LIBERALISME; SEBUAH ANTITESA ATAS FEODALISME-OTORITARIAN

Haryanto*))
Dikotomisasi kelompok keagamaan dalam kancah dunia pemikiran sepertinya sudah menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Mau tidak mau, apapun kelompok agamanya, se-universal apapun konsepsinya, pasti akan mendapatkan stempel kategorisasi. Penerapan pola pikir demikian memang akan berdampak kepada pereduksian besar-besaran terhadap ajaran kelompok agama tertentu, dan akan membatasi ruang geraknya. Meski demikian, bukan berarti hanya nilai negatif saja yang menempel pada pe-label-an tersebut, kita juga tidak dapat me-nafi'-kan peran positifnya, paling tidak memudahkan proses penganalisaan para analisator dengan metode logika kategorisasi.
Akhir-akhir ini, pendikotomisasian agama yang paling populer di masyarakat, dan yang paling gencar diekspos oleh media adalah "fundamentalisme" dan "liberalisme". Dua kubu yang distigmakan saling bertolak-belakang dan selalu melakukan persaingan. Biasanya, kelompok yang dikategorikan fundamentalis akan distigmakan dengan kekolotan, pemahaman salaf, sulit bergaul dengan komunitas lain, mendewakan tradisi, tekstual, tidak produktif dalam pencerahan sosial, kekerasan, ekstrim, garis keras, atau teroris . Sedangkan kelompok yang dikatakan liberal condong distigmakan kepada kebebasan, kesetaraan, demokratis, toleran, mendewakan modernitas, menolak absolutisme, sesuai dengan realitas zaman, dan banyak melahirkan solusi masalah kontemporer.
Pada kesempatan kali ini, kami akan mendeskripsikan secara konprehensif dan mendalam mengenai liberalisme, bukan hanya yang berkaitan dengan fenomena ke-agama-an tetapi akan dideskripsikan pula tentang liberalisme pada dataran ekonomi, politik, sosial. Berangkat dari pengertian, asal-usul, pemikiran yang diangkat, hingga pengaruhnya terhadap kehidupan beragama (khususnya Islam).
Pengertian Liberalisme
Secara harfiah liberal berarti "bebas" , sedangkan isme berarti faham, jadi liberalism dapat dikatakan sebagai faham kebebasan yang melingkupi semua lini kehidupan, baik politik, ekonomi, budaya, maupun agama. Dalam bahasa John Locke, liberalism merupakan pengejawantahan dari tiga esensi modernitas, yakni, rasionalitas, kebebasan, dan persamaan . Penjelasan lebih spesifik juga diuraikan oleh Benjamin Constant, menurutnya liberalisme adalah ekspresi "kebebasan modern". Jadi, kebebasan yang selama ini disaksikan oleh AS, Perancis, dan Inggris merupakan temuan baru modernitas yang secara diametral berbeda dengan kebebasan yang ada di caman kuno. Kebebasan modern yang dimaksud Constant terutama adalah yang menyangkut kebebasan individu dalam menikmati kehidupan privatnya tanpa direcoki campur tangan negara.
Istilah "liberal" pada prinsipnya cukup erat kaitannya dengan dikotomi antara liber dan servus. Yang pertama mengacu pada "warga negara" yang bebas, sedangkan yang kedua berarti "budak" yang tidak bebas karena senantiasa berada dalam dominasi tuannya. Dalam pengertian klasik, liber, sang warga negara bebas dalam arti tidak berada dalam dominasi siapa pun. Pengertian ini adalah bebas yang terdapat dalam tradisi republik.
Sejalan dengan Ahmad sahal, bahwa liberalisme merupakan pengaturan kehidupan publik yang mendasarkan diri pada kontrak. Karena itu, ia bersandar pada aturan yang disepakati bersama. Yang dijadikan dasar legitimasi bukanlah kitab suci melainkan rasionalitas kolektif sehingga kekuasaan dapat dikontrol dan dikoreksi, juga agar absolutisme yang menyulut perang agama tidak terulang lagi .


Historisitas Liberalisme
Pencarian akar tentang asal-usul fenomena liberalisme memang telah banyak pakar yang berkonsentrasi didalamnya, baik yang bertujuan untuk mengukuhkan ataupun menyerang. Namun bukan berarti sudah tidak ada celah bagi kita untuk menguak sisi lain historisitas liberalisme semenjak kemunculan hingga eksistensinya sampai sekarang ini. Pada sub bab ini saya akan membagi tiga fase mengenai sejarah liberalisme, dimulai dari liberalisme awal, liberalisme pertengahan, dan liberalisme mutakhir.
Sejarah liberalisme merupakan sejarah kebebasan individu modern dan pembebasannya dari absolutisme kekuasaan. Sejak akhir abad ke17, seiring dengan makin kokohnya perdagangan dan pencerahan di Eropa, muncul kesadaran di kalangan masyarakat Barat akan pentingnya kebebasan individu. Mereka merasa letih dengan perang agama dan sumpek dengan despotisme ancient regime (rezim zaman kuno) .
