Melacak Kemunculan Beragam Aliran Kepercayaan

Haryanto*)
Mencuatnya beragam aliran, sekte, dan klan atau lazim disebut dengan agama sempalan sebenarnya bukan fenomena baru yang terjadi dalam tubuh agama, khususnya Islam. Bahkan, semenjak empat belas abad silam Nabi Muhammad telah memprediksi pluralitas (keberagaman) tersebut dengan menyebutkan “Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan (H.R. Bukhari).
Dalam al-Qur’an juga telah disiratkan bahwa Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk membuat syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan manhaj (metode pelaksanaannya) agar dapat berlomba-lomba menuju kepada kebajikan utama dan menuju kepadaNya (Q.S 5:48).
Dengan demikian, jelaslah jika teks suci agama telah memberikan lampu hijau bagi manusia untuk menginterpretasikannya agar mendapatkan jalan kebenaran berikut metodenya. Karena dalam ayatnya yang lain, kitab suci juga memiliki fungsi sebagai pemberi petunjuk agar manusia tidak tersesat ke jalan yang tidak diridhai-Nya (Q.S 2:2).
Sedangkan dalam konteks sosial keagamaan, keragaman syir’ah dapat bermula dari ketidakpercayaan umat terhadap agama mapan yang saat ini telah berubah menjadi agama-agama formal yang terstruktur secara organisatoris. Dalam bentuknya yang formal, agama sebenarnya telah kehilangan kesakralannya sebagai jalan yang membawa manusia kepada pencerahan spiritual karena telah terjebak kepada pencapaian target program kerja dan kepentingan kekuasaan organisasi.
Klasifikasi Agama Sempalan
Menurut bentuk dan strategi penyebarannya, agama sempalan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Pertama, agama sempalan yang bersifat struktural. Kriteria ini menemui bentuknya pada aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dan LDII. Karena kedua aliran tersebut telah memiliki banyak cabang di berbagai wilayah di Indonesia berikut struktur kepemimpinannya.
Target aliran ini adalah umat yang tingkat pemahaman keagamaannya berada di bawah standar, seperti kaum muda, dan umat yang kecewa terhadap agama formal karena tidak mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Kedua, agama sempalan yang bersifat kultural. Artinya, pengembangan dan penyebaran ajaran yang dilakukan tidak melalui wadah yang terstruktur secara organisatoris, melainkan melalui pertemuan-pertemuan informal dalam bentuk kajian agama atau ritual khas yang tidak didapati pada agama-agama mapan. Bentuknya dapat dilihat dalam aliran kebatinan atau kepercayaan kejawen.
Pada aliran ini, pemimpin kharismatik adalah kunci dari keberhasilan penyebaran ajaran-ajarannya. Karena yang menjadi target penyebaran ajaran adalah daerah pedesaan yang masyarakatnya masih memiliki beragam mitos dan mempercayai takhayul.
Pluralitas dalam internal Islam di atas tentunya perlu disikapi secara arif agar tidak terjadi konflik agama pada masyarakat secara luas. Sebab, konflik agama akan membawa dampak buruk terhadap stabilitas negara dan tatanan masyarakat.
Oleh karena itu, menempuh dialog antar keyakinan adalah solusi yang paling efektif untuk menjembatani persoalan keberagaman pemahaman. Proses komunikasi (baca: dialog) merupakan sikap saling menghargai dalam ruang dialogis dimana setiap peserta yang memiliki perbedaan pemahaman menyampaikan pandangannya secara lugas, arif dan tidak menggurui.
MUI sebenarnya telah menerapkan proses dialogis ini secara baik terhadap pendiri aliran al-Qiyadah al-Islamiyah sehingga Ahmad Mushaddeq melakukan pertobatan dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad dan kembali kepada ajaran Islam.
Fenomena ini seharusnya dapat dijadikan pembelajaran bagi seluruh elemen masyarakat agar selalu menempuh jalan dialog ketika terdapat perbedaan pemahaman. Sebagaimana yang telah diperintahkan dalam firmanNya pada surat al-Ankabut ayat 46.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Melacak Kemunculan Beragam Aliran Kepercayaan”:

Leave a comment