Revitalisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Perspektif Islam Untuk Pencerahan Peradaban

Haryanto*)
Peradaban, atau dalam bahasa Inggris disepadankan dengan istilah civilization merupakan khasanah pengetahuan dan kecapakan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan sanggup berlanjut terus . Melihat pengertian tersebut terdapat dua point penting yang dapat ditarik. Pertama, pondasi peradaban adalah ilmu pengetahuan. Hamid Fahmi Zarkasy dengan gaya determinismenya mengungkapkan bahwa kerja-kerja intelektual dan keilmuan merupakan dasar yang akan melahirkan aktifitas politik, sosial, ekonomi, dan aktifitas kultural lainnya. Atau dengan kata lain, konsep-konsep keilmuan membentuk suatu sistem dan super sistem yang disebut dengan world view (pandangan hidup/ pandangan alam).
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tantangan Zaman bahwa setiap fenomena yang ada pada setiap zaman merupakan buah dari akal dan ilmu pengetahuan . Uniknya, Muthahhari justru menegaskan pada zaman ini bukanlah masa ilmu pengetahuan melainkan masa pemenjaraan dan eksploitasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pegetahuan pada saat ini berada di bawah bayang-bayang nafsu syahwat yang bisa menyesatkan. Kemudian beliau memberikan beberapa contoh seperti penyalahgunaan ilmu kimia untuk menghancurkan umat manusia dengan senjata pemusnah, dan hasil teknologi perfiliman yang menampilkan tayangan-tayangan amoral.
Kedua, tidak ada satu peradaban pun yang dapat tumbuh berkembang dengan sendirinya tanpa bersandar kepada peradaban sebelumnya yang pernah ada. Entah itu melaui proses adopsi, seleksi, ataupun dekonstruksi-rekonstruksi. Biasanya untuk menghindari citra negatif maka para manusia pengisi peradaban sering mengunakan istilah meminjam.
Dalam sejarah dunia kita mengenal beberapa peradaban yang pernah eksis dan lebih unggul dibandingkan peradaban lain pada zamannya. Peradaban India-Hindu (-), peradaban Mesir (-), Peradaban Cina (-), peradaban Yunani (5 SM-3 M), peradaban Islam (7M-13M), peradaban Barat-Kristen (-), dan peradaban Barat Modern (14M-sekarang). Kesemua peradaban yang pernah dominan tersebut ditandai dengan capaian IPTEK, kecuali peradaban Barat-Kristen yang lebih menitik beratkan kepada hegemoni kekuasaan agama (gereja).

