Pendidikan Jangan Tabrak Prinsip Demokrasi

Haryanto*))
Kita semua bersepakat bahwa menyejahterakan guru adalah suatu keharusan, terutama menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan dalam negara. Paling tidak guru dapat lebih berkonsentrasi menjalankan perannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur pendidikan.
Peningkatan kesejahteraan tentunya bukan hanya menyangkut guru secara personal, tetapi juga dalam keluarga—termasuk anak. Karena keluarga merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan guru sehari-hari, selain mengajar di lembaga pendidikan.
Sebenarnya, peran ganda (sebagai guru sekaligus bagian dari keluarga) inilah yang terkadang sulit untuk disikapi sehingga tidak jarang muncul kasus-kasus yang dilematis. Sebagaimana yang belakangan ini mencuat ke permukaan adalah mengenai pemberian kursi bagi anak guru tanpa seleksi pada lembaga pendidikan tertentu. Di satu sisi, keinginan tersebut disinyalir sebagai bagian dari proses penyejahteraan guru, tetapi di sisi yang lain justru dianggap melanggar nilai keadilan.
Untuk menjawab persoalan dilematis tersebut, kita dihadapkan kepada Undang-Undang no. 14/2005 pasal 15 dan 19 tentang guru dan dosen, yang sampai saat ini penjelasannya masih multi interpretatif (Solopos, 7/7). Oleh dari itu, keputusannya akan sangat bergantung kepada logika dan kearifan berpikir siapa yang menafsirkan UU tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam preambule UUD 1945 bahwa salah satu amanah pendirian negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengajaran dalam lembaga pendidikan, tanpa pembedaan. Pernyataan tersebut sebenarnya dapat kita tarik dalam konteks pemberian kursi bagi anak guru pada sekolah tertentu. Bahwa anak guru juga bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak sama dalam pendidikan. Memprioritaskan salah satu antara anak guru dan non guru adalah sama halnya dengan mengkhianati amanah yang tertuang dalam preambule UUD 1945, dan tentunya juga menabrak prinsip demokrasi, keadilan.
Sekarang tinggal mekanisme apa yang akan diterapkan oleh lembaga pendidikan agar hak-hak mendapatkan pendidikan bagi masyarakat dapat terlaksana dengan seadil-adilnya, tanpa diskriminasi.

Konsisten Dengan Sistem PSB online
Dalam sistem seleksi penerimaan siswa baru yang mutakhir kita telah mengenal, bahkan menerapkan sistem PSB online. Sistem ini memberikan kesempatan kepada pendaftar (calon siswa) untuk menentukan empat pilihan sekolah yang akan dimasukinya. Diterima atau tidaknya pendaftar akan sangat bergantung kepada nilai akhir yang didapatkan pada saat pendidikannya yang paling akhir dan kecermatannya dalam memilih, bukan status apa yang disandangnya—anak guru atau bukan.
Jika kita ingin konsisten dengan sistem PSB online, sebenarnya sistem ini telah mampu menjawab persoalan di atas, mengenai siapa yang berhak mendapatkan kursi dalam sekolah. Karena dalam sistem PSB online telah menerapkan pola persaingan bebas yang siapa pun mendapatkan peluang sama dengan tidak mendiskriminasikan atas dasar status.
Jadi, kata kuncinya adalah keadilan. Sehingga upaya untuk menyejahterakan guru tidak selayaknya menabrak prinsip yang paling urgens dalam sistem demokrasi tersebut. Sebenarnya, jika anak guru memang benar-benar memiliki kemampuan dan kecerdasan, tentu memilih sekolah bukanlah sebuah permasalahan serius. Jika memang tetap memaksa, kita justru berbalik tanya, apakah anak seorang guru tidak mampu bersaing secara bebas dengan anak-anak lainya dalam mendapatkan sekolah?
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Pendidikan Jangan Tabrak Prinsip Demokrasi”:

Leave a comment