Mencari dalang wayang ideal

Oleh: Agung Suseno Seto*)
Akhir tahun 2009 lalu, Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan (POPK) menyusun kalender acara untuk tahun 2010. Tujuannya adalah mempromosikan kegiatan pariwisata di Sukoharjo agar memberi keuntungan lebih bagi daerah, yakni meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ditengarai, objek wisata di Kabupaten Sukoharjo Makmur ini sulit diharapkan. Salah satu agenda Dinas POPK adalah memasukkan kegiatan Paguyuban Dalang Waton (Pandawa).
Pandawa dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dalang agar masyarakat dengan menemukan dalang-dalang berkualitas dan profesional. Selama ini dalang yang dikenal masyarakat tidak beranjak kesosok-sosok yang lain, hanya itu-itu saja. Ada semacam gejala stagnasi kaderisasi dalang di dunia tradisi pewayangan masyarakat Sukoharjo. Melalui Pandawa, Dinas POPK akan membantu para dalang untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam bentuk pementasan wayang. Rencananya tiap malam Minggu Kliwon Dinas POPK akan menyajikan suguhan wayang kulit. Dalang yang bermain adalah dalang yang tergabung dalam Pandawa. 
Wayang, seperti juga produk-produk seni tradisi lainnya, eksistensinya kian terpinggirkan. Dominannya disebabkan pengaruh modernitas. Masyarakat lebih memilih memalingkan langkahnya menuju bioskop, mall, di depan televisi, diskotik dan sebagainya. Transformasi sosial budaya yang menghadirkan simbol-simbol dan baju modernitas dicurigai sebagai penyebab utama tersisihnya eksistensi seni tradisi.
Apa yang dilakukan Dinas POPK Sukoharjo dengan mengorganisir dalang dalam wadah Pandawa membersitkan kesan bahwa minimnya apresiasi masyarakat terhadap wayang karena faktor dalang. Padahal, dari perspektif sosial keagamaan, pergeseran pola keberagamaan masyarakat juga mempengaruhi. Artinya, budaya keberagamaan perlu dilihat sejenak yang kemungkinan menjadi satu dari sebab mengapa seni tradisi wayang atau budaya lokal lainnya tergerus oleh zaman. Itu artinya, potensi lenyapnya seni tradisi tidak hanya disebabkan oleh gempuran modernisasi atau minimnya kreatifitas dalang, tapi juga keyakinan pemahaman agama yang cenderung anti mitos, takhayul, khurofat, bid’ah dan sebagainya.
Kebutuhan menempatkan akar persoalan diluar modernitas menjadi penting agar kreatifitas dalang se-elegan dapat mengakomodasi atau menyesuaikan dengan karakter keberagamaan yang terus berubah. Disinilah peran dalang untuk mendialektikakan pemahaman konsep dan ide wayang dengan agama.
Kekhasan wayang yang lebih mengedepankan mitologi, atau cerita-cerita irasional bukanlah semata musuh modernitas yang rasionalistik dan positivistik, namun juga musuh agama, kususnya dalam konsep tauhid (akidah). Asumsi demikian didasarkan pada gejala keberagamaan dengan polanya yang formal-skriptural, mempertentangkannya dengan konsep-konsep budaya lokal karena dianggap tidak sah menurut akidah. Pada akhirnya, pemahaman demikian berpotensi menjadi mesin penggilas seni tradisi atau budaya lokal.  
Maka, antara agama dan tradisi lokal perlu adanya sikap saling pro-aktif dan adaptif, memunculkan suatu pemahaman agama dan budaya yang saling mengisi, menginspirasi, dan dapat melahirkan ruang-ruang dialektis kreatif. Dari sinilah kemudian kekayaan makna baru diproduksi, keduanya akan berjalan beriringan. Secara eksistensial, keduanya pun pada dasarnya merupakan teks yang meniscayakan sebuah gerak interpretasi, penafsiran, dan kontekstualisasi sesuai kebutuhan zaman.
Pemahaman sebagai hasil dari proses panjang penafsiran mesti diaktualisasikan demi berkembangnya agama dan kebudayaan. Aktualisasi itu dilakukan dengan mentransformasikan pemahaman dan bentuk penafsiran ke dalam gagasan kehidupan lebih konkrit seperti sistem nilai, gambaran dunia dan pandangan hidup, juga dalam berbagai bentuk peribadatan, upacara keagamaan dan ekspresi budaya lainnya.
Penafsiran transformatif demikan harus dilakukan secara serentak terhadap gagasan keagamaan dan konsep-konsep kebudayaan untuk mencari makna yang dapat dipahami dan diakrabi tanpa mengorbankan luasnya dan kekayaan makna yang dikandung dalam gagasan awal. Agama dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Antara satu dan lainnya menjadi modalitas penting dalam mengekspresikan kemuliaan pandangan hidup. Bahkan, secara berbarengan ekspresi agama adalah juga ekspresi budaya, dan begitu sebaliknya. Mempertentangkan keduanya hanya akan menjadikan keduanya berjalan pincang.
Mengelus dada terus karena minimnya apresiasi masyarakat akan budaya lokal tidaklah cukup. Oleh karenanya, mendesak dijawab dengan sikap renponsif dan akomodatif antar satu dengan lainnya. Bukan tidak mungkin, dialektika demikian akan memunculkan pemaknaan baru dalam pandangan hidup sebagai tawaran alternatif menapaki kehidupan lebih baik.    
Jika suatu saat nanti masyarakat sudah jenuh oleh kepongahan budaya saat ini (materialis, hedomis, konsumeris, individualis, rasionalitas semu, dan lain-lain), agama dan budaya sudah siap menawarkan solusi kebermaknaan hidup sejati, dinamis dan transformatif.
Dalang integral
Akhirnya, iktikad baik Dinas POPK tidak cukup hanya disokong oleh pekerja seni dan budaya tanpa melibatkan elemen-elemen lain. Peran agamawan, guru, penafsir dan pengkaji agama, tokoh masyarakat dan lain-lain juga turut menentukan. Diranah praktis, pentas wayang perlu terus-menerus digalakkan. Namun yang tak kalah penting lagi adalah pewacanaan pemahaman antara agama dan budaya tidak harus diperhadap-hadapkan.    Sosok dalang perlu berkarakter integratif. Sosok yang tidak hanya dikenal sebagai budayawan, tapi juga pemuka agama, tokoh masyarakat, sastrawan, sekaligus intelektual.         
*) Aktivis IMM Sukoharjo           

Tradisi Gunungan, Perjumpaan Agama dan Budaya

Oleh: Agung Suseno Seto*
Komunitas Pasar Gede, salah satu pasar tradisional di Solo, merayakan hari ulang tahun (ultah)nya yang ke-80 Kamis (12/1). Ekspresi penuh antusias komunitas Pasar Gede dan pengunjung dalam perayaan itu menandakan kebersemangatan mengisi ruang-ruang pasar untuk mencari mengais rejeki. Walau terus digempur kehadiran pasar-pasar modern seperti mall, mini market, dan sejenisnya, Pasar Gede yang diresmikan pertama kali oleh Paku Buwono  X dan Gusti Ratu Hemas pada tahun 1930 dengan arsiteknya Hermas Thomas Karsten, masih terlihat ramai setiap harinya.
Roti tar berbentuk tumpeng yang menyerupai gunungan dibuat setinggi hampir 4 (empat) meter. Komunitas Pasar Gede maupun pengunjung ramai-ramai mengelilingi gundukan roti yang kemudian dimakan bersama.
Dibalik antusiasme ultah itu, pesan agama, sosial, dan budaya menyumbul disamping juga pesan politik. Untuk yang terakhir, pesan politik, terepresentasikan oleh letak Pasar Gede yang bisa dibilang hampir berhadapan dengan pusat (sentral) pemerintahan Kota Solo, yakni Gedung Wali Kota. Sejatinyalah Wali Kota Solo dan aparat pemerintahan melihat perayaan itu sekaligus menaruh simpati dan perhatian lebih memajukan Pasar Gede dan pasar-pasar tradisional lainnya sekaligus tanggung jawab melestarikan budaya lokal dalam bungkus tradisi gunungan.   
Gunungan merupakan simbol agama sekaligus simbol budaya, hasil dari sebuah proses dialektika agama dan budaya. Bentuk yang sama juga ditemui pada penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad yang ditransformasikan melalui Sekaten (dari “syahadatain”, dua kalimat syahadat: laailaha illa Allah wa Muhammad Rasul Allah). Dalam Sekaten-an, sebuah gunungan disusun dari berbagai buah-buahan, telur dan makanan, kemudian digotong dari Kraton menuju halaman Masjid Agung, dibuat panggung, didendangkan gamelan dan sebagainya.
Dalam sejarahnya, gunungan sebagai simbolisasi budaya dan agama bukanlah monopoli Islam Jawa ansich. Pada abad ke-11 M, orang-orang Islam telah memiliki pengetahuan tentang kebudayaan dan agama Hindu, sebagaimana kebudayaan Yunani, China, Kristen dan Persia (Annemarie Schimmel:1981). Di Asia, kususnya Asia Tenggara, pemujaan terhadap Gunung dikaitkan dengan raja-raja Asia Tenggara. Raja-raja itu merasa keturunan dewa-dewa yang berasal dari puncak gunung. Misal, sejarah Melayu yang menyebut raja-raja Melayu berasal dari Bukit Siguntang. Atau, legenda Watu Gunung di Jawa maupun Dinasti Syeilendera yang sengaja menamakan dirinya sebagai raja-raja Gunung.
Gunung juga merupakan simbol tempat pertemuan manusia dengan Tuhan atau Dewa.  Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, nabi Musa menerima titah Tuhan di Thursina atau puncak Bukit Sinai. Selain itu, Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri, atau makam raja-raja Jawa yang didirikan diatas bukit seperti Imogiri di Yogyakarta dan Asta Tinggi, Sumenep. Pun, Gunung menjadi simbol pengetahuan tertinggi, simbol kesuburan, kemakmuran serta pusat kehidupan dunia. Ada juga, diatas istana raja-raja Jawa, Sumatera dan Siamm memiliki semacam gunungan. Gunungan juga bisa di presentasikan sebagai Stupa Emas di Bangkok, Tamansari di Yogyakarta dan Cirebon, dalam bentuk lingga seperti Tugu Monas Jakarta dan lain-lain.  
Estetika profetik
Roti berbentuk gunungan yang dimakan bersama-sama oleh komunitas Pasar Gede maupun pengunjung dapat dimaknai sebagai simbol aktualisasi pemerataan untuk kemakmuran, kesejahteraan dan kesentosaan sekaligus kemurahan hati bagi sesama. Melalui simbolisasi gunungan itu pula hakikat dan ajaran moral dipancarkan dan diaktualisasikan. Tidak berlebihan jika dikatakan dalam tradisi tersebut terjadi proses dialektika agama dan budaya serta menjadi wahana melestarikan nilai-nilai pengabdian dan pemujaan atas kebesaran Tuhan (Musa Asy’ari:2000).
Selama ini ada semacam kekhawatiran terhadap hubungan antara agama dan budaya. Kekhawatiran tersebut berangkat dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan yang profan. Secara eksistensial, bila ketuhanan (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang dimaksud “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan (Allah) dalam prilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Agama yang sakral menjadi substansi atau inti kebudayaan. Kebudayan merupakan konfigurasi semangat agama (Amin Abdullah: 2000).  
Untuk konteks yang lebih aktual lagi, dibalik tradisi kebudayaan itu tersimpan semangat keagamaan yang dapat menjadi tiang penyangga dan pemelihara kualitas kerohanian masyarakat, yakni pengalaman estetik spiritual. Dari pengalaman itu kemudian muncul dan lahir kesadaran religiusitas yang tinggi dan dalam. Dan dari sini pula keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik dapat terjaga sebagai dampak dari arus perubahan maupun transformasi sosial yang berjalan sangat cepat berikut kompleksitas yang menyertai.
Berkaca dari pengalaman Solo yang identik dengan “sumbu pendek”, aktualisasi-aktualisasi simbol-simbol agama dan budaya diatas dapat memberi andil positif dan mencerahkan. Oleh karenanya perlu terus dilakukan re-aktualisasi dan dikembangkan secara kreatif, dinamis dan responsif. Individu maupun kolektif yang tidak tersentuh oleh pengalaman estetik spiritual emosinya tidak stabil dan dapat memicu ketegangan-ketegangan sosial atau tindakan kekerasan.
Akhirnya, kalau perayaan Sekaten gunungan dibawa ke halaman masjid untuk kemudian dinikmati oleh khalayak penduduk sebagai bentuk kemurahan “penguasa”, roti tar raksasa di ultah Pasar Gede ke-80 perlu digotong ke depan kantor Wali Kota Solo. Dengan demikian pesan kritik sosial lebih membumi lagi, yakni Wali Kota sebagai simbol kekuasaan politik dapat merealisasikan komitmen kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Solo.      
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Reorientasi dakwah ormas agama

