbedaan-perbedaan yang biasanya hanya berada pada wilayah permukaan.
Menafikan semua itu, dengan memupuk rasa saling kecurigaan antar sesama, berarti sama halnya dengan mengamini perpecahan yang dapat berujung kepada pertumpahan darah. Konflik yang berkecamuk di Aceh, Sampit, Maluku, Poso, dan Papua, yang telah memakan korban besar kiranya dapat menjadi pelajaran berharga agar kita tidak mengulangi tragedi yang serupa, yaitu dengan memupuk semangat persaudaraan sebangsa dan setanah air tanpa memandang suku, ras maupun agama.
Secara historis, ciri utama multikulturalisme adalah adanya kenyataan tentang kebutuhan manusia terhadap pengakuan, dan perlunya legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam perspektif ini, multikulturalisme dapat dijadikan benteng terhadap monokulturalisme sebagai bawaan dari gelombang globalisasi alias perpanjangan radius peradaban ekspansif Barat modern, dalam arti positif atau negatif. Yang positif menyangkut dimensi ilmu dan teknologi yang bergerak dengan kencang, sedangkan yang negatif adalah serbuan nihilisme yang menafikkan peran agama—baik sebagai nilai maupun institusi sosio-kultural.
Dengan adanya pengakuan dan legitimasi nilai-nilai budaya atau suatu masyarakat yang beragam, maka kecenderungan yang serba mono (tunggal) dapat dihadapi dengan sikap percaya diri, karena apa yang dimiliki bangsa Indonesia belum tentu usang yang harus segera dibuang. Dengan kata lain, manusia Indonesia dapat menginternalisasikan falsafah “berpikir global dengan tindakan lokal” dan membuang jauh-jauh “mental budak dengan berjiwa kerdil.”
Filsafat multikultural jika tidak disikapi dengan hati-hati, dapat pula menyuburkan kebanggaan terhadap budaya lokal atau nasional, tanpa sikap kritikal. Oleh sebab itu, mosaik subkultur Indonesia yang kaya dan beragam haruslah senantiasa membuka diri terhadap unsur-unsur luar yang positif, agar terhindar dari keterasingan lintas budaya, dalam proses memberi dan menerima.
Di antara sederet tokoh di negeri ini yang mencoba memperjuangkan pandangan di atas adalah Ahmad Syafii Ma’arif. Sebagai bapak bangsa, secara terbuka, beliau menyatakan persetujuannya kepada hakikat pluralisme agama dan budaya, sebagai paradigma alternatif untuk menuju masyarakat ideal—dengan catatan—yang berdasarkan keseimbangan moral dan material. Masyarakat ideal adalah sebuah tatanan masyarakat yang telah mencapai titik “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Catatan Buya Syafii tentunya dapat ditelusur melalui kerangka logika sederhana. Manusia tanpa moral maka ia akan menjadi hewan yang akan memangsa siapa saja, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat industri di negeri-negeri Barat maju yang mempraktekkan sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan manusia tanpa pemenuhan kebutuhan material maka ia tak akan mampu bertahan hidup, karena fitrah manusia yang selalu membutuhkan sandang, pangan dan papan.
Sejalan dengan konsep manusia yang dinyatakan oleh Ali Syari’ati bahwa manusia adalah makhluk dua-dimensional yang memiliki dua kecenderungan. Pertama, manusia dapat berada pada tahap stagnasi sedimenter, ke dasar hakikatnya yang rendah dimana seluruh dorongan dan gerak kehidupannya akan membeku, terbenam ke dalam rawa-rawa hakikatnya yang hina (menuju kehidupan material). Kedua, menusia juga dapat berada pada posisi puncak spiritual tertinggi (menuju moralitas-spiritual).
Sikap Indonesia Terhadap Pluralisme
Dalam sejarah Indonesia pernah dicatat persahabatan erat dan produktif antar tokoh-tokoh bangsa yang berbeda agama. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Natsir atau Prawoto Mangkusasmito dengan I.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M Tambuan, atau J. Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya.
Sayangnya, model kepemimpinan multikulturalis tersebut tak banyak ditauladani oleh generasi sesudahnya hingga sekarang. Bahkan, para pemimpin bangsa di tingkat elite pada sekarang ini, justru saling baku hantam untuk saling menjatuhkan antara satu dengan lainnya, seperti kisah perseteruan yang pernah hangat dibicarakan oleh media massa antara SBY-Amien, SBY-Zaenal maarif, maupun SBY-JK.