Peradaban Islam

Harun Nasution mengklasifikasikan peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu klasik (650 M-1250 M), pertengahan (1250 M-1800 M), dan modern (1800 M-sekarang). Pada periode klasik Islam mencapai puncak kejayaan dan sekaligus awal dari keterpurukan dengan klimasnya pada saat penyerbuan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Sedangkan periode pertengahan merupakan periode kemunduran yang ditandai dengan desentralisasi dan disintegrasi, walaupun beberapa bidang keilmuan masih tetap berjalan namun lebih kepada penyikapan terhadap keilmuan yang pernah ada sebelumnya .
Ketika memasuki akhir abad ke 18 M hingga awal abad 19 M, corak pemikiran Islam mulai merambah ke tahap "pembaharuan" (modern) yang dirintis oleh beberapa tokoh, seperti Thahtawi, Jalaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dll. Dalam naungan pemikiran mereka Islam mulai bergerak dari stagnasi intelektual menuju pencerahan. Melawan segala bentuk kejumudan internal dan penjajahan imperialisme yang semakin akut memporak-porandakan peradaban Islam. Tetapi nyatanya belum juga mampu mengangkat peradaban Islam ke tingkat peradaban dominan.
Mungkinkah sebuah peradaban (Islam) yang telah runtuh akan mampu bangkit kembali? Mengingat tidak pernah ada satu peradaban pun di dunia ini yang mengalami kebangkitan kembali pasca keruntuhan. Mungkin sebuah pertanyaan pesimis, tetapi dari sini kita akan dapat mengukur sejauh mana kekuatan yang dimiliki umat Muslim untuk membangun peradabannya kembali. paling tidak umat Muslim tidak ego mengatakan dirinya sebagai peradaban besar tetapi tidak memperhatikan bagaimana amunisi yang dimilikinya. Memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana realitasnya pada masa ini.
Maka dari itu, penting bagi umat Muslim untuk menengok ke belakang menyelami warisan peradaban Islam pada masa klasik. Sebagaimana yang juga didengungkan oleh Hassan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiry, dan Muhammad Imarah untuk selalu memperdalam khasanah keilmuan Islam klasik. Namun yang butuh disadari, keilmuan klasik tidak semata-mata untuk dipuja seakan suci tiada cacat, tetapi untuk dikembangkan sehingga mapu menjawab tantangan di setiap zaman, atau biasa disebut dengan agenda Al-turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan).
Realitas Umat Muslim Kontemporer
Kebanyakan umat Muslim masih mencoba untuk memaksakan teks kepada realitas, yang sebenarnya pemahaman akan teks tersebut belum tentu sesuai dengan realitas yang terjadi. Atas kondisi ini maka dapat diklasifikasikan ke dalam sepuluh problematika antara teks dan realitas, yaitu: Pertama, teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik tentang realitas; maka ia tidak menjadi bukti tanpa kembali ke landasannya dalam realitas. Kedua, teks mensyaratkan iman terhadapnya, masalahnya siapa yang beriman pada teks itu. Ketiga, teks terletak pada otoritas kitab, bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah bukti. Keempat, teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas. Kelima, teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang benar bagi suatu teks tanpa sauh ini. Keenam, teks bersifat sepihak (unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain. Ketujuh, teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan. Kedelapan, kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas teks. Kesembilan, teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan. Kesepuluh, metode teks lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai ummah.
Selain permasalahan tersebut, umat Muslim juga menghadapi tiga kekuatan besar yang selalu merongrong eksistensi Islam, yaitu imperialisme, zionisme, dan kapitalisme. Kemudian permasalahan krusial lain yang berada didalam adalah kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.
Imperialisme
Imperialisme merupakan masalah yang membakar dan dapat dianggap sebagai Perang Salib baru. Imperialisme sekarang adalah cara petualangan ekonomi multinasional dan westernisasi kebudayaan. Dalam hal budaya, imperialisme mematikan semangat kreatif bangsa-bangsa, dan mencabutnya dari akar sejarah.
Selain itu, basis militer asing juga tersebar di berbagai belahan dunia Arab, dari Maroko sampai Timur Arab, kemudian sejumlah bangsa Muslim tetap berada di bawah pengaruh super power. kekayaaan dunia Islam masih berada di bawah tangan-tangan perusahaan monopolistik, dan mengimpor pengetahuan ilmiah dari Barat. Dan yang paling berbahaya adalah imperialisme budaya. Barat menginginkan agar warisan historis bangsa-bangsa melemah, kemampuan kreatifnya dibelenggu, dan kebudayaan diubah menjadi budaya museum—hanya untuk studi, sehingga umat muslim menjadi budak Barat.
Zionisme
Zionisme merupakan kekuatan kokoh yang menentang Islam dan kaum Muslim. Sasarannya bukan hanya menguasai tanah, tapi juga menyebarkan pemikirannya ke kalangan intelektual Islam, dan mengetahui pemikirannya untuk menghancurkan Islam. Dalam hal ini Hanafi mengutip salah satu ayat al-Qur'an: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walimu; sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (QS. 5:51). Ayat tersebut berarti perdamaian dengan anak-anak Israel dilarang.
Kapitalisme
Bahaya kapitalisme tidak hanya bagi yang mengikutnya, tapi juga kita dalam masyarakat Islam. Kapitalisme terkait dengan masyarakat kelas, dan kekuasaan terletak pada orang yang menguasai modai. Ia tidak membatasi industri militer yang merusak, karena industri ini mendukung dan menguntungkan mereka yang mengabdi modal. Semua ini berarti kemiskinan bagi yang miskin, dan perlakukan istimewa bagi yang kaya. Islam menolak akumulasi kapital oleh sekelompok orang: "supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. 59:7). Islam menolak hak milik istimewa, masyarakat kelas, monopoli dan riba; ia bicara tentang kesamaan, kooperasi, dan solidaritas.
Namun dibalik kelemahan dan ancaman di atas, Islam memiliki potensi/ kekuatan yang menjadi ciri khas utama dan dapat dijadikan kekuatan besar untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang telah sirna menjadi lebih maju. Islam memiliki satu potensi mendasar yang selalu dipegang teguh dan tidak mungkin untuk dinafikkan, yaitu kitab suci (al-Qur’an).
Al-Qur’an adalah satu-satunya alat pemersatu umat Muslim dan selalu dijadikan inspirasi mengenai bagaimana harus menjalani kehidupan di muka bumi, baik itu dalam hal ilmu pengetahuan maupun etika berhubungan dengan Tuhan, sesame manusia, dan kepada alam. Kekuatan besar ini dapat menjadi penentu terhadap peluang umat Muslim bangkit dari keterpurukan ilmu pengetahuan.
Menentukan Identitas
Al-Turats wa Tajdid (tradisi dan pembaharuan). Kedua istilah itu diberikan pengertian oleh Hanafi, "tradisi", baginya adalah sebuah titik awal tanggungjawab kebudayaan dan bangsa; sedangkan pembaharuan adalah penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Oleh karena itu, turats wa tajdid dalam kajian Hassan Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.
Pada kerangka raksasa inilah, Hassan Hanafi kemudian membuat rumusan yang dapat diklasifikasikan kepada tiga agenda besar, yaitu (Hassan Hanafi, 2000: 3):
1. Sikap kita terhadap tradisi lama
a. Dari teologi ke revolusi
b. Dari transferensi ke inovasi
c. Dari teks ke realitas
2. Sikap kita terhadap Barat
a. Sumber peradaban Eropa
b. Permulaan kesadaran Eropa
c. Akhir kesadaran Eropa
d. Dari kefanaan ke keabadian
e. Dari teks ke rasio akal dan alam
f. Manusia dan sejarah
3. Sikap kita terhadap realitas
a. Metodologi
b. Perjanjian baru
c. Perjanjian lama
Ketiga agenda di atas mengisyaratkan terjadinya proses dialektika antara "Ego" dengan "The Other" dalam realitas sejarah tertentu. Agenda pertama, (Sikap kita terhadap tradisi lama) meletakkan ego pada sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya; Agenda kedua (Sikap kita terhadap tradisi barat) meletakkan ego pada posisi yang berhadapan dengan The Other kontemporer, terutama kebudayaan Barat pendatang.; Agenda ketiga (Sikap kita terhadap realitas/ teori interpretasi) meletakkan ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut. Baik teks agama yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah. Dua agenda pertama berdimensi peradaban, sedang agenda ketiga adalah realitas (Ibid: Hal 5).

Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama

Khazanah/ tradisi keilmuan Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: pertama, ilmu-ilmu rasional-tradisional seperti dasar-dasar agama, yakni ushul al-fiqh, filsafat dan sufisme; kedua, ilmu-ilmu rasional seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi; ketiga, ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, sirah (biografi nabi), fiqih, dan tafsir.
Tradisi Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad tersebut, beberapa diantaranya telah meruntuhkan sendi-sendi kedigjayaan Islam, terutama dalam kegiatan berfikir. Beberapa diantaranya yang mendapatkan kritik dari Hassan Hanafi adalah (1) pola pikir yang digunakan dalam tasawuf, yaitu: a) memandang alam secara negatif dengan menahanan nafsu dan keinginan; b) tahap di mana perjuangan lahir mentransformasi perjuangan batin, membuat individu berada di antara dua keadaan seperti kecemasan dan harapan, kesadaran dan ketidaksadaran, tiada dan ada; c) dan peleburaan diri dan kesatuan dengan Tuhan melalui fantasi dan ilusi. Jadi, jalan sufism tersebut pada prinsipnya mencoba untuk keluar dari realitas sejarah untuk menuju kepada sesuatu yang berada di luar dunia.
(2) Hukum Islam, suatu hukum yang dikonsuskan pada suatu masa dan tempat tertentu diberlakukan pada masa tempat yang tidak terbatas. Bagi Hanafi, corak hukum Islam seperti demikian tidak menilai atas dasar kemaslahatan umat karena lebih condong kepada arogansi kepentingan. Manusia memiliki hak yang sama dengan manusia yang lainnya, jika umat pada masa lampau berhak melakukan ijtihad maka pada saat inipun harus memiliki posisi yang sama. Logika yang digunakan Hanafi adalah kemaslahatan merupakan landasan ketiga hukum Islam setelah al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijtihad.
(3) Filsafat Islam, konsep iluminasi yang menundukkan akal dengan menyerahkan kehendak hukum alam pada kekuatan-kekuatan di luar alam. Kemudian Hanafi juga menyayangkan pemikiran filsafat klasik rasional yang menganggap akal perlu memperoleh bantuan dari langit untuk memperoleh pengetahuan praktis, yang mana dunia kemudian dipandang terdiri dari dua bagian, yaitu dunia langit yang otoritatif dan dunia yang tergantung pada dunia langit.
(4) Teologi, Hassan Hanafi mengkritik keras terhadap ungkapan keimanan yang sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dalil, dan menyia-nyiakan keilmuan. Terlebih lagi jika persoalan keimanan itu hendak ditetapkan. Hanafi menetapkan keimanannya pada konsep al-Turats wa Tajdid untuk mencari kemungkinan pemecahan krisis modernitas dengan menengok kepada warisan intelektual klasik. Kemudian mencari kemungkinan merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik tersebut guna memberikan sesuatu bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan (Hassan Hanafi, 2003: xix).
Bagi Hanafi, keilmuan dasar Ushuluddin ini akan mendorong umat Muslim untuk memperdalam kajian tentang akidah, dan untuk berbuat. Ilmu ini juga merupakan pengganti dari ideologi politik. Pada prinsipnya, akidah keimananlah yang telah memelihara kekuatan rakyat dan menempa pribadi-pribadi tertentu mencintai tanah air, memperlihatkan kegigihannya di dalam melawan kaum penindas.
Pemikiran Hassan Hanafi mengenai teologi pada dasarnya lebih dekat dengan mazhab Mu'tazilah daripada mazhab asy-'Ariyah. Maka dari itu, rumusan Kiri Islam menerima lima prinsip Mu'tazilah dan berusaha menghidupkan kembali warisan tersebut. Kelima prinsip tersebut yaitu:
1. al-Tauhid
Dengan prinsip ini kaum Mu'tazilah menyatakan bahwa Tuhan akan betul-betul Maha Esa kalau Ia merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengannya.
2. al-'Adl
Disini Mu'tazilah hendak menegaskan bahwa Allah adalah baik. Allah tidak berkuasa melakukan kezaliman, bahkan tidak mampu meninggalkan al-ashlah (yang terbaik) untuk kemudian mengambil yang tidak sebaik yang pertama.
3. al-Wa'ad wa al-Wa'id
Tuhan tidak dapat dikatakan Maha Adil jika tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, ddan tidak menghukum orang yang berbuat buruk
4. al-Manzilah bayn al-Manzilatain
Maksudya para pelaku dosa besar tidaklah termasuk golongan mukmin, tapi juga tidak tergolong orang-orang kafir. Kedudukan mereka berada pada kelompok fasik
5. al-Amr bi al-Ma'ruf wa Nahy'an al-Munkar
Bahwa setiap Muslim wajib melakukan upaya dalam rangka menyiarkan da'wah Islam, dan menunjukkan jalan kepada orang yang sesat, serta menegur orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan keadilan.