Oleh: Agung Suseno Seto*
Satu langkah positif kembali digelorakan dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah. Yakni, Gerakan Hidup Halal. Haedar Nasir, salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai optimistis gerakan itu sebagai upaya mengikis habis korupsi melalui jalan kultural diluar jalur hukum dan political will.
Bagi Haedar, langkah praktis yang paling mungkin dilakukan didepan mata adalah menggiatkan kembali dakwah, tabligh, majelis taklim, dan sejenisnya. Langkah praktis itu tentu memungkinkan dilakukan NU dan Muhammadiyah yang notabene organisasi yang bergerak dibidang dakwah dan sosial keagamaan.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana format dan isi dakwah? Pertanyaan ini saya pikir penting. Sebab, dakwah Islam selama ini bisa dikatakan marak dan kian menjamur. Mulai dari ceramah atau khutbah diatas mimbar hingga lewat televisi (tv). Singkatnya, kesadaran keberagamaan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kuantitas. Sayangnya, kuantitas tidak berbarengan dengan kualitas. Nah, perlu kiranya menggeser pola dakwah yang sebelumnya berorientasi formalistik ke pola sufistik.
Simbol vs substansi
Dominannya dakwah yang berciri khas simbolis dan formalistik tampaknya patut dicurigai sebagai sebab jomplangnya kuantitas dan kualitas keberagamaan. Sukses dakwah tidak dipahami sejauhmana penghayatan agama memantulkan refleksi sosial transformatif, atau merasuk kejantung-jantung keyakinan sejati. Keimanan utuh cenderung terabikan. Pribadi-pribadi luhur tidak tergarap oleh dakwah Islam.
Pada konteks inilah NU dan Muhammadiyah dituntut perannya mengkampanyekan dakwah dengan format dan isi yang mengantongi kekayaan pemikiran dan pengalaman Islam mulai dari filsafat, kalam, fiqh dan tasawuf. Untuk yang terakhir, yakni tasawuf, tampaknya perlu mendapat porsi lebih. Tasawuf menjadi relevan ditengah orientasi kehidupan umat yang menggandrungi pola hidup konsumeristik, hedonistik, dan materialistik.
Kecenderungan demikian kian menumbuhkan pola dan sikap hidup rakus, tama’, sombong atau takabur. Lebih jauh lagi, dari sikap itu kemudian muncul prilaku destruktif dan menyimpang. Korupsi misalnya. Korupsi kini bak hantu menakutkan bagi negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini.
Hossein Nasr (1985) menyerukan, bahwa ajaran-ajaran tasawuf sangat dibutuhkan untuk menangkal pola hidup seperti itu. Di antara ajaran tasawuf yang sangat relevan untuk kehidupan saat ini adalah zuhud, taubat, shabar, bersyukur ridha, qanaah, wara', uzlah,. Nilai-nilai demikian akan memberikan keseimbangan hidup antara jasmani dan ruhani. Melalui tasawuf  manusia tidak semata-mata mengejar kesenangan material tetapi juga ditunjukkan kebahagian spiritual. Kebahagiaan spiritual yang dimaksud bukan kebahagiaan yang melalaikan manusia dari kehidupan di dunia, tetapi kebahagian spiritual yang menumbuhkan gairah hidup di dunia berdasarkan ajaran Islam.
Selain itu, pola hidup dan moralitas sufistik bisa menjadi terapi bagi para elite politik (dan juga elite agama) yang selama ini mengabaikannya. Moralitas sufistik dalam ajaran tasawuf adalah penting untuk mereka yang akan mengambil keputusan politik bagi masa depan bangsa ini. Penghayatan agama melalui internalisasi moralitas sufistik di atas akan dapat menghindarkan perilaku buruk yang sering melekat dari diri para politisi, seperti tamak, rakus kekuasaan, arogan, egois, dan ekploitatif terhadap lawan-lawan politiknya.
Memang, tasawuf dulu pernah “ditakuti” orang lantaran penuh dengan arti pejoratif mengenai hal yang aneh-aneh. Tidak jarang praktik sufisme diidentikkan dengan eksklusifisme, tradisionalisme dan asketisme yang secara ekstrem lari dari kehidupan dunia dan anti terhadap persoalan-persoalan sosial dan politik. Bukan hanya ditakuti, tapi juga dilawan agar tidak tampil ditengah kehidupan umat.
Dalam sejarahnya, ada dua pola penalaran tasawuf yaitu falsafi dan pola akhlaki.  Yang pertama mendorong manusia untuk mensucikan diri agar jiwanya bisa kembali kepada Tuhan atau menyatu dengan Tuhan. Tasawuf falsafi cenderung mengabaikan syari’ah (aturan-aturan agama yang bersifat formal-skriptural). Di antara  konsep-konsep dalam pola ini adalah ma’rifah (dari Dzunnun al-Mishri), mahabbah (dari Rabi’ah al-‘Adawiyah), Wahdat al-Wujud (dari Ibn ‘Arabi), Ittihad (Abu Yazid al-Busthami), hulul  (dari Ibn Mansur al-Hallaj).
Adapun yang kedua, ajaran-ajarannya kembali kepada al-Quran dan Sunnah, untuk pendalaman batiniah agar memperoleh akhlak yang luhur (Harun Nasution, 1973).  Victor Said Basil (2000) mencatat, pola ini bisa dilihat dari Abu Zhar al-Ghifari seorang sufi yang taat dengan ajaran sunnah, dan Al-Ghazali seorang sufi yang berusaha “menghidupkan” kembali sunnah Nabi. Tampaknya, gerakan purifikasi atau perlawanan terhadap tasawuf menjatuhkan ketakutan dan pejoratifnya pada pola yang pertama, yaitu tasawuf falsafi. Oleh karenanya melihat iklim keberamaan di Indonesi pola yang pertama dirasa lebih mudah diterima.
Muslim sufi
Cendekiawan muslim Indonesia Komarudin Hidayat (1995) mendedahkan inti tasawuf sebagai ajaran yang menyatakan bahwa hahekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya. Dalam nurani manusia terdapat cahaya suci yang yang senantiasa ingin menatap Tuhan yang kemudian muncul kebahagiaan dan kedamaian prima. Jika penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagamaan dan karenanya setiap muslim mesti menjadi sufi. Tidak sedikit, baik ayat al-Qur’an atau al-Hadis menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah menyucikan jiwa sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam prilaku insaniyahnya.
Menggeser format dakwah dari simbolis dan formalitas ke substantif atau sufistik bukanlah tanpa halangan. Gerakan purifikasi dakwah Islam yang lekang dari akar identitas bangsa kian mendapat tempat. Sehingga, pemahaman dan pengalaman agama yang “formalistis” terlihat dominan. Selanjutnya “formalisme” itu akan membawa kekeringan penghayatan keagamaan.
Pada titik inilah NU dan Muhammadiyah perlu mengedepankan gerakan dakwah sosial keagamaan yang lebih liberal-spiritualistik. Bukan saatnya lagi sikap keagamaan legal formal yang bersifat hitam-putih dan pandangan monolitik yang dapat menghilangkan entitas dan kedirian yang lain (the otherness) dikedepankan. 
 *) Aktivis IMM Sukoharjo

Citra angker pansus Century

Oleh: Agung Suseno Seto*
Panitia kusus (pansus) angket Century sedikit menampakkan citra wajah angkernya. Keangkeran itu bisa dilihat dari gebrakan moral yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Srimulyani dan Wakil Presiden Boediono agar nonaktif dari jabatannya. Paling tidak pansus sudah berusaha menjerat pejabat-pejabat negara yang diduga menjadi hantu-hantu dalam penggelontoran dana Bank Century yang sementara kalangan menilai telah merugikan negara hingga 6,7 triliun rupiah.
Sontak himbauan pansus itu menggegerkan senayan. Reaksi keras bermunculan dari berbagai kalangan. Presiden pun tampak pasang ancang-ancang berdiri paling depan menolak himbauan moral pansus. Walau harus bertolak dari aspirasi sebagian masyarakat yang menghendaki Srimulyani dan Boediono dinonaktifkan, Presiden rela “bunuh diri citra” asal keduanya tidak menjadi korban angkernya pansus.
Wal hasil, himbauan tetap saja himbauan. Bak macan ompong, himbauan itu tidak memiliki gigi, tanpa sengatan. Tak jelas kemana akan berlabuh, walau nasib negara kian memprihatinkan. Nasib himbauan itu terkatung-katung menunggu sikap kenegarawanan pejabat-pejabat yang diduga menjadi hantu-hanatu negara. Dikatakan menunggu karena secara konstitusi memang tidak dibenarkan. Adalah sah tentunya jika himbauan itu tidak diindahkan oleh Srimulyani maupun Boediono. Kalau pun hendak diindahkan, tak bisa lepas dari restu Presiden.  
Tanpa merasa terusik sedikitpun, keduanya tetap berdiri diatas angin. Sah menurut konstitusi, tapi secara moral publik sudah menaruh sikap apriori dan curiga. Tidak salah jika apriori masyarakat juga dijatuhkan pada diri Presiden. Sebab, Presiden turut mengawal dan berdiri dibarisan paling depan menolak himbauan moral pansus. Lagi-lagi, alasan Presiden didasarkan alasan konstitusional. Menonaktifkan dua pejabat publik diatas adalah inkonstitusional. Kepastian hukum belum didapat apakah dua orang pilihan Presiden itu melanggar hukum atau tidak.
Ada asap pasti ada api. Begitu juga dalam kasus Century. Himbaun pansus bukan tanpa dasar, tapi berpijak pada temuan-temuan sementara yang sudah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan ada keterlibatan keduanya dalam kasus Bank Century. Dan pun, masyarakat dilevel grasroot (akar rumput) mulai dari mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat dan ormas, hingga LSM juga mendesak agar Srimulyani dan Boediono dinon-aktifkan. Disinilah sebenarnya sikap kenegarawanan pejabat publik negeri ini diuji. Toh penonaktifan keduanya tidak berarti keduanya dijatuhi kesalahan. Tujuannya adalah agar proses-proses pengusutan berjalan secara efektif, elegen dan objektif. Lalu mengapa Presiden tampak gamang dan khawatir?
Desakan moral menghendaki tanggung jawab etis dan sikap kenegarawanan agar sudi melepas sejenak tugas-tugas kenegaraan demi menjalankan peran kenegaraan lainnya. Tidaklah sulit melengserkan Srimulyani dan Boediono berdasarkan pilihan moral. Dan bukan hal yang sulit juga mencari pengganti keduanya yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama.
Artinya, jika Presiden berkehendak, keduanya dapat diyakinkan agar untuk sementara tidak menjabat alias nonaktif. Nah, adakah alasan lain mengapa Presiden rela “bunuh diri citra” berhadapan dengan suara-suara moral masyarakat yang sebagian menghendaki Srimulyani dan Boediono dinon-aktikan? Sudah jamak dipahami, rumor keterlibatan keduanya dibalik kasus Century seolah kian mengkristal begitu dalam dibenak publik. Artinya, dosa-dosa sementara Century  diletakkan diatas pundak dua sosok ekonom tersebut.
Kalau boleh direka-reka, alasan mengapa Presiden membela dua orang kepercayaan itu karena adanya gejolak dan ketidaknetralan suhu politik dilingkaran kekuasaannya. Pilihan moral dan konstitusional dihimpit oleh motif-potif politis yang datang dari elit-elit sekitar senayan. Isu paling santer yang ramai diberitakan baru-baru ini adalah adanya pengkhianatan politik dilingkaran koalisi. Jauh hari sebelum itu pun, seteru Srimulyani dan Abu Rizal Bakrie bisa menjadi petunjuk ketidakstabilan kekuasaan Presiden. Tanda-tanda lain juga bisa dibaca dari kecemasan Presiden akan adanya gerakan politik dibalik gerakan sosial 9 Desember  lalu yang nyata-nyata tidak terbukti. Kecurigaan inikah yang mendasari Presiden tidak mengambil pilihan moral kepada dua orang kepercayaannya (Srimulyani dan Boediono)? Bukanlah himbauan pansus diatas sama dengan kasus Bibit-Candra (KPK atau Cicak) lawan Buaya (Polri)? 
Jika memang demikian, sikap Presiden itu tentu tidak produktif. Presiden mesti menaruh sikap positif dan bisa meyakinkan partner koalisinya untuk merapatkan barisan, menyatukan soliditas koalisi politik hingga akhir kepemimpinan. Masyarakat tentu tidak menginginkan isu pecah kongsi koalisi yang berpotensi menghambat kinerja dan program-program politik yang telah dijanjikan, lebih-lebih program 100 hari pemerintah.
Oleh karenanya, kecuriagaan terhadap pansus Century sebagai ajang atau momentum merongrong kekuasaan SBY selayaknya dibuang-jauh-jauh. Harapan publik semata-mata hanya agar tabir kasus Century disibak selebar mungkin. Akan lebih objektif jika proses pengusutan dalam posisi tidak menjabat agar tidak terjadi ketimpangan dan dualisme kepentingan.
Lanjutkan pansus angket Century. Buat seangker mungkin pansus agar hantu-hantu negara segera ditangkap dan diadili.               
*) Aktivis IMM Sukoharjo   

