Nilai Lebih Dalam Mengkaji Karya Fiksi

Haryanto*
Judul : Pesona jilbab di teheran
Penulis : Azar Nafizi
Penerbit : Think, Jogjakarta
Tahun : September, 2007
Tebal : 497 halaman
Novel sering dianggap sebagai karya fiksi tak bernilai karena narasinya yang sama sekali tidak menyentuh realitas kehidupan manusia. Benarkah demikian? Azar Nafisi dalam novelnya “Pesona Jilbab di Teheran”, memberikan peringatan kepada kita. Katanya: “jangan pernah menganggap remeh sebuah karya fiksi dengan mencoba menyalinnya dalam kehidupan yang nyata. Apa yang kita cari dalam sebuah karya fiksi memang tidak sebanyak kenyataannya, tetapi karya fiksi merupakan gambaran dari sebuah kebenaran” (hal. 16).
Sehingga, novel yang ditulis oleh mantan dosen di University of Tehran (Universitas Teheran) ini juga berangkat dari realitas sejarah yang telah dialami dan dirasakannya. Sebagaimana statemen yang diungkapkannya dalam catatan awal: “Fakta-fakta dalam cerita ini benar-benar nyata sebagaimana setiap memori yang selalu mengatakan yang sebenarnya, saya terus berusaha untuk melindungi para sahabat dan mahasiswa-mahasiswa, menyamarkan mereka dengan nama baru dan menyembunyikan mereka bahkan dari mereka sendiri, mengubah sisi-sisi kehidupan mereka sehingga rahasia mereka tetap terjaga” (hal. 13).
Novel Terlarang
Pemerintah Islam Iran yang menjadi latar dari cerita ini digambarkan oleh Nafizi sebagai negara tiran yang penuh dengan absurditas kekejaman, propaganda kebenaran, dan penyeragaman ideologi. Bahkan di kampus, para mahasiswa tidak diperkenankan untuk mempelajari khasanah keilmuan yang bersumber dari Barat.
Berangkat dari kekecewaan inilah, Izi (tokoh utama yang berperan sebagai dosen) bersama keenam mahasiswanya: Mitra, Yassi, Mahshid, Nassrin, Sanaz, dan Manna membuat kesepakatan bersama untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Islam Iran.
Sebagai kaum intelektual, perlawanan yang mereka lakukan tentu tidak dengan menggunakan kekuatan fisik, tetapi dengan tidak mematuhi kebijakan-kebijakan yang mengekang kebebasan mempelajari ilmu pengetahuan. Konkritnya, mereka membuat kelompok khusus perempuan pengkaji sastra yang bertempat di rumah Izi, mereka mengkaji novel-novel yang telah dilarang oleh pemerintah, seperti Madame Bovary, Pride and Prejudice, Invitation to a Beheading, Daisy Miller dan The Dean’s December.
Melalui pengkajian terhadap novel-novel terlarang tersebut, Izi dan mahasiswanya makin tersadar bahwa segala bentuk ketidakadilan, entah itu atas nama politik, tatanan sosial atau dalil-dalil agama, tidak bisa dibenarkan dan harus dilawan meski pun harus dibayar dengan nyawa.
Secara keseluruhan, isi dari novel ini terbagi menjadi empat bagian yang setiap bagiannya memiliki fokus pembahasan sebagaimana buku-buku ilmiah atau pemikiran. Bagian pertama: Lolita, difokuskan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita, dimulai dari latar belakang keluarga, karakter kepribadian, dan alasan kenapa sastra menjadi kajian yang amat penting sebagai sarana perlawanan perempuan.
Bagian kedua: Gatsby, menggambarkan perilaku represif pemerintah Islam Iran pasca revolusi yang ditinjau dari kebijakan-kebijakan anti kebebasan. Bagian ketiga: James, menceritakan realitas masyarakat Iran yang telah dikecewakan dan disingkirkan dari kebijakan politik Iran. Bagian keempat, Austen, adalah ending cerita dari anggota kelompok kajian yang akhirnya memilih untuk meninggalkan Iran dengan melanjutkan studi ke negeri Barat, seperti Amerika, Perancis dan Jerman.
Nilai lebih dari novel ini terletak pada keberanian penulis yang memberikan gambaran baru tentang kondisi sosial-politik di negeri para Mullah. Bahwa di balik kegarangannya melawan kapitalisme global, ternyata memendam arogansi kekuasaan dengan melarang rakyatnya untuk mempelajari beragam khasanah ilmu pengetahuan.
Selain itu, keunikan novel yang berjudul asli Reading Lolita in Tehran ini juga terletak pada muatannya yang kaya akan karya sastra klasik. Sehingga ketika membacanya kita tidak saja disuguhkan Reading Lolita in Tehran, tetapi juga Madame Bovary, Pride and Prejudice, Invitation to a Beheading, Daisy Miller dan The Dean’s December yang dapat membangkitkan semangat dan memberikan motivasi untuk tidak tunduk terhadap ketidakadilan.
Dengan demikian, benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh pakar Sastra Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri: “karya fiksi tidak sekadar deretan larik kata-kata yang asal beda, melainkan menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan dan kehidupan.”
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Nilai Lebih Dalam Mengkaji Karya Fiksi”:

Leave a comment