Meskipun konsepsi teologi Hassan Hanafi mencoba untuk menghidupkan kembali mazhab Mu'tazilah, tetapi dia tidak berhenti hanya dalam tataran idea, melainkan diturunkannya ke dalam realitas kehidupan umat Muslim, atau pada saat ini kita sering menyebutnya dengan istilah teologi pembebasan.
Kritikan Hanafi atas berbagai sendi keilmuan Islam pada dasarnya menginginkan agar umat Muslim melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman-pemahaman keagamaan yang selama ini membawa kepada suatu kejumudan berpikir. Selain itu, juga membawa produk-produk pemikiran yang dianggap sesuai dengan kondisi saat ini.

Sikap Kita Terhadap Barat

Setelah teradinya kebangkitan Islam, persoalan agenda kedua ini telah menjadi wacana populer umat Muslim. Ada yang menyikapi Barat dan pembaratan dengan penolakan secara pasif total sebagai bagian dari pembedaan diri dan penegasan identitas. Pada posisi yang bersebrangan sikap ini dikritik dengan argumentasi bahwa tidak setiap yang datang dari Barat adalah jelek, dan bahwa dalam setiap saat kita selalu menikmati produk Barat. Kedua sikap ini sama dialektisnya, dan metode dialektik tidak argumentatif. Keduanya salah, dan penggabungan dua kesalahan tidak akan menyebabkan kebenaran. Secara De Jure sikap menolak dapat dibenarkan, sebab suatu perjalanan harus dimulai dari titik ego. Tetapi secara De Facto adalah salah. Karena ia meninggalkan Barat sebagai objek kajian.
Secara De Jure sikap menerima adalah salah, karena hubungan ego dengan the other adalah hubungan antagonistis, bukan hubungan persamaan. Tetapi secara De Facto dapat dibenarkan, karena ia memandang pentingnya mempelajari dan mengenal peradaban The Other tanpa melihat sumber, representasi, implikasi dan kematangan peradaban tersebut. Disamping itu sikap menerima juga berarti mengubah objek dari tingkat pasif ke aktif, dari reaktif menuju analisa ilmiah yang mantap (Ibid: Hal 9-10).
Barat telah menghegemoni bangsa-bangsa lain dengan langkah imperialisme budaya, artinya Barat melakukan penyerangan terhadap budaya kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga komunitasnya menjadi tidak berakar. Barat juga menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa-bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri.
Sebagai solusi atas problematika tersebut, Hanafi mengambil langkah dengan mendorong peradaban Barat kembali ke Barat, menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat, yang ia sebut sebagai Oksidentalisme.