Jalan Pinggir Memberantas Korupsi

Oleh: Agung Suseno Seto*
Kegusaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan adanya gerakan politik yang menunggangi gerakan sosial saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Rabu lalu (9/12) terjawab sudah. Konstelasi politik nasional tidak menunjukkan gelagat penggulingan kekuasaan. Kekhawatiran Presiden pupus dan tidak terbukti. Data-data yang konon bersandar pada informasi yang didapat dari kerja-kerja intelejen invalid alias tidak tepat.
Sebagaimana banyak diberitakan, aksi damai peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dihampir semua penjuru Tanah Air oleh berbagai elemen mahasiswa, LSM, ormas dan sebagainya tanpa dibumbui warna konflik atau kerusuhan berarti. Bukan hanya jawaban buat Presiden atas kegusarannya itu, tapi juga memoles perasaan lega bagi masyarakat yang tetap menginginkan kehidupan yang konstitusional, damai dan harmonis.
Kendati demikian kecemasan Presiden itu membekaskan kegamangan psikologis dan gesekan tidak nyaman terkait relasinya dengan masyarakat, antara Presiden dengan tokoh-tokoh gerakan sosial moral, aktivis, intelektual, dan lain-lain yang menaruh perhatian dalam mendorong upaya pemberantasan korupsi. Bahkan dilevel elit-elit politik pun rawan bertupuknya sikap curiga serta konflik kepentingan.
Dibalik ketakutan Presiden itu pun menyimpan aroma “tuduhan”, ilusi prejudice, terhadap para aktivis gerakan sosial moral antikorupsi. Ada semacam kesenjangan konsepsi dan mindset bersama dalam pemberantasan korupsi. Presiden hendak mengabaikan perjuangan from below (dari bawah). Padahal, tidak bisa tidak, pemberatasan korupsi meniscayakan kesepadanan mindset antara Presiden dan masyarakat, spirit kebersamaan, dan saling kepercayaan utuh. Oleh karenanya, Presiden perlu mengklarifikasi sikap “paranoid”-nya yang terlanjur menorehkan kekesalan masyarakat bahkan apatisme.
Kecaman sementara kalangan atas ketakutan Presiden itu tampak ada benarnya. Seyogyanya Presiden mendukung gerakan sosial moral di Hari Antikorupsi Sedunia, bukan malah dijatuhi hujan ketakutan, syak wa sangka. Gerakan sosial moral yang membopong isu pemberantasan korupsi perlu dilihat sebagai tanda bahwa masyarakat kian cerdas, kritis, dan respek akan bahaya korupsi. Progresifitas sarat pencerahan yang tertanam dalam diri masyarakat sekaligus modal sosial strategis dalam menggebuk pelaku korupsi yang semakin sistematis, rapih. dan terorganisir. Tanpa kesadaran tinggi masyarakat, sulit membenam budaya korupsi, apalagi membongkar akarnya hingga terlanjur menghujam jauh kedalam. Pada konteks inilah sebenarnya political will Presiden perlu asupan kekuatan (power) dan dukungan dalam menumpas habis korupsi.  
Berkaca pada sukses cemerlang sebagian negara-negara dunia dalam memberantas korupsi, selain dukungan penuh masyarakat political will pemerintah berada digarda depan. Political will itu kemudian diturunkan dalam pembenahan sistem hukum yang berwibawa, tata kelola pemerintahan (birokrasi) yang efektif, efisien dan transparan, memburu mafia peradilan dan sebagainya. China dan Hongkong merupakan contoh tepat dengan segala kelebihan sistem atau perangkat hukum yang bermartabat. Karakteristik yang melekat dalam hukum dua negara itu salah satunya seperti hukum yang memberikan efek jera maksimal, bukan dagelan seremoni yang mudah dikooptasi oleh kekuatan uang maupun kekuasaan (politik).
Tak lain, sukses besar itu bertolak dari political will dan komitmen yang berani, tegas, tanpa ragu. Toh pemberantasan korupsi merupakan perjuangan kebenaran dan demi kebenaran itu sendiri yang jika ditegakkan, kesejahteraan dan kemakmuran bukanlah mimpi disiang bolong. Oleh karenanya, melawan arus dorongan masyarakat dalam memberantas korupsi sama artinya melawan arus banjir bandang yang siap menerjang. Dalam terminologi ushul fikih (metodologi hukum Islam) gerakan sosial moral masyarakat (harokah al-ijtima’iyyah) merupakan wahana dan media menggalang “ijma’” atau kesepakatan bersama yang tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan atau ketidakbenaran. Menggapai kebenaran tentu meniscayakan jalan yang benar. Egrakan sosial moral merupakan alternatif jalan merengkuh dan menegakkan kebenaran dan keadilan, bebas dari gurita korupsi.
Cermin diatas tidak melekat dalam potret pemberantasan korupsi di negeri ini. Kelambanan ditengah polemik Cicak lawan Buaya maupun dana talangan Bank Century hingga 6,7 triliu yang diduga merugikan negara memberi arti bahwa political will masih sebatas slogan.
Jalan pinggir
Runyamnya lagi, over acting Presiden akan adanya gerakan politik. Data-data yang konon disandarkan pada informasi intelijen memberi kesan bahwa negara dengan intelijennya masih dominan mencurigai masyarakat layaknya kerja-kerja inteleijen di era orde baru. Padahal, diera demokratisasi saat ini, sudah saatnya intelijen menodongkan sikap curiganya pada ancaman terhadap ketahan bangsa yang datang dari luar, terorisme misalnya, maupun gejala penyakit sosial masyarakat seperti sindikat jaringan narkoba yang belakangan ini kian marak dan sangat mengkhawatirkan. Selain itu, pemerintah pun perlu mengintensifkan penempatan intelijen dalam pos-pos strategis pemerintahan yang menjadi sarang koruptor, hilir mudik makelar kasus, mafia peradilan dan sejenisnya.
Sebelum terlanjur jauh masuk dalam ketegangan psikologis relasi Presiden dengan masyarakat, Presiden tampaknya mendesak untuk mengklarifikasi statemennya beberapa waktu lalu yang sarat kecurigaan agar potensi masyarakat sadar kritis terhadap korupsi tidak menguap atau menjadi debu yang berhamburan. Jika kesadaran itu hilang, gerakan anti korupsi dari bawah (from below) juga turut menyusut. Gerakan anti korupsi tidak bisa menafikan dan perlu menyepadankan antara perjuangan dari atas (from above) dan from below atau “jalan pinggir”.
Tanpa ada keselarasan dua pola diatas, yakni political will dan gerakan sosial moral, genderang jihad melawan korupsi yang dipimpin langsung oleh Presiden sulit direalisasikan. Sudah menjadi rahasia umum, transaksi politik, jual beli hukum, politik kartel, acap terdengar santer mewarnai. Political will rawan tertindih  hasrat political corruption.
Kita khawatir kecemasan Presiden diatas mematikan perjuangan antikorupsi from below. Semoga tidak!    
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Over acting Presiden

Oleh: Agung Suseno Seto
Kegusaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan adanya gerakan politik yang menunggangi gerakan sosial saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Rabu lalu (9/12) terjawab sudah. Konstelasi politik nasional tidak menunjukkan gelagat penggulingan kekuasaan. Kekhawatiran Presiden pupus dan tidak terbukti. Data-data yang konon bersandar pada informasi yang didapat dari kerja-kerja intelejen invalid alias tidak tepat.
Sebagaimana banyak diberitakan, aksi damai peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dihampir semua penjuru Tanah Air oleh berbagai elemen mahasiswa, LSM, ormas dan sebagainya tanpa dibumbui warna konflik atau kerusuhan berarti. Bukan hanya jawaban buat Presiden atas kegusarannya itu, tapi juga memoles perasaan lega bagi masyarakat yang tetap menginginkan kehidupan yang konstitusional, damai dan harmonis.
Kendati demikian kecemasan Presiden itu membekaskan kegamangan psikologis dan gesekan tidak nyaman terkait relasinya dengan masyarakat, antara Presiden dengan tokoh-tokoh gerakan sosial moral, aktivis, intelektual, dan lain-lain yang menaruh perhatian dalam mendorong upaya pemberantasan korupsi. Bahkan dilevel elit-elit politik pun rawan bertupuknya sikap curiga serta konflik kepentingan.
Syak wa sangka
Dibalik ketakutan Presiden itu pun menyimpan aroma “tuduhan”, ilusi prejudice, terhadap para aktivis gerakan sosial moral antikorupsi. Ada semacam kesenjangan konsepsi dan mindset bersama dalam pemberantasan korupsi. Presiden hendak mengabaikan perjuangan from below (dari bawah). Padahal, tidak bisa tidak, pemberatasan korupsi meniscayakan kesepadanan mindset antara Presiden dan masyarakat, spirit kebersamaan, dan saling kepercayaan utuh. Oleh karenanya, Presiden perlu mengklarifikasi sikap “paranoid”-nya yang terlanjur menorehkan kekesalan masyarakat bahkan apatisme.
Kecaman sementara kalangan atas ketakutan Presiden itu tampak ada benarnya. Seyogyanya Presiden mendukung gerakan sosial moral di Hari Antikorupsi Sedunia, bukan malah dijatuhi hujan ketakutan, syak wa sangka. Gerakan sosial moral yang membopong isu pemberantasan korupsi perlu dilihat sebagai tanda bahwa masyarakat kian cerdas, kritis, dan respek akan bahaya korupsi. Progresifitas sarat pencerahan yang tertanam dalam diri masyarakat sekaligus modal sosial strategis dalam menggebuk pelaku korupsi yang semakin sistematis, rapih. dan terorganisir. Tanpa kesadaran tinggi masyarakat, sulit membenam budaya korupsi, apalagi membongkar akarnya hingga terlanjur menghujam jauh kedalam. Pada konteks inilah sebenarnya political will Presiden perlu asupan kekuatan (power) dan dukungan dalam menumpas habis korupsi.   
Berkaca pada sukses cemerlang sebagian negara-negara dunia dalam memberantas korupsi, selain dukungan penuh masyarakat political will pemerintah berada digarda depan. Political will itu kemudian diturunkan dalam pembenahan sistem hukum yang berwibawa, tata kelola pemerintahan (birokrasi) yang efektif, efisien dan transparan, memburu mafia peradilan dan sebagainya. China dan Hongkong merupakan contoh tepat dengan segala kelebihan sistem atau perangkat hukum yang bermartabat. Karakteristik yang melekat dalam hukum dua negara itu salah satunya seperti hukum yang memberikan efek jera maksimal, bukan dagelan seremoni yang mudah dikooptasi oleh kekuatan uang maupun kekuasaan (politik).
Cermin diatas tidak melekat dalam potret pemberantasan korupsi di negeri ini. Kelambanan ditengah polemik Cicak lawan Buaya maupun dana talangan Bank Century hingga 6,7 triliu yang diduga merugikan negara memberi arti bahwa political will masih sebatas slogan.
Dari bawah
Runyamnya lagi, ditambah oleh over acting Presiden akan adanya gerakan politik. Sebelum terlanjur jauh masuk dalam ketegangan psikologis relasi Presiden dengan masyarakat, Presiden tampaknya mendesak untuk mengklarifikasi statemennya beberapa waktu lalu yang sarat kecurigaan agar potensi masyarakat sadar kritis terhadap korupsi tidak menguap atau menjadi debu yang berhamburan. Jika kesadaran itu hilang, gerakan anti korupsi dari bawah (from below) juga turut menyusut. Gerakan anti korupsi tidak bisa menafikan dan perlu menyepadankan antara perjuangan dari atas (from above) dan from below.
Tanpa ada keselarasan dari dua pola diatas, yakni political will dan gerakan sosial moral, genderang jihad melawan korupsi yang dipimpin langsung oleh Presiden sulit direalisasikan. Kita khawatir kecemasan Presiden diatas mematikan perjuangan antikorupsi from below. Semoga tidak!      
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Muhammadiyah dan civil society

