DIALOG ANTAR AGAMA: SIKAP ISLAM TERHADAP AGAMA LAIN

Haryanto*)
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[11, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (Q.S. 29 : 46)
Dalam era global, pertemuan atau persinggungan antar agama menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin untuk dielakkan, dan memang tidak perlu untuk dielakkan. Sebagai konsekuensinya, berbagai konflik atas nama agama-pun bermunculan bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Walaupun demikian, kitapun tidak bisa menyalahkan zaman yang telah melipat ruang dan waktu tersebut. Karena memang sudah ada benih perseteruan yang kuat dalam jiwa penganut agama sejak masa lampau untuk saling bermusuhan antar keyakinan yang satu dengan yang lainnya. Sikap keterjebakan umat beragama pada truth claim and salvation claim menjadi salah satu akar konflik, sehingga mereka rela melakukan apa saja, termasuk membantai umat beragama lain yang dianggap sesat, untuk dianggap sebagai orang yang "religius" (Ruslani, 2001: 143).
Bukanlah suatu tindakan yang arif jika kita terus-menerus saling menyalahkan atas fenomena kritis keagamaan tersebut. Sudah waktunya kita berkonsentrasi untuk mencari solusi dan menerapkannya dalam kehidupan beragama agar masalah tersebut tidak berlarut-larut.
Dewasa ini, jalan keluar yang ditawarkan oleh intelektual keagamaan demi menepis konflik antar agama adalah dengan melakukan dialog antar agama untuk menjembatani permasalahan keagamaan agar tidak muncul sebagai konflik yang lebih sengit. Mahmoud Mustofa Ayoub (2001: 204) menegaskan bahwa keragaman agama haruslah disertai dengan semangat persahabatan dan dialog antar semua umat beragama.
Tentu saja tidak mudah merealisasikan dialog antar agama, banyak hambatan dan rintangan bermunculan dengan berbagai tendensi kepentingan untuk menggagalkan proses dialog antar agama. Berbagai model dialog-pun ditawarkan dengan harapan mampu menumpas ketidakpercayaan kaum yang tidak sependapat dengan jalan dialog antar agama. Ada dua golongan yang dapat diklasifikasikan sebagai golongan yang pesimis terhadap dialog antar agama. Pertama, mereka yang berpadandangan bahwa agama-agama sejak awal sudah saling berbeda, bahkan bertentangan satu dengan lainnya. Kedua, mereka yang memang sejak semula tidak menganggap agama adalah sebagai faktor dalam berbagai kerusuhan sosial (Ahmad Gaus A.F, 2001: 155-156).
Pengertian dan Tujuan Dialog Antar Agama
Penting kiranya mengungkapkan pengertian dialog terlebih dahulu sebelum kita memasuki pembahasan yang lebih serius mengenai model-model dialog antar agama, permasalahan, serta implikasinya terhadap kehidupan beragama.
Zakiyuddin Baidhawy (2001: 25) seraya mengutip karya Swidler menyatakan bahwa dialog adalah percakapan mengenai persoalan bersama antara dua orang atau lebih dengan perbedaan pandangan, yang tujuan utamanya adalah agar setiap partisipan dapat belajar dari yang lain sehingga ia dapat berubah dan tumbuh. Seiring dengan pengertian tersebut, Komaruddin Hidayat dan Nafis (1995: 81) menegaskan bahwa dialog antar agama merupakan dialog yang dilakukan secara terbuka dan penuh simpati, sehingga peserta dialog masing-masing berupaya untuk saling memahami posisi peserta dialog yang lain secara tepat, dan berupaya memandangnya dari dalam posisi mereka yang dipahami, belajar untuk saling mendengarkan pengalaman keberagamaan masing-masing, bukan untuk membanding-bandingkan dan mencari agama yang paling benar. Namun jika memang benar-benar terjadi suatu koversi agama dari partisipan dialog pun tidak menjadi soal ketika memang berangkat dari tercerahkannya/ terbukanya hati dan pikiran partisipan tersebut.
Format yang dilakukan dalam dialog tidak harus secara formal, seperti didalam ruangan-ruangan khusus, tetapi yang lebih fundamental adalah dialog melalui pergaulan sehari-hari. Dialog juga dapat dilakukan melalui media televisi, surat kabar dan buku-buku yang saat ini semakin meningkat frekuensi dan muatannya.
Landasan Normatif
Meskipun istilah dialog antar agama belum lama dilontarkan ke publik namun pada prinsipnya Islam telah merintisnya jauh pada masa Rasulullah saw baik itu yang tertera dalam literatur al-Qur'an maupun al-Hadist.
"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (Q.S. 29 : 46)
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S. 18: 29)
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Q.S. 10: 99)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. 16: 125)
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. 109: 6)
Kaitannya dengan ayat ini, Quraish Shihab (2003: 581-582) mengungkapkan bahwa terjadinya pertemuan antara agama Islam dengan yang lainnya pada dataran sosiologis setelah menegaskan ketidak mungkinnya bertemu dalam ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muhammad saw (ayat sebelumnya). Artinya, bahwa bagi kamu secara khusus agama kamu yang tidak akan sedikitpun menyentuhku, kamu bebas untuk mengamalkannya sesuai kepercayaan kamu, dan bagiku juga secara khusus agamaku, akupun mestinya memperoleh kebebasan untuk melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikitpun olehnya.