Pondasi Ilmu-Ilmu Dalam Islam

Khasanah keilmuan Islam klasik merupakan salah satu yang dapat dijadikan sandaran untuk memajukan peradaban Islam, selain meminjam dari peradaban Barat-Modern. Meskipun tidak diposisikan sebagai “pilar suci”, namun kita dapat memetik pelajaran. Dan ini sebagai konsekuensi teori keterkaitan antar peradaban.

Islam memiliki basis universalitas dalam keilmuan, dalam hal ini Hassan Hanafi mengkompresnya dalam satu istilah, yaitu transendensi. Dalam wujud transendensi inilah ontologi, epistemologi, dan aksiologi berpadu menjadi kesatuan yang utuh.

Ontologi

Secara ontologis, ilmu pada dasarnya adalah manusia, ia lahir dari manusia dan untuk manusia. Ilmu merupakan proses manusia menjaab ketidaktahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Oleh karena itu tujuan ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan tantangan yang dihadapi manusia itu sendiri .
Namun persoalan akan bertambah rumit jika telah merambah mengenai prinsip ontologi, yaitu being/ ada. Dalam Islam, konsep being akan menekankan kepada dua hal, yaitu ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan .

Dalam hal ini, Prof. Dr. Musa Asy’arie menyingkap proses penciptaan terdapat 5 faktor yang menentukan: 1) adanya pencipta (subjek); 2) adanya ciptaan (objek); 3) adanya bahan yang dipakai; 4) adanya tujuan, yaitu gagasan ideal mengenai objek ciptaan, baik bentuk maupun apa yang ingin dicapai dengan bentuk itu; 5) adanya proses, yang didalamnya berkaitan dengan ruang dan aktu, dimana proses penciptaan dilakukan dan memakan waktu lama.

Sedangkan dalam epistemologi, Islam memiliki kesempurnaan metode mencari ilmu yang mencakup tiga hal, yaitu kasbi atau khushuli dan ladunni atau khudhuri. Kasbi adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Sedangkan ladunni, diperoleh oleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya illahi dalam qalb, atau kita biasa menyebutnya dengan intuisi

Begitupula ketika menyangkut persoalan aksiologi, maka Islam tidak semata-mata menekankan bahwa ilmu adalah untuk ilmu. Ilmu Islam selalu mempertimbangkan bagaimana eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam.

Menanggapi persoalan iniah kemudian Hassan Hanafi mengungkapkan baha ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dalam Islam adalah transendensi. Transendensi merupakan kesatuan universal yang tidak dapat dipisahkan. Konsisten dengan kodrat sebuah agama yang tidak dapat melepaskan realitas keberadaan Tuhan, dan menyadari baha Tuhan yang akan membimbing manusia mencapai pencerahan peradaban. Tidak akan pernah berjalan dengan baik suatu ilmu apapun jika tidak mendapatkan ridlanya.

Simpulan

Menyadari pentingnya melakukan revitalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam khasanah Islam adalah langkah penting bagi umat Muslim untuk memulai kembali membangun peradaban. Kembali melihat khasanah keilmuan klasik yang kemudian diambil hikmah yang dapat disesuaikan dengan realitas zaman adalah strategi utama yang mesti dilakukan.
Adalah Turats wa tajdid yang telah diprakarsai oleh Hassan Hanafi, Muhammad al-Jabiry, dan Muhammad Imarah kiranya dapat dijadikan proyek besar untuk melakukan revitalisasi keilmuan Islam. Memang masih banyak kelemahan, karena disini tidak disebutkan bagaimana institusi yang harus dibentuk oleh umat Muslim. Namun juga harus dilihat betapa pembentukan sebuah institusi dalam kondisi keterpecah-belahan umat tidak akan berjalan secara maksimal karena akan terbentur dengan kepentingan setiap kelompok yang hingga saat ini belum mampu dicarikan jalan keluar.

Daftar Pustaka

Asy’arie, Musa. 2001. Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir. LESFI: Yogyakarta

Hanafi, Hassan. 2003. Cakrala Baru Peradaban Global. IrCiSod: Yogyakarta

____________. 2003. Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik. Prisma Sophie: Yogyakarta
____________. 2000. Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina

____________. 2003. Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina

Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. UMM Press: Malang

Mughni, A. Syafiq. 2002. Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan. LPaM: Surabaya

Muthahhari, Murtadha. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Pustaka Hidayah: Bandung

*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Revitalisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Perspektif Islam Untuk Pencerahan Peradaban”:

Leave a comment