Oleh: Agung Suseno Seto
Memperingati jelang pascaseabad Muhammadiyah, Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsuddin beberapa waktu lalu melontarkan gagasan tahap kedua gerakan dan program Muhammadiyah. Orang nomor satu di organisasi masyarakat sosial keagamaan itu menyerukan agar strategi Muhammadiyah kedepan mulai dari bidang budaya, sosial, ekonomi, dan kaitannya dengan politik kekuasaan perlu menyesuaikan dengan konteks perubahan zaman, terlebih sindrom globalisasi. Singkatnya, tahab kedua harus memiliki terobosan-terobosan lebih baik dibanding tahap pertama. Seruan itu dilontarkan disela-sela sesi sambutan dihadapan pembesar (pejabat) negara, pemimpin Partai Politik (Parpol), perwakilan ormas agama, dan lain-lain beberapa waktu lalu di Jakarta (24/11).
Slogan yang dilontarkan Dien diatas tentu petut disimak, ditangkap secara kritis, diulas, bahkan ditafsir kembali korelasi dan relevansinya dengan Muhammadiyah kini dan akan datang. Apalagi rencana agenda Muktamar Muhammadiyah ke-46, Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, dengan tema ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” juga sudah ditetapkan. Tidak berlebihan jika dikatakan terminologi “Peradaban Utama” ditempatkan sebagai salah satu isu sentral yang termasuk dalam agenda tahab kedua diatas. Pun, Perbincangan seputar Peradaban Utama, masyarakat beradab, masyarakat madani, masyarakat utama, masyarakat sipil atau civil society dalam kaitannya dengan Muhammadiyah belakangan ini sempat ramai diperbincangkan baik dikalangan Muhammadiyah sendiri maupun sementara pengamat diluar Muhammadiyah. 
Yang tak kalah menarik lagi dalam kaitan civil society dan Muhammadiyah adalah fenomena gerakan sosial yang dalam sepekan ini kian menampakkan riak-riak garangnya. Gerakan sosial terus membanjir mengiringi gejala inkonsistensi elit-elit politik dalam pemberantasan korupsi baik dilevel eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Ditengah krisis komitmen dan pudarnya sikap kenegarawanan elit-elit dan pejabat pemerintah itulah gerakan sosial marak. Sesekali isu itu diplesetkan untuk diarahkan menjadi gerakan politik yang tidak sedikit mengundang rasa pitam, sesak nafas, dan kebakaran jenggot elit-elit sekitar senayan.
Bila ditelisik sekilas, elemen-elemen dalam gerakan sosial itu seperti kelompok mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, pelbagai kelompok atau perorangan yang bukan “negara”. Sebagian dari elemen-elemen itu didominasi oleh kelompok-kelompok yang bukan pemerintah dan bukan pula militer. Kemunculan gerakan sosial itu salah satunya dilatari oleh potret stagnasi bahkan degradasi peran dan fungsi lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Kasus aktual adalah ketidakberdayaan lembaga-lembaga demokrasi menghadang brutalnya gerakan korupsi berjamaah yang diduga melibatkan mafia peradilan, makelar kasus, elit-elit yudikatif dan ekskutif, polisi, dan lain-lain. Ditengah kecamuk itu, lembaga legislatif pun tak lebih menjadi penonton dan malah mengabaikan arus gelombang aspirasi mayarakat.
Gerakan sosial tersebut tak lain hendak menggugah kebekuan demokrasi yang secara prosedural memang sukses dilakoni. Namun, secara substansial jauh panggang dari api. Sementara kalangan menilai, kebekuan demokrasi itu disebabkan oleh proses-proses politik demokratis transaksional, konspiratif, korup, dan de-moralisasi, serta tranparansi yang terabaikan. Secara prosedural, demokrasi sebagai bentuk konkrit kedaualtan rakyat memang tampak meng-adab-kan dan meng-utama-kan masyarakat bangsa dan negara, tapi secara secara esensi lebih mengutamakan dan mensejahterakan elit-elit politik dan golongan tertentu.
Dibalik gerakan sosial itu, tidak terlihat secara jelas apakah Muhammadiyah turut andil didalamnya. Namun secara gamblang bisa dikatakan bahwa Muhamamdiyah merupakan organisasi atau lembaga yang bukan bagian dari pemerintah, bukan militer. Muhammadiyah adalah organisasi sosial masyarakat keagamaan yang independen guna memajukan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat baik melalui pendidikan, dakwah, amal saleh, pemberdayaan, dan sebagainya. Dalam bahasa lain Muhammadiyah hendak mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Jika Muhammadiyah dimaknai secara demikian, Muhamamdiyah sudah memenuhi sarat sebagai gerakan sosial yang sejatinya menjadi gerbong serta motor penggerak pendobrak kebekuan demokrasi. Angan-angan dan mimpi gerakan sosial terseut tak lain adalah menegakkan masyarakat, bangsa dan negara diatas nilai-nilai keadaban yang bebas dari korupsi, misalnya. Demokrasi harus mewujudkan masyarakat transparan, komunikatif, akuntabel, rule of law (supremasi hukum), mengindahkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan lain-lain.
Tidak salah jika dikatakan bahwa tema Muktamar Muhamamdiyah kedepan memiliki pesan sebangun dengan tujuan-tujuan diatas. Selain itu, ada benang merah yang penting untuk diulur dan kemudian dirajut kembali antara cita-cita Muhammaidyah dengan gagasan civil society. Apalagi dalam sejarahnya, demokrasi dan civil society ibarat saudara kembar yang hadir secara berbarengan. Demokrasi akan terkonsolidasi jika bangunan civil society kokoh. Selain itu, penciptaan sistem demokrsi tidak bisa didasarkan semata pada niat baik pemerintah atau kekuasaan Negara, tapi dilakukan oleh masyarakat melalui penguatan-penguatan potensi yang ada sehingga dapat menjembatani hubungan antara individu dan masyarakat disatu pihak, dan negara dan pemegang institusi lainnya dipihak lain.
Peradaban Utama dalam tema Muhammadiyah diatas tampaknya memiliki kesamaan makna dengan civil society. Diatas jagat intelektual Tanah Air, tidak sedikit kalangan yang menyepadankan gagasan peradaban utama dengan civil society, masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat utama. Sedikit perlu disinggung, di Indonesia, istilah civil society dipahami secara beragam. Implikasinya yang paling kentara adalah apakah civil society itu sepadan dengan nilai nilai Islam atau tidak. Dawam Raharjo misalnya. Ia lebih memilih masyarakat madani dari pada civil society. Alasannya, masyarakat madani dapat dilacak arkeologisnya, yakni zaman Nabi Muhammad di Madinah.
Sampai disini, terlalu simplistis memang mengkaitkan gagasan civil society atau peradaban utama, masyarakat madani, masyarakat utama, dengan maraknya gerakan sosial saat ini. Tapi hemat penulis, gerakan sosial bisa ditempatkan sebagai artikulasi “minimalis” dari civil society yang perlu terus disirami, dijaga, dan disemai kehadirannya. Itu artinya, ada artikulasi “maksimal” atau “ideal” yang memerlukan sarat-sarat tidak sedikit agar gagasan civil society atau peradaban utama benar-benar dapat diimplimentasikan.
Dalam kaitan Muhammadiyah dan civil society diatas, pertanyaan yang kemudian layak diunculkan adalah adakah ketersediaan “bahan-bahan sosial” bagi Muhamamdiyah untuk mengidentifikasi sebagai pembopong civil society? Ketika berhadapan dengan negara, peran dan fungsi pokok seperti apakah yang mendesak untuk dimainkan oleh Muhammadiyah? Dua pertanyaan itu saya pikir menjadi simpul strategis dalam mendedahkan gagasan-gagasan civil society yang kemudian disandingkan dengan Muhammadiyah.
Pertanyaan-pertanyaan fundamental lain yang tentunya memiliki keterkaitan dengan pertanyaan diatas adalah, seperti apakah gagasan awal civil society? Adakah keselarasan gagasan civil society dengam Muhammadiyah di Indonesia yang memiliki tradisi Islam? Relevakah gagasan civil society atau masyarakat madani disematkan dalam tubuh Muhammadiyah jika dilihat dari dinamika sejarah Muhammadiyah baik sejak awal kemunculannya hingga saat ini? Yang lebih penting lagi, bagaimana menjelaskan civil society dan Muhamamdiyah pascareformasi dimana banyak elit-elit Muhamamdiyah berbareng bergerak eksodus ke politik praktis?              
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Komitmen kebangsaan Muhammadiyah

Oleh: Agung Suseno Seto*
Untuk ukuran manusia, usia seabad (seratus tahun) bisa dibilang renta dan sudah menemukan senjakalanya. Namun bagi organisasi masyarakat sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, seratus tahun masih relatif muda, walau jauh lebih tua dibanding usia Indonesia.
Kedewasaan Muhammadiyah perlu terus dimatangkan dalam mengawal pencarian jati diri bangsa ini yang seolah kian mengalami ambiguitas dan ambivalensi disegala lini. Fakta didepan mata adalah degradasi moral politik, karut-marut keadilan hukum, dan sebagainya. 
Memperingati seabad  usia Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyerukan program tahap kedua Muhammadiyah. Seruan itu dilontarkan dihadapan pembesar (pejabat) negara, pemimpin Partai Politik (Parpol), perwakilan ormas agama dan lain-lain beberapa waktu lalu di Jakarta.
Jamak dipahami, Muhammadiyah sejauh ini memang sudah menjajaki proses-proses (tahap pertama) dengan segala capaian dan keberhasilannya. Oleh karenanya, apa yang ditoreh Muhammadiyah dulu dan kini harus dijadikan pijakan dalam menatap masa depan. Muhammadiyah tahap kedua yang diserukan Dien Syamsuddin perlu berpijak pada tahap pertama Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga usia seabad.
Pengawal kekuasaan
Berbagai temuan terkait kontribusi Muhammadiyah menegaskan bahwa Muhammadiyah tak diragukan lagi komitmen kebangsaan dan ke-Indonesiaan-nya mulai dari aspek sosial maupun budaya, lebih-lebih politik.
Muhammadiyah dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Diatas pentas sejarah, kelahiran Muhammadiyah tak lepas dari respon atas politik kekuasaan. Alfian (1989) mencatat bahwa Muhammadiyah dalam politik cukup besar andilnya dalam memajukan bangsa. Sikap resistensi dan oposisi keras ditunjukkan Muhammadiyah terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang kontra-produktif dengan keberadaban.
Dalam konteks demokratisasi saat ini, berdasarkan patokan sejarah itu, adalah tepat kiranya jika Muhammadiyah memposisikan diri sebagai elemen yang kritis-konstruktif atas keputusan-keputusan politik yang ditelurkan pemerintah. Wajah Muhammadiyah dalam berhadapan dengan politik kekuasaan semestinya tidaklah monolitik. Pilihan-pilihan strategis dan jitu perlu dipikirkan. Keterkaitan Muhammadiyah dan politik merupakan pilihan rasional yang tak terbantahkan.
Dorongan mengenakan jubah kekuasaan politik praktis selayaknya disingsingkan guna menatap jalan mitra-kritis, otonom, independen, oposisi. Apalagi rencana agenda Muktamar Muhammadiyah ke-46, Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, dengan tema ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” juga sudah ditetapkan.
Kalau boleh penulis melintas diatas maksud tema diatas, “peradaban utama” yang termaktub tak lain adalah “masyarakat utama” yang kerap dipadankan dengan “masyarakat madani”. Bahkan ada juga sementara kalangan yang menyandingkannya dengan civil society.
Dalam banyak literatur, secara substansial istilah ini sering kali merujuk pada makna sebagai masyarakat beradab, lembaga atau perorangan yang “bukan negara”, masyarakat bukan militer atau masyarakat yang terpisah dari militer. Civil society adalah masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah dan yang bebas dari paksaan serta ancaman.
Hanya saja dalam tradisi Muhammadiyah, cita-cita civil society adalah salah satu varian dari gagasan besar Muhammadiyah yakni menciptakan masyarakat utama yang diridhoi oleh Allah SWT atau sebuah peradaban utama yang berdiri diatas peradaban yang dianjurkan atau telah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, yakni masyarakat madani.     
Wajah Muhammadiyah yang sarat gerakan civil society perlu terus dipolesi spirit kemandirian agar cita-cita awal Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial keagamaan dan pemberdayaan umat tidak pudar. Pengalaman mencatat, ketika Muhammadiyah terjebak dalam hiruk-pikuk politik praktis, Muhammadiyah hilang kendali dan keluar dari rel sebenarnya. Muhammadiyah lupa dan mengabaikan umat. Cita-cita kemaslahatan umat cenderung ditindih oleh obsesi membangun kemaslahatan politik kekuasaan dilevel struktural dengan mengorbankan keterbukaan Muhammadiyah.   
Komitemn lainnya yang tak kalah penting adalah peneguhan Muhammadiyah sebagai payung, pelindung dan pintu penjaga tradisi lokal yang dimiliki bangsa ini yang juga sebagai penanda keberagaman (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Orientasi gerakan Muhammadiyah telah terbukti sangat menekankan pentingnya ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda. Akar-akar toleransi, pluralisme, ideologi sosial, dan relativisme (terbuka terhadap ide-ide baru dan prinsip ijtihad) ada dalam Muhammadiyah.           
Temuan Mitsou Nakamura (1976), James L Peacock (1980), Ahmad Jainuri (2002) dan Alwi Shihab (1998) misalnya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat. Melengkapi torehan-torehan Muhammadiyah diatas, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, 2000) juga telah menggelontorkan wacana terkait pandangan Muhammadiyah mengenai pluralisme. MTPPI menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme.
Terbuka
Oleh karenanya, prasarat yang perlu diletakkan diatas pundak Muhammadiyah agar menjadi pengawal kekuasaan, payung budaya, dan penjaga tradisi lokal bangsa tak lain Muhammadiyah sebagai gerakan terbuka, akomodatif, tidak monolitik, toleran, kemampuan melakukan objektivikasi dakwah Islam dan –meminjam bahasa James L Peacock (1980)- rasionalisasi kebudayaan.
Jika Muhammadiyah mengabaikan prasarat diatas bukan tidak mungkin Muhammadiyah akan kian diidentikkan sebagai anti tradisi lokal, radikal dan tidak toleran sebagai konsekuensi identifikasi gerakan puritan yang terlanjur dikantongi Muhammadiyah. Dampaknya, Muhammadiyah tidak lagi dimiliki oleh semua, tapi hanya milik segolongan tertentu. Dengan prasarat-prasarat diatas, Muhammadiyah tidak akan gamang berinovasi dan menemukan wajah Muhammadiyah yang kreatif sesuai tuntutan perubahan zaman. Agenda perubahan tahap kedua dengan demikian bukanlah mimpi untuk diwujudkan. Semoga!       
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Gerakan Jilid II Muhammadiyah