Menurut Buya Syafii, beberapa sebab yang melatar belakanginya adalah: Pertama, generasi sekarang tidak mengalami revolusi kemerdekaan yang dramatis yang telah berhasil membangun persahabatan, seperti, Natsir-Kasimo-Johannes. Memang ada gerakan reformasi 98, tetapi integritas pribadi para pemimpinnya tampaknya tak sekokoh generasi sebelumnya. Kedua, godaan politik pada saat ini lebih dahsyat, sehingga ketulusan seseorang sering terkontaminasi oleh godaan pragmatisme politik yang berwujud jabatan dan uang. Ketiga, Isu yang mempertentangkan antar agama kian masif didengungkan oleh pemimpin-pemimpin agama, seperti, isu kristenisasi, sehingga menyuburkan rasa saling curiga antara pemeluk Islam dan Kristen.
Kesadaran akan keberagaman juga telah membawa para founding fathers kita untuk merumuskan konsep pluralisme dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Sebagai bentuk resistensi terhadap sifat ke-aku-an yang biasa ditonjolkan oleh tiap-tiap kelompok identitas. Namun pada saat ini, semboyan tersebut seakan-akan hanya muncul sebatas kata tanpa makna, dimana peperangan antar suku dan sikap intoleran terhadap pemahaman keagamaan masih tetap tumbuh dengan suburnya.
Munculnya deklarasi Sumpah Pemuda pada tahun 1928 juga merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan “persatuan di antara perbedaan” yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi penjajahan kolonial, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Pada waktu itu, berkumpul berbagai kelompok anak muda yang datang dari berbagai penjuru tanah air: Maluku, Sulawesi, jakarta, Sunda, Sumatra, dan lain-lain. Perbedaan nilai-nilai budaya yang terdapat pada masing-masing kelompok ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap semangat persatuan yang telah membuncah.
Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan, pencoretan “tujuh kata” dalam pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta pun dapat dipahami dalam konteks menghargai pluralisme ini, yaitu agar tidak terjadi arogansi masyoritas pemeluk agama terhadap yang minoritas.
Pemerintah Orde Baru juga telah menggalakkan jenis pluralisme sosial (bukan politik), dengan alasan untuk memperkuat persatuan nasional, misalnya dengan menghindari permasalahan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dalam hal ini, Indonesia memiliki kelebihan dalam beberapa hal dari pada negara-negara lain. Dalam konteks keagamaan, misalnya, negara-negara lain, termasuk Barat, pada umumnya hanya memberikan kebebasan kepada berbagai agama untuk hidup, sementara tradisi keagamaan dalam konteks kenegaraan didominasi oleh agama mayoritas, seperti pengakuan hanya hari libur agama mayoritas saja yang dijadikan sebagai hari libur resmi. Di Indonesia, hari besar agama minoritas juga dijadikan sebagai hari libur resmi, dan bantuan negara juga diberikan kepada pemeluk agama minoritas.
Memodernisasikan Manusia Indonesia
Secara historis, modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans di Eropa pada abad ke XVI, berlanjut pada rasionalisme pada abad-abad berikutnya, dan kemudian berpuncak pada sekularisme, materialisme, dan ateisme pada abad 19/20. Gerakan Renaisans adalah gerakan yang ditegakkan atas sendi antroposentrik, dimana manusia menjadi pusat dan ukuran dari segala sesuatu. Sedangkan perhatian utamanya terfokus kepada persoalan kekinian dan kedisinian, membebaskan manusia dari kegamangan menghadapi kehidupan dan melepaskan dari segala beban moral yang dapat merintanginya untuk meraih kehidupan duniawi.
Dalam realitasnya, modernisasi merupakan perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau pra modern kepada suatu masyarakat yang modern. Dengan kata lain, kehidupan modern adalah keniscayaan sejarah yang kehadirannya tak mungkin dibantah, sebagaimana keniscayaan terhadap pluralisme. Sehingga, menolak modernisme yang berarti rasionalisasi adalah sama artinya dengan menolak kemajuan.
Perubahan menuju manusia modern tersebut kemudian juga membawa efek terhadap sistem birokrasi dan kekuasaan, yang pada awalnya berbentuk feodalistik, seperti kerajaan dan dominasi institusi agama, menjadi birokrasi negara yang lebih rasional.
Dengan demikian, modernisasi dalam konteks Indonesia akan bermakna positif jika diartikan sebagai proses rasionalisasi yang akan berimplikasi kepada cara berpikir manusia yang magis menuju kebebasan berpikir dengan berbasis keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, menjadi negatif jika maknanya adalah proses Westernisasi (pembaratan) yang berarti menyeragamkan konstruk budaya Timur dengan Barat, dan menafikkan peran moral-spiritual dalam membangun tatanan masyarakat yang ideal.
