Harga Gas yang Mematikan

Haryanto*))
Belum segenap hati rakyat menerima energi gas sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah, kini, harga jual gas elpiji di pasaran justru semakin meroket.
Hal itu dilatari oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gas ukuran 12 kg sebesar Rp. 60.000, yang berarti selisih Rp. 7.000 dari harga gas sebelumnya. Meski harga tersebut sudah tergolong tinggi dan meresahkan para konsumen, tetapi para distributor turut memperparah keadaan dengan menjual gas yang berkisar antara Rp. 70.000 hingga Rp. 120.000.
Lebih rumit dari itu, stok gas di pasaran tiba-tiba raib. Permainan kotor para distributor dan minimnya produksi tabung gas 12 kg yang dikelola pertamina disinyalir sebagai penyebab utamanya. Hatta, konsumen gas yang jumlahnya semakin meningkat sejak kebijakan konversi minyak tanah ke gas direalisasikan pemerintah, kian sulit mendapatkan gas.
Silang sengkarut persoalan gas tersebut tentunya mengakibatkan kepanikan yang tak hanya menimpa kalangan konsumen rumah tangga yang menggunakan gas sebatas keperluan dapur. Tetapi kalangan industri kecil juga menuai kerugian ekonomi yang cukup signifikan karena kenaikan harga gas akan berdampak pada pembengkakan biaya produksi.
Realitas negatif yang menimpa rakyat tersebut sejatinya hanyalah buntut dari kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang dipaksakan pemerintah beberapa bulan lalu. Seakan-akan kebijakan tersebut merupakan umpan yang kemudian menggiring rakyat untuk memasuki perangkap-perangkap kebijakan berikutnya yang lebih berat dan memaksa.
Ironisnya lagi, kebijakan menaikkan harga gas diambil pemerintah ketika rakyat sedang dalam kondisi tertekan secara ekonomi akibat naiknya harga bahan-bahan pokok, bahan bakar minyak, dan sarana transportasi.
Keadaan yang serba sulit ini dikhawatirkan akan membawa rakyat kepada fase frustasi sosial. Fase dimana rakyat akan menghalalkan segala cara demi mempertahankan hak hidupnya—baik secara personal maupun golongan—yang pada akhirnya akan berujung pada kerusuhan massal. Benih-benih frustasi sosial ini sejatinya sudah nampak pada maraknya perilaku kekerasan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini.
Sebagai perbandingan, marilah kita tengok sejarah gelap di negeri ini pada sepuluh tahun silam ketika aksi penjarahan yang diikuti pembakaran, perkosaan, dan penganiayaan merebak secara massal di berbagai daerah. Meski pun hal itu kemudian berbuntut kepada gerakan reformasi 98, namun kerusuhan Mei 98 tetap merupakan borok sejarah bangsa Indonesia yang salah satu penyebabnya adalah naiknya harga-harga.
Pastinya kita tidak menginginkan kejadian itu terulang kembali. Maka dari itu, pemerintah seharusnya berpikir ulang untuk menaikkan harga gas. Sudah saatnya fungsi pemerintah kembali kepada kerangka idealnya, yaitu menjadi bagian dari institusi negara yang akan membawa rakyatnya kepada kedamaian hidup yang penuh kemakmuran, kedamaian dan keadilan.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Harga Gas yang Mematikan”:

Leave a comment