Oleh: Agung Suseno Seto*
Untuk ukuran manusia, usia seabad (seratus tahun) bisa dibilang renta dan sudah menemukan senjakalanya. Namun bagi organisasi masyarakat sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, seratus tahun masih relatif muda, walau jauh lebih tua dibanding usia Indonesia yang baru-baru ini melahirkan belasan menteri dalam jargon Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang dikomandoi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedewasaan Muhammadiyah perlu terus dimatangkan dalam mengawal pencarian jati diri bangsa ini yang seolah kian mengalami ambiguitas dan ambivalensi disegala lini. Fakta didepan mata adalah degradasi moral politik, karut-marut keadilan hukum, dan sebagainya.  
Memperingati seabad  usia Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyerukan program tahap kedua Muhammadiyah. Seruan itu dilontarkan disela-sela sesi sambutan dihadapan pembesar (pejabat) negara, pemimpin Partai Politik (Parpol), perwakilan ormas agama, dan lain-lain beberapa waktu lalu di Jakarta (24/11).
Jamak dipahami, Muhammadiyah sejauh ini memang sudah menjajaki proses-proses (tahap pertama) dengan segala capaian dan keberhasilannya. Oleh karenanya, apa yang ditoreh Muhammadiyah dulu dan kini harus dijadikan pijakan dalam menatap masa depan. Muhammadiyah tahap kedua yang diserukan Dien Syamsuddin perlu berpijak pada tahap pertama Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga usia seabad.
Pengawal kekuasaan
Berbagai temuan ilmiah terkait kontribusi Muhammadiyah menegaskan bahwa Muhammadiyah tak diragukan lagi komitmen kebangsaan dan ke-Indonesiaan-nya mulai dari aspek sosial, budaya hingga politik. Lebih-lebih politik.
Muhammadiyah dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Diatas pentas sejarah, kelahiran Muhammadiyah tak lepas dari respon atas politik kekuasaan. Alfian (1989) mencatat bahwa Muhammadiyah dalam politik cukup besar andilnya dalam memajukan bangsa. Sikap resistensi dan oposisi keras ditunjukkan Muhammadiyah terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang kontra-produktif dengan keberadaban.
Dalam konteks demokratisasi saat ini, berdasarkan patokan sejarah itu, adalah tepat kiranya jika Muhammadiyah memposisikan diri sebagai elemen yang kritis-konstruktif atas keputusan-keputusan politik yang ditelurkan pemerintah. Wajah Muhammadiyah dalam berhadapan dengan politik kekuasaan semestinya tidaklah monolitik. Pilihan-pilihan strategis dan jitu perlu dipikirkan. Keterkaitan Muhammadiyah dan politik merupakan pilihan rasional yang tak terbantahkan.
Dorongan mengenakan jubah kekuasaan politik praktis selayaknya disingsingkan guna menatap jalan mitra-kritis, otonom, independen, oposisi. Apalagi rencana agenda Muktamar Muhammadiyah ke-46, Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, dengan tema ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” juga sudah ditetapkan.
Kalau boleh penulis melintas diatas maksud tema diatas, “peradaban utama” yang termaktub tak lain adalah “masyarakat utama” yang kerap dipadankan dengan “masyarakat madani”. Bahkan ada juga sementara kalangan yang menyandingkannya dengan civil society.
Dalam banyak literatur, secara substansial istilah ini sering kali merujuk pada makna sebagai masyarakat beradab, lembaga atau perorangan yang “bukan negara”, masyarakat bukan militer atau masyarakat yang terpisah dari militer. Civil society adalah masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah dan yang bebas dari paksaan serta ancaman.
Hanya saja dalam tradisi Muhammadiyah, cita-cita civil society adalah salah satu varian dari gagasan besar Muhammadiyah yakni menciptakan masyarakat utama yang diridhoi oleh Allah SWT atau sebuah peradaban utama yang berdiri diatas peradaban yang dianjurkan atau telah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, yakni masyarakat madani.      
Wajah Muhammadiyah yang sarat gerakan civil society perlu terus dipolesi spirit kemandirian agar cita-cita awal Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial keagamaan dan pemberdayaan umat tidak pudar. Pengalaman mencatat, ketika Muhammadiyah terjebak dalam hiruk-pikuk politik praktis, Muhammadiyah hilang kendali dan keluar dari rel sebenarnya. Muhammadiyah lupa dan mengabaikan umat. Cita-cita kemaslahatan umat cenderung ditindih oleh obsesi membangun kemaslahatan politik kekuasaan dilevel struktural dengan mengorbankan keterbukaan Muhammadiyah.    
Penjaga budaya
Komitemn lainnya yang tak kalah penting adalah peneguhan Muhammadiyah sebagai payung, pelindung dan pintu penjaga tradisi lokal yang dimiliki bangsa ini yang juga sebagai penanda keberagaman (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Orientasi gerakan Muhammadiyah telah terbukti sangat menekankan pentingnya ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda. Akar-akar toleransi, pluralisme, ideologi sosial, dan relativisme (terbuka terhadap ide-ide baru dan prinsip ijtihad) ada dalam Muhammadiyah.            
Temuan Mitsou Nakamura (1976), James L Peacock (1980), Ahmad Jainuri (2002) dan Alwi Shihab (1998) misalnya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat. Melengkapi torehan-torehan Muhammadiyah diatas, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, 2000) juga telah menggelontorkan wacana terkait pandangan Muhammadiyah mengenai pluralisme. MTPPI menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme,
Terbuka
Oleh karenanya, prasarat yang perlu diletakkan diatas pundak Muhammadiyah agar menjadi pengawal kekuasaan, payung budaya, dan penjaga tradisi lokal bangsa adalah menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan terbuka, akomodatif, tidak monolitik, toleran, kemampuan melakukan objektivikasi dakwah Islam dan –meminjam bahasa James L Peacock (1980)- rasionalisasi kebudayaan.
Jika Muhammadiyah mengabaikan prasarat diatas bukan tidak mungkin Muhammadiyah akan kian diidentikkan sebagai anti tradisi lokal, radikal dan tidak toleran sebagai konsekuensi identifikasi gerakan puritan yang terlanjur dikantongi Muhammadiyah. Dampaknya, Muhammadiyah tidak lagi dimiliki oleh semua, tapi hanya milik segolongan tertentu. Dengan prasarat-prasarat diatas, Muhammadiyah tidak akan gamang berinovasi dan menemukan wajah Muhammadiyah yang kreatif sesuai tuntutan perubahan zaman. Agenda perubahan tahap kedua atau Jilid II dengan demikian bukanlah mimpi untuk diwujudkan. Semoga!      
 *) Aktivis IMM Sukoharjo

Menemukan Muhammadiyah “Yang Asing”

Oleh: Agung Suseno Seto*
Kehadiran awal Muhammadiyah dalam sejarahnya tampil dengan wajahnya “yang asing”. Ditengah keterpurukan berfikir dan deru bising mesin-mesin penjajahan kolonial yang berdampak pada langgengnya kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan sebagainya, Muhammadiyah dengan gigihnya menyerukan revolusi berfikir (ijtihad), kebangkitan nasionalisme, menggalakkan pendidikan, dan meramaikan gerakan amaliyah. Dimata penjajah kolonial, Muhammadiyah jelas menjadi gerakan “yang asing”. Bahkan, sementara warga pribumi pun memandang Muhammadiyah sebagai sesuatu “yang asing”.
Muhammadiyah berpegang pada prinsip keterbukaan, toleran, bersendikan semangat pluralisme. Disaat sebagian warga pribumi ramai-ramai meneriakkan anti kolonial berikut sistem atau model pendidikan kolonial Belanda yang sekuler, Muhammadiyah tampil dengan penuh keterbukaan. Tak hanya mengadopsi sistem pendidikan sekolah model Belanda yang sekuler, tapi juga terbuka terhadap siswa-siswa non-muslim (Kristen) maupun abangan. Tak lain, bangunanan ideologis Muhammadiyah berpijak pada prinsip gerak iman (tauhid), amal sahaleh, birr, amar ma’ruf nahi mungkar dan fastabiqul khoirot (berkarya dan ber-inovasi) (Ahmad Jainuri:2002).
Mencari dan menemukan Muhammadiyah “yang asing” tentu perlu terus-menerus diupayakan agar vitalitas Muhammadiyah tetap menemukan relevansinya. Apalagi, apa yang menjadi prinsip Muhammadiyah dulu seiring sebangun dengan realitas objektif bangsa, yakni keniscayaan pluralitas baik politik, agama, bahasa, budaya dan etnis. Pertanyaanya, adakah kini Muhammadiyah “yang asing” itu? Bagaimana menemukan wajah Muhammadiyah “yang asing” dalam konteks keniscayaan pluralitas sebagai warisan otentik bangsa?   
“Yang asing”
Muhammadiyah “yang asing” tentu bukan dalam arti eksklusif, terisolasi, dan teralienasi dari dinamika sosial masyarakat, tapi asing karena ide-ide cerdas, kreatif dan inovatif. Muhammadiyah “yang asing” adalah Muhammadiyah “yang lain” –meminjam istilah Abdul Mu’ti- agar terhindar dari kesan-kesan eksklusif. Beberapa literatur sejarah menyebutkan, bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah untuk membendung arus kristenisasi di Indonesia, Muhammadiyah dibentuk menjadi rival Kristen. Selain itu, Muhammadiyah juga kerap diidentikkan sebagai anti tradisi lokal, radikal dan tidak toleran sebagai konsekuensi puritanisme Muhammadiyah. Muhammadiyah “yang asing” adalah bertolak dari tesis Aboul Fadl (2005:95) yang melihat bahwa ideologi puritan cenderung eksklusif, tidak ramah keberbedaan dan anti dialog.                                 
Dalam tilikam banyak pengamat, kesan-kesan diatas dalam sejarahnya tidaklah selalu benar. Orientasi gerakan Muhammadiyah terbukti sangat menekankan pentingnya ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda. Akar-akar toleransi, pluralisme, ideologi sosial, dan relativisme (terbuka terhadap ide-ide baru dan prinsip ijtihad) ada dalam Muhammadiyah.            
Temuan Mitsou Nakamura (1976), James L Peacock (1980), Ahmad Jainuri (2002) dan Alwi Shihab (1998) misalnya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat dan pemeluk agama lain, kususnya Kristen/Katolik. Pun demikian dengan temuan Alfian (1989), MT Arifin (1987), dan Amir Hamzah Wirjosukarto (1962). Ketiganya menemukan bahwa Muhammadiyah, baik dalam politik maupun pendidikan cukup besar andilnya dalam memajukan bangsa, salah satunya adalah menentang sangat keras kebijakan pemerintah kolonial yang kontra produktif terhadap kebebasan beragama seperti Ordonansi Guru.
Melengkapi temuan-temuan Muhammadiyah “yang asing” itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, 2000) juga sempat mengelontorkan wacana terkait pandangan Muhammadiyah mengenai pluralisme. MTPPI menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme kususnya menyangkut pandangan terhadap Ahlul Kitab, kerja sama antarumat beragama, keadilan sosial dan pernikahan beda agama.
Muhammadiyah mutakhir           
Meneropong Muhammadiyah “yang asing” untuk konteks mutakhir juga telah dilakukan oleh aktivis Muhammadiyah Abdul Mu’ti bersama Fajar Riza ul-Haq (2009) Kristen Muhammadiyah, Kovergensi Muslim Kristen dalam Pendidikan. Arah kajian Muhammadiyah “yang asing” ini mengeksplorasi domain pluralisme agama dalam institusi pendidikan yang sebenarnya mampu menceritakan potret (lain) dari interaksi Muhammadiyah dengan umat beda agama.
Mu’ti dan Fajar menyerukan cara pandang baru dalam melihat Muhammadiyah “yang asing”, yakni selangkah lebih maju dengan sudi keluar dari dominasi pengidentifikasian ke-jawa-an sebagai pusat tafsir atas Muhammadiyah. Muhammmadiyah “yang asing” pun ditemukan dibelahan Timur Indonesia yakni seperti di Ende, Flores Nusa Tenggara Timur dan Serui, Yapen Warupen, Papua yang notabene mayoritas Kristen/Katolik. Terminologi Kristen-Muhammadiyah (Krismuha) tepat untuk disematkan sebagai konsekuensi logis perjumpaan sosiologis antara Muslim dan Kristen dilingkungan institusi pendidikan Muhammadiyah. Krismuha adalah arti lain dari orang-orang Kristen yang sangat memahami, menjiwai dan mendukung gerakan Muhammadiyah.
Dengan demikian, menemukan Muhammadiyah “yang asing” semisal lainnya menjadi penting ditengah tantangan kehidupan akan masa depan pluralisme di Indonesia. Tentu, prasarat tak terelakkan yang perlu dikedepankan agar menemukan Muhammadiyah “yang asing” lainnya adalah menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan akomodatif, tidak monolitik, toleran, inklusif, kemampuan melakukan objektivikasi dakwah Islam dan –meminjam bahasa James L Peacock (1980)- rasionalisasi kebudayaan.     
Akhirnya, apa yang terekam dalam studi  atau kajian ilmiah sebagai hasil potret kiprah dan kontribusi Muhammadiyah dalam pentas sejarah umat dan bangsa, tentu menjadi asing pada zamannya. Asing dalam arti sebuah temuan kebaruan, kreatifitas, dan inovasi, perlu terus digalakkan sesuai tuntutan zaman.       
*) Aktivis IMM Sukoharjo                       