Kemudian yang menjadi penting juga bahwa kemunculan liberalisme tidak terlepas dari perlawanan terhadap ketidakadilan yang diciptakan pada masa pramodern. Liberalisme yang lahir di Eropa abad ke-17 sangat bertaut erat dengan perlawanan terhadap ketidakadilan kekuasaan monarki. Liberalisme lahir sebagai upaya melindungi hak-hak sipil warga negara dari kekuasaan absolut sang raja.
Liberalisme awal adalah produk dari Inggris dan Belanda, serta mempunyai suatu karakteristik yang menonjol, seperti, membela toleransi beragama; liberalisme itu Protestan, tetapi lebih bersifat bebas daripada fanatik; liberalisme menganggap peran "agama" sebagai kebodohan; liberalisme menghargai perdagangan dan industri, serta lebih mendukung bangkitnya kelas menengah daripada monarki dan aristokrasi; liberalisme menjunjung tinggi hak-hak kepemilikan, khususnya ketika terakumulasikan oleh buruh yang dimiliki secara individual .
Liberalisme awal bercirikan optimistik, energik, dan filosofis, karena memiliki kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh. Liberalisme menentang segala yang berbau abad pertengahan, baik dalam filsafat maupun politik. Sikap ekstrim ini terjadi karena teori-teori abad pertengahan telah digunakan untuk mendukung kekuasaan gereja dan raja, menjustifikasi penganiayaan, dan menghalangi bangkitnya sains. Pada masa pertengahan, gerak pemikiran mengalami traansformasi, gagasan-gagasan yang dianggap bersifat religius menempati kedudukan yang lebih tinggi di gereja, sedangkan gagasan-gagasan yang cenderung rasional disingkirkan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman. Liberalisme awal ingin mengakhiri pertikaian antara teologi dan politik demi mengerahkan energi manusia untuk kegiatan-kegiatan perdagangan dan sains yang mengasyikkan.
Liberalisme awal bercirikan individualistik dalam perkara-perkara intelektual, juga dalam bidang ekonomi, tetapi tidak mementingkan diri sendiri secara emosional dan etis. Bentuk liberalisme yang demikian ini mendominasi Inggris pada abad ke 18, para pembuat konstitusi di Amerika, dan para penyusun kamus di Perancis. Ketiga wilayah tersebut memang cukup dominan dalam pengamalan liberalisme, tetapi Amerika-lah yang sebenarnya mencapai keberhasilan terbesar semenjak 1776 hingga sekarang atau setidaknya sampai tahun 1933 tanpa hambatan dari feodalisme dan gereja negara .
Liberalisme awal juga mendapatkan spirit dari perjuangan Martin Luther dalam memberontak terhadap dogma absolutisme gereja yang pada akhirnya memunculkan aliran baru dalam Kristen, yaitu Protestan. Kaum protestan menolak gereja sebagai pembawa wahyu, sebab dewan-dewan umum gereja tetap bisa salah. Kebenaran hanya wajib dicari dalam bibel, yang dapat ditafsirkan oleh setiap manusia untuk dirinya sendiri. Jika manusia menafsirkannya secara berbeda, tidak ada otoritas yang ditunjuk Tuhan untuk memutuskan perbedaan tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya liberalisme mulai bertransformasi menjadi lebih mekanistik. Seiring ditemukannya berbagai peralatan industri, sehingga menggantikan kerja manusia dengan mesin-mesin cepat yang dapat menghasilkan produksi lebih tinggi.
Liberalisme masa kini pada dasarnya tidak jauh berbeda mengenai prinsip yang dianutnya, hanya saja, sekarang liberalisme dibantu dengan proyek globalisasi untuk menancapkan cengkraman liberalisme.
Konkritnya, pada abad ke-17 liberalisme datang untuk dirasakan sebagai kekuasaan yang melekat dalam alam, dan manusia yang berkemajuan bebas menjadi sebab utamanya. Memasuki abad ke-18, akal meletus dan menghasilkan prinsip-prinsip baru tentang kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kritisisme liberal menjadi tanda untuk menentukan waktu-waktu modern, baik dalam oposisi maupun dogmatisme. Pada abad ke-19, positivisme merubah semuanya menjadi alam materi, mengakhiri konsep-konsep ketuhanan dan konsep-konsep romantisme alam. Pada abad ke-20, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi idealisme baru yang mendominasi masyarakat yang berpuncak pada teori-teori baru tentang informasi.
Implikasi Liberalisme
Meskipun spirit liberalisme berawal dari semangat kebebasan atas feodalisme-otoritarian gereja, tetapi pada perkembangan selanjutnya liberalisme cukup mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan manusia yang paling prinsipil, seperti politik, ekonomi, pendidikan, pemikiran, dan agama.
• Liberalisasi Ekonomi
Menurut Refrisond Baswir , liberalisme ekonomi (kapitalisme) sampai saat ini telah mengalami tiga bentuk transformasi: (1) kapitalisme feodal; (2) kapitalisme mekanistis; (3) kapitalisme finansial (uang).
