Reformasi Hukum Ketatanegaraan dan Bom Waktu Disintegrasi

Haryanto*
Judul : Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan
Penulis : Denny Indrayana
Penerbit : Kompas, Jakarta
Tahun : I, Juli 2008
Tebal : xiv + 354 halaman
Gejolak dan perubahan dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia berlangsung sangat cepat dan dinamis. Mulai dari soal presiden dan kabinet yang efektif, pemilihan umum yang demokratis, urgensi amandemen konstitusi, hingga persoalan seputar lembaga tinggi negara, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.
Beragam bentuk perubahan hukum ketatanegaraan tersebut memiliki potensi yang bisa menjadikan Indonesia berada pada posisi yang rawan disintegrasi, apabila tidak didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, dan lembaga-lembaga negara yang bisa mengoptimalkan fungsinya masing-masing.
Sejalan dengan hal itu, Francis Fukuyama dalam buku State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century (2005), menuturkan, bahwa negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) biasanya berada dalam posisi gawat yang disebabkan oleh kegagalannya untuk membangun sebuah negara yang mampu menjalankan fungsi, kapabilitas, serta legitimitas pemerintahannya.
Sebenarnya kita bisa bercermin dari disintegrasi yang terjadi di India, karena lemahnya legitimitas permerintahan nasionalnya kemudian terpecah menjadi India dan Pakistan, sedangkan Pakistan terpecah lagi menjadi Pakistan dan bangladesh. Hal serupa juga terjadi di Yugoslavia, dimana reformasi konstitusi yang mendefinisikan konsep negara republik berdasarkan kriteria etnis, telah mengantarkan negara itu ke tengah konflik etnis yang paling berdarah.
Keambrukan seperti itu mengisyaratkan tentang begitu besarnya potensi disintegrasi pada sebuah bangsa ketika negara tidak mampu menjalankan fungsi, kapabilitas, dan legitimitas pemerintahannya; serta ketidakmampuan dalam merumuskan konsep konstitusi yang sesuai dengan kultur kebangsaannya. Denny Indrayana, melalui bukunya yang berjudul Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, mencoba untuk memperingatkan kepada kita semua bahwa Indonesia menyimpan ”bom waktu” disintegrasi akibat dari cepatnya perubahan hukum ketatanegaraan pasca reformasi.
Korupsi, Terorisime dan Disintegrasi
Menurunnya kepercayaan rakyat kepada mesin-mesin politik dan negara, apatisme masyarakat pada proses pemilihan kepala daerah (fenomena golput), dan minimnya ”kebersihan” di lembaga-lembaga negara (korupsi pejabat negara), merupakan indikator kuat bahwa bangsa ini sedang diambang perpecahan. Artinya, rakyat Indonesia sedang menyimpan api kemarahan rakyat yang besar akibat ketidakpercayaan terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan.
Konstitusi hasil perubahan (satu sampai empat) sebenarnya sudah lebih baik, tetapi praktik pelaksanaannya dibajak kepentingan politik jual-beli yang menggadaikan kepentingan utama rakyat. Semisal Pilkada yang seharusnya menjadi proses pemilihan pemimpin yang lebih demokratis, tetapi pelaksanaannya dibajak oleh praktik money politics. Begitu pula yang terjadi pada bangunan sistem kekuasaan kehakiman kita—dengan trisula Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial—sewajibnya lebih berwibawa, namun dihancurkan oleh praktik haram mafia peradilan.
Berangkat dari krisis itulah, Denny Indrayana, mengatakan bahwa ancaman terbesar disintegrasi yang membayangi proses reformasi Indonesia bukan lah dari gerakan separatis, bukan dari gerakan teroris, tetapi dari politisi oportunis yang menyimpan nafsu menguasai dan menumpuk kekayaan pribadi atau golongan (hal. 99).
Korupsi di sektor publik yang melibatkan para politisi oportunis, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif merupakan faktor utama yang merusak legitimasi pemerintah Indonesia. Hal tersebut bukan berarti bahwa korupsi yang dilakukan oleh kelompok pengusaha menjadi tidak berbahaya. Tetapi, dalam praktiknya, korupsi publik mempunyai daya rusak yang lebih tinggi karena pelakunya mempunyai kekuasaan resmi di pemerintahan, parlemen, dan pengadilan. Korupsi privat yang berbahaya adalah apabila korupsi yang berkarakter relasi kolusi antara penguasa (publik) dengan pengusaha (privat) (hal. 34).
Maka dari itu, di samping dorongan untuk menegaskan sistem bernegara yang sesuai dengan kultur keindonesiaan, yang jauh lebih penting adalah membenahi perilaku para pejabat negara yang korup agar bangsa ini benar-benar terhindar dari ancaman ”bom waktu” disintegrasi.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Reformasi Hukum Ketatanegaraan dan Bom Waktu Disintegrasi”:

Leave a comment