Stop! Kaderisasi Teroris Kampus

Oleh: Agung Suseno Seto
 
    …menanggulangi kekerasan agama (terorisme) ternyata pada akhirnya terletak pada apresiasi terhadap pembaruan agama itu sendiri. (Mark Juergensmeyer, 2003:366).     
Tesis diatas diungkapkan seorang pakar terorisme kontemporer, Mark Juergensmeyer. Bagi Mark, kekerasan berbau agama merupakan fase transisi yang diyakini akan berakhir, tapi sebuah akhir bersarat. Sarat itu yakni perlu adanya apresiasi pembaruan terhadap pemahaman agama. Pembaruan disini adalah sudi melepas baju politis-ideologis absolut, skriptural, formal dan simbolis terhadap agama dari kehidupan publik yang kemudian diganti dengan pakaian bersih-murni dan substansial. Jalannya, yaitu dengan membaca agama secara kritis-konstruktif berbasis keadilan (justice), kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), dan berkemajuan (progress).
Lalu, apa hubungan tesis diatas dengan fenomena teroris mahasiswa yang belakangan ini kerap dibicarakan banyak kalangan? Sebagaimana banyak diberitakan media massa belakangan ini, Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan yang ketiganya masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Sahid) Jakarta, ditangkap polisi karena diduga terlibat jaringan teroris. Tak syak lagi, kampus yang notabene dihuni kaum mahasiswa terdidik, pintar, kritis, dan intelek adalah tulang punggung dan pengawal pembaruan pemahaman agama itu sendiri. 
Pertanyaanya, adakah yang salah dengan  cara pandang mereka terhadap agama? Siapa yang paling bertanggung jawab membendung kaderisasi teroris mahasiswa?     
Absolutisme politik
Tesis Mark diatas juga memberi pemahaman bahwa dalam pembaruan pemahaman agama perlu disesuaikan dengan perubahan zaman kini; laju modernisasi yang kian tak terbendung, desakan telak globalisasi, dan pelbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Jika perubahan zaman kini yang berakar pada cara pandang sekularistik itu tidak dijawab dengan pemahaman agama yang baru, agama berpotensi ditempatkan secara ideologis, absolut, skriptural, formal dan simbolis. Pada ranah inilah kekerasan berbasis agama hadir karena bertemali dengan realitas sosial-politik konkrit. Agama hendak direkomendasikan ketengah kehidupan publik sebagai jawaban solutif atas anomali-anomali kehidupan publik akibat dominasi perubahan zaman yang sekularistik.
Pada akhirnya, agama akan bergandengan dengan dinamika sosial-politik dan keniscayaan benturan-benturan dengan kekuasaan politik formal. Hal demikian berangkat dari cara pandang bahwa agama dan politik memiliki keterpaduan absolut. Modernisme,  globalisme, dan derivasinya yang sekularistik adalah produk generasi atau orang-orang yang tanpa iman, tidak bertuhan, miskin moralitas, kafir, musyrik, dan sebagainya. Sebuah cara pandang yang mampu menggerakkan otak pikiran, jiwa dan raga untuk melakukan tindakan bom bunuh diri. Sebuah tindakan yang memiliki justifikasi akan kekuatan-kekuatan absolut, transendental dan suci (qudus).
Maka, selama agama diterjunbebaskan dalam dinamika sosial-politik yang idiologis, skriptural, formalis, dan simbolis, potensi-potensi kekerasan akan tetap menyeruak. Perlu diperhatikan, menarik keluar agama dari pentas politik formal bukan berarti memarginalkan peran agama dari dinamika sosial-politik publik, namun menyelamatkan agama dari objek “kuda tunggangan” atau justifikasi semu untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertolak belakang dengan spirit agama itu sendiri.      
Basis wacana
Kemampuan mahasiswa sebagai kaum terdidik, kritis, pintar dan intelek adalah modal merambah jalan pembaruan pemahaman agama. Hal demikian sekaligus menjadi benteng paling efektif dan strategis membendung kederisasi teroris mahasiswa. Lingkungan mahasiswa harus diperkuat dengan basis wacana dan pemikiran keagamaan. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif-tekstual, tapi juga dilandasi basis metodologis komprehensif dan kritis-konstruktif. 
Dengan basis metodologis itulah, pengkajian wacana dan pemikiran keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan dimensi ideologis yang eksklusif. Pada konteks ini, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis Islam dituntut untuk menjadi garda depan mengawal pembaruan pemahaman Islam sebagai modalitas wacana dan pemikiran Islam dilingkungan mahasiswa.   
Akhirnya, mengurai problem gejala kaderisasi teroris mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sikap respon aktif banyak pihak mulai dari pimpinan kampus, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis Islam hingga pemerintah, dalam hal ini polisi. Hemat penulis, polisi tidak harus melihat teroris mahasiswa sebagai penjahat, penebar teror, dan penghancur tatanan sosial, bangsa dan negara, tapi sebagai korban. Yakni, korban ideologisasi doktrin terorisme akibat kealpaan mewacanakan pemahaman agama yang inklusif, toleran, dan pluralistik.      
Terlebih bagi organisasi mahasiswa Islam, pemahaman-pemahaman Islam berbasis keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian dengan perangkat analisis metodologis mendesak untuk digelontorkan, diwacanakan dan dihadirkan terus menerus dilingkungan mahasiswa sebagai benteng penghalang proses infiltrasi doktrin terorisme. Upaya demikian bisa dilakukan dengan jalan menggalakkan forum-forum kajian, seminar, diskusi publik,dan sebagainya.
Tumbuh satu muncul-lah seribu. Itu mungkin bahasa yang tepat jika saja ada satu mahasiswa yang berhasil disusupi doktrin terorisme. Wabahnya akan semakin menjalar. Dengan kemampuan terdidik, kecerdasan dan kepintaran satu mahasiswa, sel-sel terorisme akan kian melebarkan sayap-sayapnya ditengah masyarakat.
Adalah tugas dan tanggung jawab semua pihak untuk menegakkan kembali panji-panji kampus sebagai ladang penggodokan orang-orang pintar, mujtahid, cendikiawan, ilmuwan dan kaum professional. Bukan tempat munculnya jenderal, pasukan, mujahid, atau pahlawan berani mati yang siap melakukan bom bunuh diri dengan alas an-alsan perjuangan suci menegakkan panji-panji ilahi. Stop! kaderisasi teroris kampus!         
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Revitalisasi Wacana Keagamaan Mahasiswa

Oleh: Agung Suseno Seto*
Keterlibatan tiga sosok teroris (Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan) yang masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejatinyanya-lah menggugah kesadaran rasional-akademik banyak pihak, terutama lingkaran kampus. Fenomena itu merupakan sinyal bahwa ideologi terorisme perlahan menghampiri basis-basis kampus yang notabene dihuni oleh sosok-sosok yang selama ini identik dengan kerja-kerja pikir kritis dan rasional.
Tidak berlebihan jika bidikan kekawatiran dijatuhi pada lokus kampus-kampus Jawa Tengah, kususnya Cilacap, Temanggung, maupun Solo. Terlebih Solo, santer terdengar belakangan ini Solo bukan lagi dicitrakan sebagai Ikon Kota Budaya, tapi sarang teroris. Di Jateng, keberadaan kampus hampir menjangkau disetiap Kabupaten/Kota. UNDIP (Universitas Diponegoro) di semarang, Universitas Sebelas Maret di Solo, Universitas Soedirman di Purwokerto, dan lain-lain.      
Lingkaran kampus dengan tradisi kritikal-rasional mendesak untuk menyelaraskannya dengan pesona agama agar tercipta integritas-interkonektif. Tradisi agama perlu diteropong lewat kaca mata kritikal-rasional sebagai basis pemahaman keagamaan agar tidak terjebak pada parsialitas, dikotomi, dan simplistis. Pada konteks ini, elemen-elemen mahasiswa luar kampus berbasis keagamaan dan fokus pada gerakan pemikiran dan sosial-keagamaan menemukan momentum untuk menjadi tembok penghalau masuknya ideologi terorisme.
Basis wacana
Terjerembabnya mahasiswa dalam kubangan doktrin terorisme disebabkan oleh lemahnya wacana keagamaan dilingkungan mahasiswa. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif, tapi juga dilandasi basis ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Dengan kerangka basis diatas, pengkajian wacana keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan aspek formal, simbolis dan skriptural.
Agama sejatinya dilihat secara komprehensif, holistik, dan kontekstual. Yakni, pemahaman yang tidak memisahkan antara teks dan konteks. Dengan kontekstualisasi dan menurunkan makna teks dalam pergulatan realitas sejarah, maka dapat menjadi modalitas pencerah. Namun, jika sebaliknya, yaitu tanpa ada ijtihad ekstra dalam membongkar makna substansial dan universalitasnya, pembumian semangat agama hanya akan menampakkan wajah yang garang, bengis dan sarat kekerasan. Alasan historisnya, karena konteks diturunkannya pesan-pesan agama tidak ditransmisikan atau dikonfirmasi ulang dengan konteks kontemporer. Sebagai misal. Konteks Islam dulu dilingkupi suasana perang atau jihad fisik melawan bala tentara jahiliyah dengan semangat ekspansi politik. Sementara kini, lebih-lebih Indonesia, kedamaian, pluralitas, heterogenitas, multikulturalisme, nyaris tak terbantahkan. 
Pengkajian agama dengan basis analisis diatas dapat mengantarkan kepada pemahanan kritis dan mencerahkan. Seperti, apa itu agama (ontologi), apa tujuan agama (aksiologi), dan bagaimana menemukan pemahaman agama yang mendekati kesejatian kebenaran (epistemologi). Dengan kerangka basis itu pula, pesan-pesan sejati seputar nilai-nilai sosial, kedamaian (peace), keadilan (justice), kesamaan (equality), solidaritas, kebebasan (freedom), dan lain-lain dapat disibak, dihayati, dan diinternalisasi.
Basis epistemologi misalnya. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer dikenal tiga pendekatan yang seyogyanya ditempatkan secara sinergis, yakni bayani (tekstual), burhani (kontekstual), dan irfani (intuitif). Bayani mengedepankan pada normatif seperti al-Qur’an dan as-Hadits, burhani berpijak pada akal, logika, atau rasionalitas, sedangkan irfani berdasarkan pengalaman. Singkatnya, bayani bertolak dari landasan fundamental-tekstual, burhani memanfaatkan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu humaniora, sementara irfani bersandar pada dialog intuitif, emosionalitas, dan pengalaman batin yang memunculkan sikap dan perasaan unik seperti toleransi dan simpati.
Bisa jadi infiltrasi doktrin terorisme dilingkungan mahasiswa disebabkan karena kurangnya pemahaman agama berbasis ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Proses pemahaman yang luput dari sorotan pihak kampus maupun elemen-elemen mahasiswa luar kampus yang berideologi agama dan fokus pada gerakan pemikiran dan sosial-keagamaan. Jika sejak awal dan jauh-jauh hari semua pihak tidak alpa memberi perhatian akan pemahaman agama kepada anak bangsa, sulit kiranya doktrin terorisme merangsek masuk kelingkungan mahasiswa.
Revitalisasi pewacanaan
Organisasi-organsisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), -untuk menyebut beberapa saja- cukup bisa diandalkan menjadi garda depan dan candradimuka mencegah ideologi terorisme dilingkungan mahasiswa. Basis pemikiran, pendekatan dan aksi-aksi sosial yang dimiliki ketiga organisasi kemahasiswaan diatas merepresentasikan basis pemahaman keagamaan di Indonesia yang toleran, moderat, dan plural.     
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika pencegahan terhadap masuknya ideologi terorisme dilingkungan mahasiswa berharap banyak dari organisasi-organisasi mahasiswa baik HMI, IMM, PMII dan lainnya. Perlu revitalisasi pewacanaan keagamaan berbasis pemahaman keagamaan yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Revitalisasi tentu harus berbareng dengan re-orientasi perkaderan gerakan yang terbuka (inclusive) dan turut berdialog dengan pemahaman-pemahaman lainnya yang bercorak diluar maenstrem. Kajian-kajian lewat diskusi kelompok, seminar, dialog publik, dan pelatihan-pelatihan formal, merupakan tonggak awal serta ttitik awal memasarkan pemahaman-pemahaman keagamaan yang anti teroris, radikal, dan miskin pemaknaan nilai-nilai sosial kemanusiaan.  
*) Aktivis IMM Sukoharjo                

Kader Teroris Kampus (Mahasiswa) Sebagai Korban

Oleh: Agung Suseno Seto*
Sepak terjang polisi belakangan ini terkait perburuan teroris cukup membuat banyak kalangan bangga dan menaruh apresiasi positif. Sederet pelaku teroris, bahkan gembong paling dicari Noordin M.Top, berhasil bumihanguskan. Saat perburuan, tanpa ampun pelaku teroris dihujani tembakan. Seperti dikatakan salah satu pembesar Polri, ada komitmen untuk menangkap hidup-hidup pelaku teroris, namun karena ada perlawanan balik, polisi dipaksa sigap dengan terlebih dahulu melakukan aksi pelumpuhan.
Kedepan, tampaknya polisi perlu mencari jalan alternatif lain agar pelaku teroris dapat ditangkap hidup-hidup seperti menggunakan tembakan bius berdosis tinggi atau lainnya. Pelaku terorisme, apalagi yang notabene mahasiswa, sejatinya dilihat sebagai korban. Yaitu korban doktrinasi ideologi terorisme. Seperti dialami oleh Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan dimana ketiganya tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.          
Pola peruburuan seperti yang selama ini dijalankan tentu sulit dirubah jika tidak menggeser paradigma dalam melihat pelaku teroris. Artinya, sejak awal target perburuan terlanjur dijatuhi stereotip sebagai sosok-sosok penebar teror, penjahat, pembunuh, perusak, dan sebagainya, alih-alih sebagai korban. Padahal dilihat dari latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan keluarga, sama sekali tidak menunjukkan gelagat penjahat atau lainnya. Bahkan, salah satu diantara mahasiswa UIN Jakarta yang terlibat terorisme diatas dikenal cukup baik dalam bersosialisasi maupun akademiknya.      
Sayang, alam bawah sadar, hati, dan otak ketiga mahasiswa itu tersusupi doktrin jahat yang mampu menggerakkan jiwa dan raga agar suatu saat nanti mau melakukan tindakan terorisme yang sama sekali sulit dinalar dan dirasionalisasi. Kekuatan penggerak tersebut memang maha dahsyat. Berkelindan dengan sesuatu yang transendental, absolut, suci, dan mulia. Yaitu, janji-janji surga, kebahagiaan dan “kesejahteraan” diakhirat kelak, bukan didunia dengan jalan meluluskan kuliah, kemudian kerja dan berguna bagi banyak orang, layaknya seorang anak harapan orang tua dan keluarga, bangsa serta negara.
Akar persoalnya tentu tidaklah sedangkal itu. Yang lebih mendesak dipertanyakan lebih jauh adalah mengapa dan bagaimana doktrin ideologi teroris bisa terinternalisasi masif dalam otak dan jiwa mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual-kritis?  
Basis wacana keagamaan
Terjerembabnya mahasiswa dalam kubangan doktrin terorisme disebabkan oleh lemahya wacana keagamaan dilingkungan mahasiswa. Pada konteks ini, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis ideologi Islam serta concern terhadap pembaruan wacana sosial-keagamaan-islam turut bertanggung jawab. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif, tapi juga dilandasi basis filosofis baik ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Dengan kerangka basis filosofis diatas, pengkajian wacana keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan aspek formal, simbolis dan skriptural.
Agama sejatinya dilihat secara komprehensif, holistik, dan kontekstual. Yakni, pemahaman yang tidak memisahkan antara teks dan konteks. Dengan kontekstualisasi dan menurunkan makna teks dalam pergulatan realitas, maka dapat menjadi pencerah sejarah. Namun, jika sebaliknya, yaitu tanpa ada ijtihad ekstra dalam membongkar makna substansial dan universalitasnya, pembumian semangat agama hanya akan menampakkan wajah yang garang, bengis dan sarat kekerasan. Hal demikian disebabkan karena konteks diturunkannya pesan-pesan agama tidak ditransmisikan atau dikonfirmasi ulang dengan konteks kontemporer saat ini. Sederhananya, konteks Islam dulu dilingkupi suasana perang atau jihad fisik melawan bala tentara jahiliyah.
Pengkajian agama dengan basis analisis filosofis dapat mengantarkan kepada pemahanan kritis dan mencerahkan. Seperti, apa itu agama? (ontologi), apa tujuan agama? (aksiologi), dan bagaimana menemukan pemahaman agama yang mendekati keberanaran? (epistemologi). Dengan kerangka filosofis itu pula, pesan-pesan sejati seputar nilai-nilai sosial, kedamaian, keadilan, kesamaan, solidaritas, kebebasan, dan sebagainya yang menjadi intisari dari agama dapat disibak.
Analisis filosofi epistemologi misalnya. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer dikenal tiga pendekatan yang seyogyanya ditempatkan secara sinergis, yakni bayani (tekstual), burhani (kontekstual), dan irfani (intuitif). Bayani mengedepankan pada normatif seperti al-Qur’an dan as-Sunnah, burhani berpijak pada akal, logika, atau rasionalitas, sedangkan irfani berdasarkan pengalaman. Singkatnya, bayani bertolak dari landasan fundamental-tekstual, burhani memanfaatkan ilmu-ilmu humaniora, sementara irfani bersandar pada dialog intuitif, emosionalitas, dan pengalaman batin yang memunculkan sikap dan perasaan unik seperti toleransi dan simpati.
Stereotip keluarga korban
Sampai disini, bisa diasumsikan bahwa infiltrasi doktrin terorisme dilingkungan mahasiswa disebabkan karena kurangnya pemahaman agama berbasis filosofis. Proses pemahaman yang luput dari sorotan pihak kampus, organisasi kemahasiswaan berbasis sosial agama dan pemikiran Islam, dan pihak-pihak lain. Jika sejak awal dan jauh-jauh hari semua pihak tidak alpa memberi perhatian akan pemahaman agama kepada anak bangsa, sulit kiranya doktrin terorisme merangsek masuk kelingkungan mahasiswa.
Dengan demikian pelaku teroris yang notabene mahasiswa tidak lantas dijatuhi tuduhan penjahat, pembunuh, perusak dan penebar teror, tapi perlu dilihat sebagai korban. Maka, ada kesempatan dan masa depan cerah mengembalikan jati-diri pelaku teroris. Pihak keluarga pun turut diselamatkan nama baiknya dan tidak menjadi korban cercaan serta sinisme ditengah masyarakat.
Kenyataannya keluarga korban turut menanggung stereotip miring yang entah sampai kapan berakhirnya. Mereka, keluarga pelaku teroris, kerap dituding-tuding ikut bertanggung jawab atas perbuatan salah satu keluarganya yang terlibat aksi terorisme. Padahal, keluarga korban teroris bercita-cita agar kelak anaknya yang menjadi mahasiswa bisa menjadi orang yang sukses, berguna bagi diri sendiri, keluarga, bahkan bangsa dan negara. Wallahu a’lam      
*) Aktivis IMM Sukoharjo  

