Pengkhianatan Lembaga Pendidikan Dalam Memproduksi Intelektual Progresif

Haryanto*
Judul : Jadilah Intelektual Progresif!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Tahun : September, 2007
Tebal : 133 hlm.
Realitas negatif lembaga pendidikan memang selalu menjadi persoalan di negara berkembang. Sebagaimana di Indonesia, menumpuknya sumber daya manusia dan potensi lokal sebenarnya berawal dari ketidak-mampuan lembaga pendidikan dalam memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup kepada peserta didik. Sedangkan dampak sosiologis yang paling konkret dapat ditemui pada fenomena migrasi besar-besaran masyarakat desa ke kota.
Parahnya lagi, peserta didik yang mendapatkan pengajaran di lembaga pendidikan justru kesadaran kritisnya semakin tercerabut. Karena di sekolah-sekolah formal, mereka dididik untuk menuntut ilmu pengetahuan secara murni bukan memecahkan persoalan mendasar kehidupan, seperti keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Eko Prasetyo yang belum puas menguliti kebobrokan realitas pendidikan melalui karyanya Orang Miskin Dilarang Sekolah (2005), beliau kembali menghantam lembaga pendidikan dengan buku terbarunya Jadilah Intelektual Progressif. Pada kali ini, tokoh-tokoh militan, seperti, Ali Syariati, Sayyid Qutb, Che Guevara, Antonio Gramsci, dan Rosa Luxemburg menjadi spirit utama dari setiap kata-kata yang tertera.
Pentolan Resist Book ini memulai tulisannya dengan sebuah cerita kekecewaan atas perubahan yang terjadi pada seorang aktivis jalanan. Aktifis yang di masa mudanya asik turun ke jalan memperjuangkan idealisme untuk melawan kekuasaan otoritatarian. Tetapi ketika di masa tua justru memilih menjadi kaki pemerintahan yang dingin, datar, dan anti perubahan.
Konsisten di jalan perlawanan memang selalu menjadi persoalan. Bahkan dapat dikatakan sebagai anomali ketika ada manusia (kaum intelektual) yang berumur 40 tahunan masih berpegang teguh dengan idealisme perlawanan yang berkobar sebagaimana ketika mereka berumur 20 tahunan.
Zaman memang telah berubah. Memenjarakan paradigma manusia ke dalam lubang pragmatisme yang selalu haus dengan keinstanan, kemewahan, dan kemapanan. Memupuk semangat egoisme individual yang seakan-akan melupakan fitrahnya sebagai makhluk sosial. Dampaknya, kepekaan terhadap realitas sosial yang timpang kian terkikis, dan bahkan dengan sengaja dibuang dari kesadaran.
Intelektual Sempalan
Siapa yang sangka seorang calon dokter kemudian jadi gerilyawan. Siapa menduga sosok sastrawan tiba-tiba berubah menjadi ulama militan yang hidupnya terus terancam. Che Guevara dan Sayyid Qutb adalah sosok yang sering menjadi inspirasi bagi para pejuang perubahan yang memilih garis hidupnya bersama massa yang tertindas. Atau dalam bahasa Gramsci disebutnya sebagai pribadi yang berpihak.
Tetapi di zaman sekarang amat sulit menemukan sosok intelektual seperti Che dan Qutb. Lembaga-lembaga pendidikan yang dipercaya untuk mencetak generasi perubahan justru melakukan pengkhianatan. Dalam realitasnya, Lembaga pendidikan tak lebih hanya usaha mencocokkan apa yang menjadi kebutuhan industri untuk disesuaikan dengan kurikulum (hal. 25).
Mungkin dapat ditemukan intelektual-intelektual yang tetap konsisten dengan asas kerakyatan, tetapi bukan di bangku sekolahan. Jikalau pun ada karena mereka menyempal dari tradisi baku dunia pendidikan yang mapan (hal. 69). Artinya, mereka tidak lagi terpaku dengan kurikulum pendidikan yang terbatas, tetapi meluangkan waktunya dengan belajar bersama petani, anak jalanan, buruh, maupun kelompok-kolompok marginal lainnya.
Pelajar-pelajar sempalan inilah yang kemudian sering menyuarakan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Memperjuangkan nasib golongan bawah agar mendapatkan haknya sebagai manusia yang merdeka.
Meski buku ini tidak begitu tebal, tetapi dapat memberikan inspirasi bagi para intelektual untuk selalu bersikap kritis terhadap keadaan. Uniknya lagi, Gambar-gambar pejuang kiri, simbol politik, dan aksi-aksi protes nyaris ada di setiap halaman.
Semoga saja, cerita kekecewaan yang dilontarkan oleh Eko Prasetyo ini dapat menggugah jiwa-jiwa perlawanan yang selama ini dinina-bobokan oleh kepentingan politik dan uang. Dan bagi mereka yang berada di jalur kerakyatan semoga selalu konsisten dengan yang diperjuangkan.
Kemudian pesan yang tak kalah penting adalah untuk lembaga pendidikan agar selalu berorientasi mencetak ilmuwan-ilmuwan yang peka terhadap realitas sosial.
*) Aktivis IMM Sukoharjo


0 Responses to “Pengkhianatan Lembaga Pendidikan Dalam Memproduksi Intelektual Progresif”:

Leave a comment