• Liberalisasi Politik
Bentuk kokret dari liberalisasi politik adalah demokrasi konstitusi. Demokrasi konstitusi merupakan gagasan liberalisme yang dibawa oleh John Locke. Karena terus meluasnya gagasan-gagasan Locke, kemudian merasuk ke dalam konstitusi Amerika, hingga terumuskan sembilan pilarnya: (1) Pemerintahan berdasarkan konstitusi; (2) Pemilihan umum yang demokratis; (3) Federalisme, pemerintahan negara bagian (otonomi daerah); (4) Pembuatan undang-undang; (5) Sistem peradilan yang independen; (6) Kekuasaan lembaga kepresidenan; (7) Peran media yang bebas; (8) Peran kelompok-kelompok kepentingan; (9) Hak masyarakat untuk tahu .
Gagasan Demokrasi Konstitusi John Locke juga dipakai oleh Inggris hingga tujuh puluh lima tahun yang lalu. Pada tahun 1871, Perancis mulai mengadopsi pula ide John Locke.
• Liberalisasi Pendidikan
Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa dalam masyarakat itu pasti ada masalah, tetapi pendidikan tidak ada hubungannya dengan permasalahan seperti ekonomi dan politik. Namun dalam dataran praksis, pendidikan liberal tetap menyeseuaikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, misalnya dengan membangun kelas dan fasilitas baru dan memodernkan peralaatan sekolah. Selain itu, juga berbagai investasi untuk meningkkatkan metodologi pengajaran yang lebih efisien dan partisipatif .
• Liberalisasi Agama
Proses liberalisasi-pun kemudian mengambil pengaruh besar terhadap agama. Setelah proyek pembebasan dari cengkeraman absolutisme-feodal, selanjutnya metodologi mengenai pemahaman keagamaan-lah yang menjadi sasaran. Misal, muncul pemikiran Yahudi liberal dengan tokohnya Abraham Geiger, dan lahirnya teologi liberal dalam dunia Kristen. Paradigma liberal tersebut kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam .
Pengaruh liberalisme terhadap agama cukup besar artinya dalam mengubah cara pandang umat terhadap agamanya. Dampak yang paling signifikan adalah terjadinya sekulerisasi (pemisahan antara apa yang dianggap wilayah agama dan yang dianggap non agama) dalam tubuh agama.
Liberalisme pada tubuh agama Islam kemudian berpengaruh ke imperium Turki, yang akhirnya meruntuhkan konsep kekhalifahan. Selain itu, fenomena Islam liberal juga menjadi lebih marak dan digandrungi umat sebagai spirit pembaharuan dan pembebasan.
Meski demikian, dalam Islam juga terdapat kelompok-kelompok yang tida sepaham dengan liberalisme. Karena mereka menganggap liberalisme tidak berasal dari negeri Islam dan cukup berbahaya terhadap tradisi dan kemapanan akidah.
Penutup
Meskipun liberalisme pada dasarnya merupakan sebuah perlawanan atas budaya feodal-otoritarian, pada perjalanannya liberalisme justru menimbulkan permasalahan baru kemanusiaan, seperti penindasan, pemusnahan, pemiskinan, dan kerelativitasan esensi kehidupan. Individualitas yang ditekankan dalam liberalisme sebenarnya sudah melanggar fitrah manusia sebagai makhluk sosial (kolektif) yang memiliki solidaritas kemanusiaan. Manusia yang mau tidak mau akan selalu tergantung kepada orang lain.
Memang liberalisme secara tepat memahami tujuan akhir—yakni peerujudan diri—namun kaum liberalis telah salah menyusun cara-cara untuk mencapai tujuan itu, sebab tujuan untuk itu memerlukan sebuah tatanan yang sama sekali baru dan merobohkan lembaga-lembaga yang sudah ada. Sebagaimana yang dilakukan dalam penerapan pendidikan liberal, maka dampak yang akan ditimbulkan adalah terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Liberalisme yang merupakan produk dari modernitas mencoba mengasimilasikan manusia dengan alam sehingga manusia sendiri juga merupakan sebuah objek., persis sebagaimana alam telah terobjekkan di dalam ilmu pengetahuan. Di mata liberalisme, manusia dan alam tidak lebih dari sekedar mesin yang dapat dimanipulasi dan dieksploitasi.
Bibliografi
1. Hanafi, Hassan. 2003. Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermenutik. Jogjakarta: Prisma Sophie Pustaka Utama
2. Husaini, Adian, dkk. 2003. Membedah Islam Liberal. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media
3. ____________. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani
4. Oneill. F, William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
5. Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
6. www.jawapos.co.id
7. Majalah Tempo, edisi 15-21 Agustus 2005
8. Majalah Demokrasi, Edisi (tak terdeteksi)
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “LIBERALISME; SEBUAH ANTITESA ATAS FEODALISME-OTORITARIAN”:

Leave a comment