Blog dan perlawanan

Qahar Muzakir*
Di negeri yang katanya demokratis ini, kritik dianggap sesuatu yang melanggar kesopanan. Merusak ketenteraman dan menambah masalah di tengah himpitan persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Atas nama stabilitas dan “kepentingan bersama”, pemerintah dan pemodal menganggap para pengkritik layaknya pengganggu. Media seringkali turut menambah kuatnya keinginan pemerintah dan pemodal. Aksi kritik menempel poster diberitakan sebagai aksi yang hanya mengotori tembok. Aksi turun ke jalan adalah hal yang sia-sia dan justru membuat lalu lintas macet, mobilitas terganggu dan perekonomian terhambat.
Televisi hanya menyiarkan propaganda “kritik” sebagai bentuk kebebasan yang terkontrol. Benarkah tidak ada lagi pemuda yang berani lantang seperti Gie dan Wahib? Atau sosok Wiji Thukul? Saya justru meyakini masih ada dan semakin banyak!. Tapi suara mereka telah di bungkam dalam logika fungsional. Para redaktur surat kabar lebih senang memuat penulis yang “moderat” melihat persoalan kebangsaan, dengan dalih kompetensi penulis, wawasan dan kaidah penulisan. Apakah itu penting? Mungkin ya, dalam dunia akademis yang dingin dan kaku. Tapi sebagai kobar respon terhadap neo-tirani yang menindas rakyat, mereka hanyalah kumpulan pengecut yang di anggap telah jadi “orang” oleh budaya kita.
Masyarakat kita telah bebal dan menganggap korupsi, pejabat kotor, ketidakadilan dan kemiskinan adalah nasib menjadi Indonesia. Kritik yang sering mereka lihat dan dengar di tengah media justru dalam bentuk sindiran dan guyonan yang njawani. Penuh gelak tawa dan ketidakseriusan ala kaidah “kekeluargaan” dari puncak budaya jawa yang menjadi nasional.
Masyarakat harus di didik dengan lantang apa itu kritik dan sikap yang tegas!! Harus di biasakan membangun perlawanan, mulai hal terkecil urusan lampu jalan yang tak menyala hingga penjualan aset negara. Dari penguasaan lahan parkir oleh pengusaha hingga lahan alam yang beralih kepemilikan pada kaum modal.
Teriakkan yang bisa engkau teriakkan!! Karena saya menulis bukan karena cerdas, tapi karena lapar. Berani berteriak bukan karena bercita-cita pahlawan, tapi karena terhimpit keadaan. Berani bersikap bukan karena kesatria, tapi karena saya tahu sedang ditindas. Saya bermimpi, bahwa buruh kita, bapak petani kita, ibu pedagang kita, mbak penjahit, adik pengamen jalanan: Membuat Blog dan Berteriak Lantang tentang Hidup Mereka!! Agar terbuka mata hati yang telah melupakan kemanusiaan dan keadilan.
Mari kita kampanyekan hal ini. Bersama. Berjejaring. Bermimpi. Perubahan bukan hal yang tidak mungkin terjadi.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com

0 Responses to “Blog dan perlawanan”:

Leave a comment