Ayat keenam dari surah al-Kafirun tersebut kemudian dihubungkan dengan baik oleh Quraish Shihab dengan surah al-Baqarah ayat 256:
Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat
Dan juga surah as-Saba' ayat 25-26:
Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat." Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui" (Q.S. 34: 25-26)
Dalam sebuah hadist juga diriwayatkan dari Asma' bin Abu Bakar as-Shiddiq menceritakan bahwa ibunya yang ketika itu masih musyrkah berkunjung kepadanya, maka ia pergi menemui Rasulullah saw. bertanya: "bolehkah saya menjalin hubungan dengan ibu saya?". Nabi saw menjawab: "ya! jalinlah hubungan baik dengannya" (H.R. Bukhari-Muslim).
Dalam versi lain Imam Ahmad juga meriwayatkannya melalui Abdulla ibn Jubair, bahwa ibu Asma' yang bernama Qutailah berkunjung membawa hadiah-hadiah buat purinya itu (Asma') tetapi ia enggan menerimanya dan enggan juga menerima ibunya. Lalu ia bertanya kepada saudaranya, Aisyah ra. Yang kemudian rasul menerima wahyu dan memerintahkan untuk menyambut ibunya dan menerima hadiahnya.
Dari teks al-Qur'an dan al-Hadist di atas jelaslah kiranya bahwa sebagai umat Muslim kita tidak dapat begitu saja mengambil jalan yang keras kepada umat beragama lainnya. Artinya, balasan dari setiap perbuatan di dunia ini kita serahkan sepenuhnya kepada Allah swt karena hanya Dia-lah satu-satunya yang Maha Mengetahui. Memang lain ceritanya jika salah satu diantara agama-agama melakukan tindakan yang merusak agama lainnya maka menjadi patutlah untuk dilawan, namun dengan catatan bahwa melawan yang dimaksud adalah untuk memulihkan kondisi yang telah dirusak bukan untuk menghancurkannya.
Model Dialog Antar Agama
Dalam konteks dialog antar agama telah banyak pakar yang memberikan gagasannya tentang model dialog antar agama. Ruslani (2001: 146) menyatakan bahwa untuk melakukan dialog konstruktif perlu dilakukan dua hal : (1) melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. (2) melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis eksklusif menuju kritisisme radikal dan pemikiran teologis yang inklusif, terbuka, dan pluralis dan bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan.
Piet. H. Khaidir (2001: 159-161) membagi dialog dalam dua bagian, yaitu dialog vertikal dan dialog horizontal. Dialog vertikal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Sedangkan dialog horizontal adalah mempedulikan materi keagamaan secara intern. Artinya, kita mesti terus belajar secara objektif makna agama kita. Menurut Piet, posisi puncak agama terletak pada pengejawantahan diri untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian inilah yang disebutnya dialog vertikal.
Lebih spesifik dialog antar agama dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Dialog parlementer (parlementary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta. Maksudnya ditujukan agar para peserta memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerjasama yang lebih baik diantara berbagai kelompok agama, dan sekaligus menggalang perdamaian diantara para pemeluk agama.
2. Dialog kelembagaan (institutional dialogue), yakni dialog diantara wakil-wakil institutional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan dilakukan untuk membicarakan dan memecahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat agama yang berbeda. Selain itu, untuk mengembangkan komunikasi antar wakil-wakil dari lembaga keagamaan (MUI, PGI, KWI, Walubi, dll).
3. Dialog teologi (theological dialogue), mencakup pertemuan-pertemuan baik reguler maupun tidak untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis.
4. Dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue of life), yang terfokus pada penyelesaian hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama. Misalnya, membahas tentang kemiskinan
5. Dialog kerohanian (spiritual dialogue), yang bertujuan menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual diantara berbagai agama. Bentuk dialog spiritual yang mungkin acceptable (bisa diterima) adalah melalui aspek esoteris agama, seperti yang ditawarkan oleh Fritjchof Schuon (Azra, 1999 : 62-64).
Kendala Dialog Antar Agama
Sebagaimana telah diungkapkan diatas, bahwa dalam menerapkan dialog antar agama bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh kerja keras dan kesadaran bersama untuk merealisasikannya.