Reorientasi kepemimpinan Golkar

Oleh: Agung Suseno Seto*
Hajatan akbar Partai Golkar, Musyawarah Nasional (Munas) ke-VIII di Pekan Baru, Provinsi Riau, telah memantapkan Aburizal Bakrie atau Ical sebagai pemegang pucuk pimpinan untuk peride 2009-2014. Dulu, diera Orde Baru (Orba), kemenangan beruntun direngkuh Golkar. Sejak reformasi dukungan politik kian menyusut.
Golkar baru berkibar. Pada Pemilu 1999, pucuk teratas diduduki PDIP. Namun pada Pemilu 2004, kejayaan Partai Golkar terulang, peraup suara terbanyak legislatif. Jelang Pemilu 2009, jarum jam dukungan berubah arah. Partai Golkar tersalip Partai Demokrat. Nama Akbar Tanjung mengudara seiring kejayaan Golkar di Pemilu 2004. Sementara Jusuf Kalla (JK) mendapat kritik tajam karena diangap gagal menakhkodai Golkar setelah pendahulunya, Akbar Tanjung.
Kini, Golkar dipimpin Aburizal Bakrie, sosok pengusaha kaya. Terkait dengan politik uang (money politic), Aburizal Bakrie secara verbal menilainya sebagai suatu kewajaran. Akankah kedepan Partai Golkar kian tergelepar terlindas gerak laju mesin politik partai-partai lain? Cukupkah kebangkitan Partai Golkar mengandalkan kepemimpinan berbasis uang? Saya pikir, jawabannya terletak pada sejauhmana publik menginterpretasikan wacana seputar revitalisasi visi-misi dan reorientasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Golkar.    
Dilema posisi  
Belajar dari dua suksesi kepemimpinan Partai Golkar pasca Akbar Tanjung, yakni JK maupun Aburizal Bakrie tampaknya kecenderungan pragmatisme kian mengental. Latar belakang pengusaha dan bermodal uang kuat dijadikan ukuran layak atau tidaknya duduk dipucuk pimpinan. Sementara kader-kader yang minim modal uang, tapi kaya wawasan dan intelektualitas, kurang mendapat pertimbangan. Sehingga bukan tidak mungkin, kepemimpinan Partai Golkar kedepan akan bergeser ke arah sentralisasi kepemimpinan berbasis uang. Hiruk-pikuk Munas Partai Golkar lalu memperkuat tesis diatas.   
Selain itu, pragmatisme pun tidak cuma dalam konteks kepemimpinan berbasis saudagar, tapi juga hasrat dan obsesi untuk tetap merapat kebarisan partai pemerintah. Wacana pilihan sikap politik calon Ketua Umum menjelang Munas Partai Golkar yang jauh-jauh hari sudah menampakkan gelagatnya, apakah akan menjadi oposan atau partner pemerintah, berpengaruh besar terhadap pilihan suara peserta Munas. Pilihan terhadap Aburizal Bakrie adalah pilihan untuk tidak menjadi oposisi.
Masing-masing pilihan memang memiliki konsekuensi. Pilihan tidak oposisi dapat mengamankan jalan Susilo BambangYudhoyono (SBY). SBY tidak merasa kawatir karena setiap kebijakannya akan berjalan mulus. Hanya saja, seberapapun kiprah atau kontribusi Partai Golkar dalam menyokong pemerintahan SBY, tidak sepenuhnya mewakili peran Partai Golkar. Kebesaran Partai Golkar akan terus berada dibalik bayang-bayang kinerja koalisi besar yang dibidani Partai Demokrat.
Sementara, jika pilihannya diantara oposisi dan tidak oposisi yakni partner yang kritis, akan memunculkan kesan sikap politik yang oportunistik. Pilihan demikian pun dirasa dilematis. Syak dan prasangka partai-partai koalisi besar pendukung SBY sulit dihindari. Partai Golkar akan dipandang sebagai duri dalam daging yang tidak secara penuh mendukung pemerintah.  
Berbeda jika pilihannya adalah oposisi. Selain menjawab kekawatiran banyak pengamat akan ancaman ketidakseimbangan politik diparlemen, saatnyalah Partai Golkar mengasah mentalitas oposan kader-kadernya. Jika mentalitas oposan terinternalisasi, maka dengan sendirinya peran, fungsi, dan tanggung jawab partai Politik sebagai pilar demokrasi berjalan secara maksimal. Sebuah mentalitas politik oposan yang sejak kelahirannya belum pernah dilakoni Partai Golkar. 
Bisa jadi, kekalahan Partai Golkar pada Pemilu lalu disebabkan oleh kurangnya melakoni peran-peran ideal partai, terjebak pada tarikan-tarikan kepentingan politik pragmatis. Pascakepemimpinan Akbar Tanjung, sisa-sisa pengaruh atau karisma politik dimata birokrat, pegawai, atau militer, kalangan sipil muslim seperti Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah (NU), tidak mampu dipertahankan. Sebuah panorama pragmatisme politik bercampur dengan kesan eksklusifitas. Partai Golkar sebagai partai terbuka, egaliter dan akomodatif terhadap segala aspirasi lintas simbol, profesi dan golongan tergerus arus dominasi model kepemimpinan berbasis saudagar dengan segala kekuatan modal uangnya.
Dukungan beberapa tokoh organisasi masyarakat agama seperti NU dan Muhammadiyah merupakan bukti keterbukaan Golkar dimata masyarakat. Tingkat kepercayaan kalangan muslim lewat tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah yang identik dengan pemahaman Islam moderat dan toleran juga menunjukkan bahwa orientasi perjuangan Golkar yang berkaitan dengan kepentingan Islam tidak terjebak pada simbol-simbol skriptural dan formal.
Terbuka
Oleh karenanya, corak kepemimpinan Partai Golkar sedapat mungkin mampu membuka ruang-ruang bagi hadirnya elit-elit sipil muslim yang memiliki basis riil dimasyarakat, kususnya kalangan muslim. Program-program politik perlu diselaraskan dengan tujuan perjuangan ormas agama. Sebab, basis riil politik terletak dijantung-jantung ormas agama yang selama ini belum tergarap dan terberdayakan secara maksimal. Agenda-agenda keadilan, kebebasan, kesejahteraan, penegakan hukum, kemiskinan dan sebagainya harus dijadikan komitmen.
Jalan melepas baju eksklusifitas kepemimpinan Golkar adalah melakukan reorientasi kepemimpinan. Artinya, perlu reorientasi latar belakang kepemimpinan yang tidak melulu didominasi kepemimpinan berbasis saudagar. Yakni, kepemimpinan transformatif, intelektual, karismatik, visioner, wasanan teruji dan seagainya. Pragmatisme politik dan kepemilikan uang besar bukanlah segalanya dalam menentukan masa depan partai. Tapi pemimpin yang kaya akan gagasan brilian dan mampu mengkomunikasikan keberagaman diinternal Partai Golkar yang bisa dibilang “unik” dari lainnya. 
Wajah Golkar akan lekang dan kian melekat pada beberapa partai lain, seperti Partai Demokrat, yang sekilas tampak mengarah pada karakteristik yang dimiliki Golkar, jika tidak segera berbenah diri. Hanya saja, Golkar jauh lebih banyak mengenyam asam garam pengalaman politik. Partai Demokrat lahir diera reformasi. Sementara Golkar ada sejak era Orba. 
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Kesalehan nasional pascaramadan

Oleh: Agung Suseno Seto*
Gegap gempita spiritualitas dibulan ramadan mewarnai hari-hari terpilihnya anggota DPR/DPRD, DPD maupun Presiden periode 2009-2024. Dan dibulan suci ini pula, sharing power, manuver politik, dan lobi-lobi jabatan turut menyelimuti. Tidak jarang antarelit politik satu sama lain saling berbalas pantun sarat kecaman dan pendiskreditan.
Sebagai bangsa yang sedang dilanda krisis multidimensi termasuk moral dan etika politik, kehadiran bulan ramadan tentu menjadi penting. Paling tidak, elit-elit politik dan pejabat publik dituntut untuk meningkatkan kualitas kesalehan sosial-politik. Apalagi penduduk Indonesia mayoritas adalah muslim, sudah barang tentu para wakil rakyat yang terpilih sebagian besar juga muslim.
Selain itu, tuntutan kesalehan sosial juga dinantikan dari semua warga bangsa. Sebuah harapan kesalehan yang tidak hanya berdimensi individual, tapi juga transformatif. Berkah ramadan harus ditransformasikan dalam ranah praksis aplikatif untuk kepentingan sosial, umat, bangsa dan negara.   
Muslim simbolik
Secara kuantitas, Islam mayoritas memang identik dengan Indonesia. Namun diteropong sisi kualitas, sulit dikemukakan jawaban spontanitas. Jelang ramadan misalnya. Hampir-hampir suasana semarak religiusitas dan spiritualitas diwakili oleh layar kaca televisi. Setiap acara yang disodorkan pemirsa tampak apik dengan bungkusa dan racikan bernuansa Islam. Strategi agamis itu tentu untuk mengakomodasi keberadaan pemirsa di Tanah Air yang mayoritas Islam.
Mengapa dikatakan kuantitas tidak selalu segaris dengan kualitas? Lihat saja, gaya dan pola hidup kurang mencerminkan semangat Islam. Mulai dari persoalan sepele hingga yang urgen, kerap bertentangan dengan anjuran-anjuran idealnya. Ambil contoh masalah keberihan, budaya mengantri, tertib berlalu lintas, dan seterusnya.
Terlalu dini kiranya jika Indonesia dilabeli negara bersih dan ramah lingkungan. Tradisi membuang sampah pada tempatnya bak jauh panggang dari api. Tidaklah sulit menemukan sampah dijalan-jalan, pasar-pasar yang kumuh maupun sungai yang ditumbuhi dengan sampah. Akibatnya, polusi dimana-mana, berbagai penyakit mudah mewabah. Lebih dari itu, setiap kali datang musim penghujan, banjir siap menerjang.
Pun demikian halnya budaya antri. Kurang tertanamnya budaya antri kerap memunculkan gesekan-gesekan emosional, cek-cok, bahkan tragedi. Sebagai misal, tragedi maut yang merenggut nyawa manusia akibat antri menerima zakat dari salah seorang pengusaha di Jawa Timur. Jauh sebelum itu pun insiden serupa selalu dijumpai. Tak jauh beda dengan budaya bersih dan tertib lalu lintas. Minimnya kesadaran untuk mentaati aturan lalu lintas mengakibatkan angka kecelakaan melejit. Tidak sedikit pengguna jalan meregang nyawa akibat kecelakaan.                                       
Dalam konteks yang lebih luas lagi, kesenjangan antara Islam teori dan praktek juga menjadi tontonan miris. Secara lahiriah, formal, dan skriptural, simbol-simbol agama, spiritulitas dan religiusitas memang mewarnai denyut nadi kehidupan sosial-keagamaan. Kelompok-kelompok pengajian tumbuh bak jamur dimusim hujan baik ditengah masyarakat maupun lingkungan birokrasi. Instansi-instansi pemerintah dan swasta ditumbuhi masjid, seragam kebesaran elit politik dan pejabat publik dianggap tidak etis jika tidak menyertakan pernak-pernik atau asesoris bernuansa islami seperti kopiah atau peci.  
Lagi-lagi, simbol-simbol agamis yang ditampakkan bertentangan dengan gaya atau pola kehidupan sehari-hari, lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kususnya tindak-tanduk elit politik, pebegak hokum, dan birokrat. Korupsi mentradisi, jual-beli hukum menjadi tontonan, suap-menyuap meraja-lela, antar elit politik saling tikam dari belakang, ketimpangan antara si kaya dan kaum papa kian akut, yang kuat melindas yang lemah, kejahatan ilegal loging marak, tawuran menjadi menu sehari-hari, dan sebagainya. Hal demikian menandakan bahwa Islam secara kaffah (komprehensif) dan sempurna (kamil) belum benar-benar dijalankan.
Kesalehan sosial
Dari potret semua anomali dan kesenjangan keberislaman antara teori dan praktek diatas, layak diajukan semacam tesis bahwa Islam belum sepenuhnya terinternalisasi dalam denyut nadi kehidupan warga bangsa Indonesia. Islam masih cuma polesan kosmetik semata untuk mempercantik raut muka lahiriah, belum menyentuh aspek susbtansial. Parahnya lagi, Islam pun kerap dijadikan kedok, topeng dan artifisial oleh elit-elit politik tertentu untuk tujuan-tujuan politis temporer.
Menyambut momentum ramadan dan jelang 1 sawal sebagai Hari Besar muslim di seluruh dunia tak terkecuali muslim Indoesia, sedikit banyak tentu berharap lahirnya kualitas individu-individu yang konsisten membumikan Islam dalam keseharian. Dari berbagai strata dan profesi, terlebih elit-elit politik terpilih pada pemilu 2009 lalu, dinantikan kesuksesannya dalam melakukan proses-proses individuasi diri dibulan ramadan. Tak cuma kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial dan plitik.
Islam merupakan ajaran yang sempurna. Mulai dari bangun tidur hingga persoalan negara terangkum didalamnya. Kebersihan, anjuran hidup tertib dan disiplin intrinsik dalam Islam. Islam menuntut realisasi janji-janji (politik), melaknat perbuatan korupsi dan mencecar elit-elit politik yang mangkir dari amanah, tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Semoga!   
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Mencegah remaja jadi teroris