Berpikir bebas sejatinya adalah hak setiap manusia, memasungnya adalah sama halnya dengan mengambil setengah dari kehidupan. Bebas berarti manusia dapat memilih apa saja untuk dipikirkan, tidak ada yang haram untuk dipikirkan, semuanya tergantung kepada pilihan dan kesanggupan seseorang untuk memikirkannya. Jikalau pun ada batas, maka batas-batas itu bersifat internal, yaitu pilihan obyek berpikirnya atau cara kerja internalnya sendiri, yang menyangkut cara dan metode yang ditempuh.
Rasionalitas manusia adalah sesuatu yang harus dikedepankan agar terwujud sebuah tatanan masyarakat yang teratur, stabil, dan terus maju ke depan. Oleh karena itu, rasionalitas harus dipahami sebagai sesuatu yang faktual, dalam arti ada di dalam diri manusia—walaupun tidak seluruhnya—dan juga sesuatu yang ideal normatif.
Masyarakat Indonesia yang akar kebudayaannya amat besar dipengaruhi oleh tradisi Kraton dengan nuansa mistis yang amat tinggi, tentunya memiliki kebutuhan untuk segera memodernisasikan dirinya agar dapat bersanding dengan bangsa-bangsa lain. Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pra syarat mutlak untuk meraih itu semua.
Islam dan Modernitas
Dalam konteks keindonesiaan, agama (Islam) sebenarnya memiliki potensi yang teramat besar untuk meletakkan pondasi kokoh bagi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena secara kuantitas memiliki massa yang juga besar. Dalam kitab suci pun telah tertulis: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi kaum yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu bersikap tidak adil. Berlaku adillah, (karena) ia (keadilan) itu lebih hampir kepada taqwa, dan bertaqwalah kepada Allah, karena Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dengan demikian, Islam seharusnya dapat mewujudkan visi universalnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Namun, bila meneropong kondisi moral bangsa sekarang ini, sepertinya agama belum berfungsi secara benar dan efektif dalam kehidupan kolektif bangsa secara keseluruhan. Terlalu banyak penyimpangan dan bahkan kejahatan moral yang dilakukan dengan mengatas-namakan Islam. Sebagaimana mengenai fenomena merebaknya radikalisme agama dengan metodologi dakwahnya yang keras, yang dicap oleh Buya Syafii sebagai kelompok yang tidak menghiraukan prinsip kearifan yang amat ditekankan oleh Rasulullah SAW.
Kelompok radikal Islam memiliki tujuan utama yaitu melakukan formalisasi syariat guna terbentuknya negara Islam. Bagi Buya Syafii, Islam sama sekali tidak mementingkan nama sebuah negara, yang diinginkan Islam adalah cita-cita moralnya, cita-cita sosio-potik-ekonominya berupa keadilan, keamanan, kemakmuran, kesejahteraan, persamaan, persaudaraan, toleransi, kejujuran, dan nilai-nilai luhur lainnya. Semua nilai ini hanya terwujud apabila tersedia kekuatan institusi yang mendukung. Dan, di era sekarang, alat dukung yang paling efektif adalah negara. Jadi, dari sudut pandang Islam, negara penting bagi agama, tanpa mempersoalkan nama negara itu.
Islam seharusnya berperan dalam mengawinkan antara kekuatan spiritual dengan perbuatan baik dan mulia dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, nilai-nilai Islam yang meliputi kejujuran (QS. 9: 119), keadilan (QS. 16: 90), tanggung jawab (QS. 5: 8), hormat (QS. 4: 86), disiplin (QS. 46: 13), kerja keras (QS. 94: 7), dan kreatif-inovatif (QS. 2: 30) harus senantiasa diinternalisasikan oleh setiap pribadi umat. Khususnya bagi para pemimpin bangsa ini selayaknya bekerja keras untuk menggapai setiap nilai-nilai Islam tersebut.
Di samping itu, umat Muslim juga harus memahami mengenai perjumpaan Islam dengan budaya lain, terutama budaya industri modern. Hal tersebut harus direspon secara kreatif supaya sikap yang diambil tidak menimbulkan dampak buruk, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam perjumpaan budaya, budaya yang lebih rendah harus belajar dari budaya yang lebih tinggi. Dalam perjumpaan itu sekarang ini, budaya umat Islam lebih rendah dari budaya industri modern. Dalam politik dan ekonomi, misalnya, umat Islam di samping harus mengembangkan sistem kepartaian dan perbankan yang belum dikenal di masa pra modern, juga harus menggali dan mengaktualkan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti disiplin dan kerja keras. Tanpa itu semua, universalitas Islam tak akan dapat diwujudkan, dan Islam dapat tersingkir dari panggung sejarah dunia karena mengalami keterasingan dan kegagapan dalam menjalani kehidupan.
