Ibadah Haji dan Status Sosial

Haryanto*))
Melakukan ritual haji ke Baitullah merupakan suatu keinginan yang teramat fundamental bagi umat Muslim. Keinginan kuat tersebut terjadi karena dorongan pemahaman keberagamaan masyarakat yang menganggap berhaji adalah sebagai ibadah penyempurna dari segala bentuk ketundukan dan ketaatan total kepada Sang Khalik dalam bentuk ritualitas-transendental. Demi mencapai kesempurnaan spiritual tersebut, umat Muslim yang memiliki kemampuan lebih—khususnya kepemilikan finansial dan keilmuan—rela menunaikan ibadah haji, bahkan hingga berkali-kali. Kesadaran berhaji tersebut dapat dibuktikan dengan melihat semakin besarnya kuantitas umat yang menunaikan ibadah haji pada setiap tahunnya.
Jika diteropong melalui kacamata sosiologis, ternyata fenomena ibadah haji tidak semata-mata memiliki peran transendental terhadap pelakunya, tetapi juga memberikan implikasi terhadap status sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Status sosial yang dimaksud adalah semakin meningkatnya citra diri atau kharisma dari seorang Haji/ Hajjah. Kondisi demikian dapat dibuktikan melalui indikator-indikator yang telah berlangsung dalam masyarakat kita, yakni kebanggaan untuk mencantumkan gelar haji pada nama yang disandangnya; kemudian terjadinya konversi nama lokal menjadi nama yang berbau kearab-araban.
Pencitraan diri melalui ibadah haji ini ternyata juga dijadikan strategi politis oleh para pencari kekuasaan di negeri kita. Hampir seluruh keluarga besar Soeharto telah melakukan ritual haji ke baitullah, begitupula dengan Megawati ketika issu mengenai keislamannya dipertanyakan oleh masyarakat dia langsung mengambil langkah untuk berhaji, kisah yang sama pun terjadi pada Akbar Tanjung ketika positif menjadi tersangka kasus korupsi.
Konversi Nama
Pada kacamata religius sebuah nama bermakna doa. Artinya, orang tua dalam memberikan nama kepada anak memiliki harapan-harapan agar kelak berfungsi sebagaimana nama yang terpancang dalam dirinya. Misal, seseorang bernama "Selamet", maka orang tuanya mengharapkan dalam hidupnya ia selalu selamat dari segala marabahaya yang menderanya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW menyabdakan dalam sebuah hadist untuk tidak memanggil nama seseorang dengan nama yang buruk. Sedangkan dalam perspektif sosiologis, nama akan selalu berkaitan erat dengan nilai-nilai tradisi yang berlangsung pada suatu komunitas masyarakat. Semisal nama dalam kultur Jawa, biasanya awalan dari nama akan berawalan "Su" atau berakhiran huruf "O".
Dalam konteks ibadah haji, seseorang yang telah melakukan ibadah haji cenderung untuk mengganti nama lokal menjadi nama yang berbau kearab-araban. Maksud dari konversi nama tersebut berfungsi sebagai penegasan citra diri bahwa seseorang yang telah menunaikan haji adalah seorang Muslim yang taat.
Titel Haji
Maraknya penggunaan gelar "haji" pada masa sekarang ini sebagai sebuah status bagi sebagian besar masyarakat, menyebabkan masyarakat secara sadar maupun tidak sadar cenderung meletakkan titel "haji" sebagai sebuah gelar kehormatan atau keagamaan didepan namanya karena kebesaraan status tersebut sejajar dengan gelar keilmuan, padahal gelar "haji" di negara atau bangsa lain tidak diminati. Budaya ini telah dimulai sejak awal pelaksanaan haji di Indonesia dan semakin dikuatkan dengan kebijakan pemerintah kolonial melalui salah satu ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tahun 1859, yang menyebutkan bahwa seseorang dibenarkan untuk menyandang gelar haji dan memakai busana khusus haji apabila ia telah lulus dari ujian haji yang membuktikan bahwa ia benar-benar telah menunaikan ibadah haji setelah kembali dari menunaikan ibadah haji.
Sehubungan dengan fenomena seperti diuraikan diatas, sebenarnya kita bisa melihat kualitas dari gelar "haji" tersebut yang dapat kita kaitkan dengan perilaku sehari-hari si penyandang haji tersebut. Apabila seorang haji berbuat maksiat maka perbuatan tersebut adalah hubungan antara individu dari hasil hajinya begitu juga sebaliknya. Dengan demikian diharapkan predikat haji dapat menjadi filter dan alat kontrol terhadap perilaku keseharian masyarakat, sehingga citra haji, baik buruk atau jelek pada dasarnya lebih disebabkan karena sikap perorangan (individual).
Menyandang predikat haji memang khas bagi umat Islam di Indonesia yang berbeda dengan predikat-predikat lain. Predikat haji memiliki aura transendensi, karena secara implisit, Allah sajalah sebenarnya yang berhak memberikan predikat itu sebagai “tanda” karena seseorang mampu dan bersedia untuk berkunjung ke rumah-Nya. Sementara sebenarnya manusia memakainya tak lebih dari sekadar simbol.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Ibadah Haji dan Status Sosial”:

Leave a comment