Dalam kerangka praksis, setidaknya ada tujuh kendala yang dialami dialog antar agama (Ulil Abshor Abdalla, 2001: 175-180): (1) Elitis, dialog yang selama ini dilakukan hampir secara merata dilakukan oleh elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang lebih mayoritas tidak mendapatkan akses tentang wacana tersebut. (2) Tak Militan, kurang agresifnya para aktifis dialog antar agama dalam mengisukan kepada masyarakat luas. (3) Jalur Eceran, sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih dikuasai oleh pendakwah yang kurang menguasai dan tidak menganggap penting dialog antar agama. (4) Infrastruktur, kurangnya sarana-sarana kelembagaan yang menunjang dialog. (5) Prasangka, adanya prasangka orang yang menganggap dirinya pluralis (orang yang mengetahui manfaat dialog antar agama) terhadap golongan konservatif. Sehingga pembicaraan mengenai perihal ini hanya berputar kepada orang-orang yang sama. (6) Ketidakadilan, merebaknya kesenjangan sosial dan ketidakadilan menjadikan semakin sulit membicarakan masalah-masaah antar agama. (7) Dialog Internal, kepluralitasan pemahaman dalam satu agama yang tidak saling memahami menjadikan dialog antar agama menjadi semaikin sulit.
Penerapan dialog antar agama sangat tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejahteraan ekonomi dan standar keamanan, serta persamaan sosial dalam setiap aspek Beliau melihat dialog antar agama akan lebih mudah dilakukan di negara-negara Eropa atau Amerika Utara karena kondisinya lebih menguntungkan (Mahmoud Mustofa Ayoub, 2001: 266).
Memang, dialog antar agama seharusnya tidak hanya berhenti pada "ko eksistensi pluralitas" (hak setiap agama untuk bereksistensi secara damai dan eksistensial), tetapi perlu diteruskan kearah "pro eksistensi pluralitas" (sikap mengakui dan bahkan mendukung eksistensi agama yang plural). Dengan begitu harmoni agama-agama secara teologis maupun praksis-sosiologis akan terwujud (Sukidi, 2001 : 35-36).
Kesimpulan
Sisi penting dalam dialog antar agama adalah untuk memperluas wawasan dan pengalaman keberagamaan kita agar mempertebal keyakinan keberagamaan, bukan untuk membanding-bandingkan atau mencari agama yang paling benar (karena hakikat kebenaran hanya Tuhan yang tahu). Sebagai seorang Muslim kita ingatlah ayat diatas, bahwa kita harus berdialog dengan ahli kitab dengan cara yang paling baik. Bukan untuk menjatuhkan, apalagi memaksakan kebenaran yang telah diyakini kepada orang lain. Ingatlah, "Hidayah" hanya datang dari Sang Pencipta, manusia hanya bertugas menyampaikan bukan berorientasi pada hasil dari penyampaiannya itu, karena itu hanyalah hak preogratif Tuhan semata.
Oleh karena itu, dibutuhkan ketulusan murni dari para agamawan untuk melakukan dialog dengan serius demi kebaikan umat manusia. Disisihkan terlebih dahulu segala kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan lainnya yang akan merusak kemuliaan proses dialog antar agama. Tanpa adanya sebuah ketulusan dan keinginan bersama untuk perbaikan peradaban manusia sudah pasti dialog tidak akan pernah berjalan dengan maksimal.
Mungkin, beberapa orang agamawan takut melakukan dialog antar agama karena khawatir memalingkan kepercayaannya kepada yang lain, atau karena memang telah ada keyakinan penuh bahwa agamanyalah yang patut untuk dijalankan. Sungguh lucu, jika memang benar ada alasan tersebut untuk tidak mau melakukan dialog antar agama. Itu menandakan lemahnya keilmuan agama dan keimanan orang tersebut. Kalau yakin bahwa agamanya yang baik dan benar kenapa harus takut untuk berdialog menyampaikan kebenarannya.
Pada intinya, kesadaran para agamawan untuk memandang penting dialog antar agama dan menerapkannya dalam kehidupan menjadi poin yang juga cukup fundamental, jangan hanya sampai pada dataran wacana. Selain itu, jikalau telah melakukan dialog, hal terpenting adalah komitmen untuk melakukan keputusan-keputusan yang telah disepakati bersama. Akan sia-sia melakukan dialog, jika keputusan yang diambil tidak dijalankan bersama.
Daftar Pustaka
1. Achmad, Nur, editor. 2001. Pluralitas Agama; Kerukunan Dalam Keragaman, Kompas, Jakarta.
2. Ayoub, Mustofa, Mahmoud, Editor: Ali Noer Zaman. 2001. Mengurai Konflik Muslim-Kristen Dalam Perspektif Islam, , Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.
3. Azra, Azyumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia, Paramadina, Jakarta.
4. Bhaidawy, Zakiyuddin. 2001. Dialog Global & Masa Depan Agama, 2001, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
5. Hidayat, Komaruddin & Nafis. 1995. Agama Masa Depan perspektif Filsafat Perennial, Paramadina, Jakarta.
6. Shihab, Quraisy. 2003. Tafsir al-Mishbah. Lentera Hati, Jakarta.
7. _____________. 2003. Tafsir al-Mishbah Vol 15. Lentera Hati. Jakarta.
8. Sukidi. 2001. Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakarta.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “DIALOG ANTAR AGAMA: SIKAP ISLAM TERHADAP AGAMA LAIN”:

Leave a comment