Menerjemahkan Visi Indonesia Melalui Paradigma Kerakyatan

Haryanto*))
Tahun 2008 telah diambang mata. Meninggalkan beragam jejak-jejak historis yang mengundang berjuta harapan agar bangsa ini menuju kepada demokrasi Indonesia yang sebenar-benarnya. Tahun baru adalah kesejahteraan baru, kecerdasan baru dan keadilan baru. Begitulah kira-kira kalimat yang pantas dijadikan pegangan bangsa ini sebagai bekal paradigmatis untuk memasuki tahun 2008.
Sebelum menapaki beragam tantangan dan harapan yang bakal dituai oleh bangsa Indonesia pada kurun waktu satu tahun ke depan, adalah sesuatu yang amat penting untuk meninjau kembali “prestasi” pemerintah Indonesia (SBY-JK) dalam memimpin bangsa ini. Paling tidak, untuk dijadikan bahan perenungan dan pertimbangan bagi kita semua agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun berikutnya.
Nampaknya, kita perlu memberikan raport merah sebagai penilaian atas kinerja yang telah dilakukan SBY-JK selama kurun waktu tiga tahun. Minimal, jika ditinjau dari persoalan “pencurian budaya”, lemahnya kinerja birokrasi, melambungnya harga bahan pokok, serta ekosistem lingkungan hidup yang tak lagi seimbang.
Disamping itu, sebagai bangsa besar yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki beragam nilai kearifan budaya, Indonesia sebenarnya tidak pantas menduduki posisi sebagai negara dunia ketiga yang menjadi second class dalam keseluruhan bangsa-bangsa di dunia. Bahkan dengan tetangga serumpun kita saja (seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam) Indonesia masih jauh tertinggal, baik ditinjau dari kekuatan politik, kemapanan ekonomi, maupun kualitas pendidikan.
Beragam persoalan internal dan eksternal di atas adalah cerminan dari kegagalan kinerja para pemimpin bangsa dalam menerjemahkan visi besar bangsa Indonesia ke bentuk program-program strategis yang membumi dan sesuai dengan karakter keindonesiaan.
Visi Indonesia
Pada tahun 2008, pertarungan politik sepertinya akan menguras energi seluruh elemen bangsa. Sebab, terkait persiapan Pilkada 2008 dan pemilu 2009 yang membutuhkan perangkat hukum baru, suksesi kepemimpinan, dan pembiayaan yang tinggi akan menyita perhatian banyak kalangan. Dan, bukan tidak mungkin, visi besar bangsa Indonesia yang telah terdesain dalam pembukaan UUD 1945 akan terabaikan: menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan yang sebenar-benarnya.
Beberapa indikator akan naiknya suhu politik nasional sebenarnya telah ditandai oleh perilaku beberapa elite politik dalam bentuk perlombaan safari politik dan deklarasi kesiapan diri memimpin bangsa Indonesia periode 2009-2014. Seakan-akan mendapatkan kekuasaan politik adalah tujuan utama dalam proses berbangsa dan bernegara.
Paradigma kita harus berubah. Visi besar bangsa Indonesia tak akan pernah terrealisasikan secara nyata jika para pemimpin bangsa ini hanya mengedepankan syahwat politik kekuasaan. Politik hanya sebatas jalan, sedangkan yang terpenting pada saat ini adalah kontribusi konkret para pemimpin bangsa dengan “turun” ke dalam kantong-kantong terkecil pada masyarakat kelas bawah: petani, buruh, pedagang kecil, dan kaum miskin kota.
Masyarakat kita butuh pencerahan dalam bentuk kesejahteraan, kecerdasan dan keadilan yang sebenar-benarnya. Bukan dengan pertunjukan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi nasional, janji pendidikan gratis dan kebijakan reformasi birokrasi yang mengaburkan realitas negatif pada masyarakat kelas bawah.
Menggeser paradigma kekuasaan menjadi paradigma kerakyatan memang tidak mudah dilakukan. Dibutuhkan semacam kearifan berpikir dan berperilaku yang benar-benar berangkat dari kesadaran diri masing-masing para pemimpin bangsa. Sadar bahwa mereka adalah tauladan utama dan kunci keberhasilan dalam mewujudkan visi besar bangsa Indonesia.
Dalam hal ini, Bung Hatta adalah referensi (rujukan) yang paling tepat untuk dicontoh para pemimpin bangsa pada saat ini. Kesederhanaan, kearifan berpolitik, visioner, dan keberpihakannya terhadap rakyat kecil (khususnya petani) adalah beberapa perilaku Bung Hatta yang cukup relevan untuk diimplementasikan oleh para pemimpin bangsa dalam konteks kekinian dan keindonesiaan.
Salah satu wujud konkret kontribusi Bung Hatta terhadap Indonesia adalah gagasannya mengenai ekonomi kerakyatan. Sistem perekonomian yang dibangun berdasarkan potensi kebanyakan masyarakat Indonesia dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan demi keuntungan bersama, yang implementasinya telah dimanifestasikan dalam wadah koperasi. Sehingga, kesejahteraan tak hanya berputar pada kalangan pemodal, tetapi dapat dinikmati oleh seluruh warga hingga kelas yang paling bawah. Disinilah letak kearifan berpikir Bung Hatta dalam mewujudkan keadilan yang sebenar-benarnya, keadilan untuk semua.
Signifikansi pemikiran ekonomi kerakyatan pada saat ini adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat agar sampai kepada tingkat layak hidup. Sebab, demokrasi yang sedang diperjuangkan di negri ini tak akan pernah terwujud tanpa ditopang oleh pilar perekonomian yang merata pada seluruh masyarakat.
Dengan demikian, pada tahun 2008 yang telah diambang pintu, pemerintah harus lebih memfokuskan kebijakannya untuk membangun perekonomian dalam sektor riil yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Karena dengan kemantapan kebijakan ekonomi ini pula lah, pengadaan education for all (pendidikan untuk semua) akan benar-benar dapat terrealisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Selamat datang 2008.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Menerjemahkan Visi Indonesia Melalui Paradigma Kerakyatan”:

Leave a comment