Posisi umat muslim sebagai mayoritas warga negara Indonesia dan prinsip-prinsip moralitas Islam yang universal, menurut Buya Syafii, dapat menjadi faktor utama untuk mengintegrasikan bangsa Indonesia dari pelbagai konflik yang sering melanda.Dan, kuncinya terletak kepada para pemimpin agama untuk menyampaikan mengenai betapa pentingnya merajut persaudaraan antar sesama warga negara.
Ruang Publik yang Adil
Secara teoritik, ruang publik merupakan suatu wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan kita membentuk opini publik, dimana semua warga masyarakat dengan beragam identitasnya berpeluang sama untuk memasukinya guna memperbincangkan kepentingan umum tanpa paksaan dan bebas dominasi agar terjadi kesepekatan bersama. Dengan demikian, diskriminasi terhadap kelompok minoritas akan dapat diminimalisir, atau bahkan dihilangkan, sehingga terwujud sebuah keadilan sosial.
“Kepentingan umum” adalah kata kunci yang harus dipahami bersama. Karena kepentingan umum belum tentu kepentingan mayoritas, bisa jadi, apa yang diopinikan oleh kelompok minoritas justru merupakan kepentingan umum yang menjadi kebutuhan seluruh warga. Mendahulukan kepentingan mayoritas daripada kepentingan umum adalah sama halnya dengan pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi (keadilan sosial), karena hal tersebut mewujud sebagai arogansi mayoritas yang bertolak-belakang dengan keadilan dan kesetaraan.
Kepentingan umum dapat berupa: hak mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara layak, hak mengakses informasi dan infrastruktur publik, hak mendapatkan perlindungan hukum, dan hak untuk berpartisipasi politik, serta hak untuk menjalankan ibadah menurut kepercayaannya masing-masing, dan yang terpenting adalah hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Adalah negara yang diberikan mandat untuk menata masyarakat dalam mengatur ruang publik dan juga untuk menjaga aturan main dalam ruang publik kenegaraan. Sehingga setiap kepentingan umum dapat terdistribusikan secara merata kepada rakyat secara keseluruhan.
Pemimpin Demokratis
Adalah kepemimpinan demokratis dan mewujudnya keadilan di dalam ruang publik yang dapat menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat ideal. Kedua hal tersebut merupakan instrumen dasar yang saling terkait, dimana para pemimpin demokratis (menghargai perbedaan) yang memiliki visi masa depan harus berjuang mengadakan ruang publik yang adil agar rakyat bebas mengekspresikan kebutuhannya secara langsung, tanpa takut diintimidasi atau dicekal. Dengan demikian, tak ada lagi pemimpin yang mengatakan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat, karena rakyat lah yang akan mengoperasikan lidahnya sendiri.
Kelumpuhan demokrasi dan hilangnya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang utama disebabkan oleh kegagalan kita menampilkan kepemimpinan nasional dan lokal yang memiliki visi dan gagasan yang tajam tentang demokrasi dan keadilan. Kenyataan yang muncul dalam proses kepemimpinan politik di Indonesia, kebanyakan hanya berorientasi pragmatis, dengan mengedepankan suatu posisi prestise untuk melakukan perbaikan ekonomi pribadi atau golongan. Politikus yang rakus semacam inilah yang disebut oleh Buya Syafii sebagai politikus rabun ayam.
Demokrasi yang sehat memang tidak akan terwujud tanpa adanya rasa tanggungjawab dan toleransi politik antar para elit. Menurut Buya Syafii, negarawan Indonesia yang memiliki visi ke depan bagi bangsa ini sangat kurang. Pasungan sistem politik otoritarian selama 4 dasawarsa (1959-1998) telah menghalangi munculnya darah segar dan bibit baru ke panggung kepemimpinan nasional ataupun kepemimpinan lokal. Oleh sebab itu, para elite politik seharusnya bersedia berkaca diri agar tampang bopeng itu terlihat lebih nyata. Setelah mereka mencermati betul wajah mereka, maka mereka harus cepat mengubah cara berpikir yang terlalu bersifat egoistik-parokialistik menjadi paradigma kenegaraan yang visioner yang lebih mementingkan masa depan bangsa.
Keadilan Sosial
Pada saat ini, visi besar yang harus dijalankan oleh para pemimpin bangsa ini adalah menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setidaknya terdapat dua prinsip keadilan yang harus diterapkan, yaitu (1) setiap warga negara memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar; (2) kesenjangan sosial dan ekonomi harus dikelola sehingga dapat menguntungkan semua orang serta semua jabatan/ posisi terbuka bagi semua orang. Dengan demikian, Keadilan bukanlah seperangkat kebijakan maupun aturan yang dipaksakan, melainkan sistem nilai yang disepakati bersama dalam tiap-tiap komunitas dan diiringi dengan persebaran ekonomi yang adil serta persaingan politik yang sehat.
Keadilan dalam definisi yang paling elementer adalah “perbuatan untuk menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat dan benar.” Dan, kemerdekaan Indonesia adalah untuk mewujudkan keadilan tersebut. Menurut Hatta, bapak proklamator yang cukup dihormati oleh Buya Syafii, menyatakan bahwa cita-cita demokrasi Indonesia bersumber kepada tiga hal: Pertama, paham sosialis Barat karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan sekaligus menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarumat manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat Indonesia yang ditegakkan atas prinsip kolektivisme.
Keadilan sosial yang telah mewujud secara nyata dalam kehidupan masyarakat akan membawa kepada kemaslahatan berupa persatuan dan kesatuan bangsa secara utuh. Karena tak ada lagi bagian-bagian dari warga negara yang merasa tak terakomodir kepentingannya, dan konflik yang sering melanda bangsa ini pun akan hilang dengan sendirinya.
Problem ketidakadilan di Indonesia kontemporer sebenarnya lebih kepada tidak adanya pemahaman yang mendalam terhadap pluralisme. Akibatnya, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan atau bahkan disingkirkan dari proses berkehidupan di Indonesia.
Kesimpulan
Keberagaman yang menjadi identitas bangsa Indonesia ternyata harus disikapi dengan menjunjung pluralisme budaya dan agama agar terwujud sebuah tatanan masyarakat ideal yang terbuka, demokratik, toleran, dan damai. Sikap eksklusif, sebagaimana yang terejawantahkan dalam kelompok Islam Radikal, seyogyanya dibuang jauh-jauh karena dapat menimbulkan disintegrasi keutuhan bangsa.
Keinginan tersebut hanya akan terwujud jika pemimpin bangsa ini memiliki pola pikir yang multikulturalis sehingga mampu mengadakan ruang publik yang adil dimana setiap kepentingan umum dapat terdistribusikan kepada seluruh warga.
Kemudian, dalam pemaparan tentang pemikiran Syafii Maarif di atas, secara implisit juga mengandung pesan: Jangan pernah meninggalkan faktor historis dan sosiologis jika berkeinginan memperbaiki kondisi bangsa ini secara utuh. Sebab, banga Indonesia dibangun di atas sejarah perjuangan para pahlawan yang telah rela mengorbankan jiwa dan raga secara tulus. Kemudian rekonstruksi sejarah tersebut harus dikontekstualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian yang merupakan ruang dan waktu tempat kita menjalani hidup, dan merumuskan masa depan.
Di samping itu, Buya Syafii sebagai anak bangsa yang terlahir dari rahim Islam, juga tetap memperjuangkan Islam sebagai agama yang memiliki visi besar bagi kehidupan, yaitu “rahmat bagi seluruh alam.” Sehingga, kebenaran Islam tak hanya terkhusus bagi kaum muslimin semata, tetapi bagi semua manusia dan alam semesta sebagai tempat manusia berpijak.
Daftar Pustaka
Achmad, Nur (editor). 2001. Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Kompas.

Maarif, Ahmad Syafii. 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________________. 2004. Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan. Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
_________________. 2004. Artikel: Masjid Kampus dan Pembentukan Moral Pemimpin Bangsa. Majalah Missi.
_________________. 2004. Makalah: Indonesia Baru Di Tengah Pertarungan Antara Mosaik Budaya Yang Elok dan Kaya Dengan Ancaman Keserakahan. Disampaikan pada acara penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX pada tanggal 20 Desember 2004 di UGM.
Rawl, John. 2006. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shariati, Ali. 1982. Tugas Cendekiawan Muslim. Yogyakarta: Shalahuddin Press.

*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mengurai Kompleksitas Problem Keadilan Sosial di Indonesia: Uraian Singkat atas Pemikiran Buya Syafii Maarif”:

Leave a comment