Oleh: Agung Suseno Seto*
Belakangan ini publik dikejutkan hujan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Diduga salah satu pelakunya adalah sosok remaja, Dani Dwi Permana, yang masih berusia 18 tahun. Sebagaimana santer diberitakan media massa, remaja menjadi ladang potensial menjadi pelaku terorisme. Analis para pakar pun seolah membenarkan. Itu artinya banyak alasan untuk mengatakan remaja kini dalam bayang-bayang terorisme.
Bagi para orang tua, suguhan berita dan analis pakar terkait remaja sedang diintai menjadi terorisme, tentu menjadi kekhawatiran tersendiri kalau-kalau anak remajanya menjadi bagian dari objek pengintaian terorisme. Pertanyaannya, apa yang mendesak dilakukan oleh kita semua, orang tua dan guru?
Pencarian identitas
Berbagai temuan banyak pakar menyebutkan bahwa usia remaja merupakan fase pencarian identitas. Pada fase ini jika mereka (para remaja) tepat menemukan wadah beraktualisasi dan berekspresi, maka potensi akal, jiwa dan kemampuan kreatifitas akan terasah.
Namun bila sebaliknya, yakni kecenderungan bersosialisasi kearah yang destruktif dan negatif, potensi layaknya remaja masa depan akan tenggelam dan hilang. Identitas yang didapatkan terwujud atau termanifestasikan dalam bentuk kebanggaan-kebanggaan semu  seperti memalak, tawuran, mabuk-mabukan, narkoba, pacaran, seks bebas, hingga bolos sekolah, dan bukan prestasi dikelas, mengikuti kegiatan organisasi sekolah, lomba menulis, membaca diperpustakaan, atau menajdi juru bicara kemnasusiaan dan keadilan.
Tak terkecuali dengan jalan menjadi terorisme. Didorong oleh motif-motif semu, iming-iming uang, dan lain sebagainya, ada suatu kebanggaan tersendiri atau pamrih yang didapat baik didunia maupun diakhirat sehingga mendorong remaja untuk menjadi teroris.    
Akibat kurangnya perhatian terhadap remaja, lingkungan sosial yang acuh tak acuh, minimnya sentuhan moral, spiritual, dan nalar kemanusiaan, hingga kesejahteraan materi, jalan yang salah itu terus dilakoni hingga kejurang kegagalan masa depan. Otak dan pikiran tumpul, hati dan jiwa gersang, diburu polisi, putus sekolah, dan akhirnya mendekam dibalik jeruji besi (penjara). Bahkan dalam kasus terorisme, sang pelaku yang notabene remaja rela meleburkan diri dalam puing-puing bom.       
Disetiap tempat dan waktu, wadah sosialisasi yang buruk selalu ada, entah itu dalam keluarga, lingkungan sosial tempat tinggal, maupun disekolah. Oleh karena itulah peran semua pihak dan elemen sangat dibutuhkan. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara orang tua, guru, dengan elemen-elemen sosial-masyarakat lainnya.
Guru misalnya. Selain orang tua dan lingkungan sosial-masyarakat, guru memiliki peran strategis dan menentukan bagi moralitas dan budi pekerti siswa (remaja). Guru adalah orang tua kedua remaja di sekolah setelah keluarga yang sejatinya tidak hanya fokus mengawal kualitas intelektual (kognitif) tapi juga afektif. Kedekatan secara emosional antara guru dan siswa selayaknya perlu dibangun terus-menerus tanpa kenal lelah. Laiknya payung intelektual dan moral, apa yang ada di kepala remaja (hafalan rumus-rumus) dan disekeliling siswa, secara jeli guru mendeteksi. Kejelian itu tidak cuma di ruang kelas, namun juga diluar kelas kususnya dilingungan dimana remaja tinggal.
Suasana hati, jiwa, emosi, kebutuhan afiliasi personal-individu remaja bahkan kondisi ekonomi, menampakkan wujud aslinya tidaklah dikelas, namun diluar kelas. Diluar kelas itulah guru mendapat tugas tambahan. Dengan memahami sistem, motif, dan konteks sosiologis remaja, guru akan mudah menyelipkan pesan-pesan moral, spiritual dan sentuhan emosional. Keyakinan dan kepercayaan yang sudah terpatri, sosok guru tidaklah mungkin mengajarkan hal-hal yang salah, apalagi mengajarkan anak didik untuk menjadi teroris.  
Tiga arah
Disinilah relevansi komunikasi antara guru, orang tua, dan remaja. Komunikasi ini diorientasikan untuk membidik pendidikan lingkungan remaja antara pendidikan sekolah dan keluarga.
Dengan semangat menghalau pengaruh-pengaruh negatif dilingkungan antara sekolah dan keluarga, secara bersama-sama guru dan orang tua sekaligus remaja saling melengkapi dengan membuat time schedule atau agenda harian anak didik sebagai bentuk kontrol (pengawasan), perhatian, dan kepedulian. Secara apik time schedule digagas dengan memuat unsur-unsur penguatan potensi kognitif intelektual, jiwa sosial, spiritual, dan moral, mulai dari jadwal belajar, ibadah, rekreasi, sosialisasi, hingga makan bersama.
Sejak dini remaja diajarkan hidup disiplin. Dengan demikian tidak ada tempat dan waktu bagi remaja lepas dari pengamatan dan perhatian. Sebagai catatan, disiplin disini bukanlah bentuk pengekangan, egosime, dan arogansi orang tua dan guru terhadap remaja, akan tetapi kedisiplinan yang berangkat dar semangat demokrasi, egaliter, dan humanis dalam mendidik remaja.                                
Akhirnya, dengan model pendidikan remaja demikianlah kekhawatiran orang tua terhadap anaknya dari objek intaian terorisme menemukan solusinya. Dalam setiap detiknya orang tua dapat memahami kemajuan atau perembangan remaja baik intelektualitas, moral, bahkan pemahaman-pemahaman agama yang selama ini kerap dituding sebagai alat justifikasi tindakan terorisme.        
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Terorisme, agama dan politik

Oleh: Agung Suseno Seto*
(Peneliti RESCI (Religion and Social Change Insitut), tinggal di Solo}

…menanggulangi kekerasan agama, ternyata pada akhirnya terletak pada apresiasi pembaruan agama itu sendiri. (Mark Juergensmeyer).

Ungkapan optimisme diatas diutarakan salah seorang pakar terorisme kontemporer. Kekerasan berbau agama (baca:terorisme) merupakan fase transisi yang diyakini akan berakhir, tapi sebuah akhir yang bersarat. Bahwa, diatas pentas sejarah terorisme agama terselip secercah desiran pesan suci yang dimanifestasikan dalam wujud perlawanan dan perjuangan untuk kebaikan-kebaikan publik sekaligus nyala lentera bagi tatanan moral. 
Terawang optimisme masa depan umat manusia dan agama yang meniscayakan pembaruan agama diatas memang patut diapresiasi dan dikonfirmasi ulang dengan konteks terorisme di Indonesia yang kerap berseliweran sejak hampir satu dasawarsa belakangan ini. Fenomena faktual adalah ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot Mega Kuningan Jakarta Jum’at (17/7). Akibatnya sembilan orang meregang nyawa dan puluhan lainnya luka-luka baik ringan maupun parah. Bagaimanapun kekerasan tetaplah kekerasan. Apapun bentuknya, nurani kemanusiaan, logika keadilan maupun agama pasti menolaknya.
Politisasi teror?  
Terorisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks dan situasi sosial dan politik hingga perubahan budaya (culture change). Sehingga tafsir terorisme menjadi luas. Berbagai rentetan ledakan bom sejak setengah dasawarsa meneguhkan asumsi awam publik bahwa apa yang terjadi tidaklah selalu terorisme agama. Artinya, bisa terorisme politik maupun kriminalitas murni. Dalam terorisme agama, ramai-ramai semua kalangan mengecam. Sementara, terorisme politik hanya menguntungkan segelintir elit dan kerusakannya sepenuhnya ditimpa diatas pundak masyarakat. Jika muncul kecaman tak lebih dari “maling teriak maling”.
Kehadiran teror bom Mega Kuningan Jakarta baru-baru ini yang bertepatan dengan penyelenggaraan hajatan pesta demokrasi menguatkan fleksibelitas makna terorisme dari agama (terorisme agama) ke politik (terorisme politik). Bahkan pernyataan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyon (SBY) pasca ledakan bom secara sederhana bisa dimaknai bahwa ada upaya-upaya politisasi teror untuk tujuan-tujuan politik tertentu dan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Begitupun dengan aksi-aksi teror sebelumnya, selalu beriringan dengan momen-momen politik.
Karakteristik terorisme Indonesia yang sulit diidentifikasi baik ideologi, tujuan, program atau apakah terorisme agama atau terorisme politik, tidaklah berbahaya bagi kekuasaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan malah menguntungkan kekuasaan itu sendiri. Sebab, aksi-aksi yang ada bukannya menarik simpati, tapi sebaliknya yakni penolakan dan kecaman.
Agama dan politik
Terlepas dari isu politisasi teror yang sempat menyeruak ditengah publik beberapa waktu lalu, membaca bahaya laten terorisme sejatinya diteropong dari banyak aspek. Agama adalah salah satunya.
Pada konteks ini, agama dan terorisme ibarat dua mata uang yang tak bisa dipisahkan biarpun secara substansi berlawanan. Bahkan, untuk beberapa kasus adanya hubungan agama dan terorisme merupakan tesis tak terbantahkan. Kendati demikian dalam konteks terorisme diIndonesia tidak lantas tesis itu mendapat mendapat tempat.
Seperti temuan Mark Juergensmeyer (2003:9), bahwa agama turut memberi motivasi, justifikasi [pembenaran], organisasi dan pandangan dunia. Kekerasan dilakukan karena sifat alami imajinasi agama, yang selalu memiliki kecenderungan mengabsolutkan dan memproyeksikan pandangan-pandangan perang kosmik.
Kekerasan juga banyak dilakukan bersamaan dengan ketegangan-ketegangan sosial didalam ruang sejarah masa kini, yang menuntut solusi-solusi absolut dan perasaan terhina dari orang-orang yang ingin memulihkan integritas, yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang hilang akibat perubahan-perubahan sosial dan politik global. Ide-ide agama hendak menyumbangkan kedalaman dan kejernihan atau kemurnian ideologi (ideology clarity) bagi berbagai kasus pengalaman nyata kemiskinan ekonomi (economic destitution), penindasan sosial (social apression), kecurangan politik (political corruption) dan keputusasaan karena harapan yang dimunculkan kehidupan modern.
Pada ranah inilah kekerasan berbasis agama hadir ketika bertemali dengan realitas sosial-politik konkrit. Agama hendak direkomendasikan ketengah kehidupan publik sebagai jawaban solutif atas anomali-anomali yang ada akibat dominasi sekularistik. Pada akhirnya, agama harus bergandengan dengan dinamika politik dan benturan-benturan kepentingan kekuasaan. Hal demikian berangkat dari pandangan bahwa agama dan politik memiliki keterpaduan absolut.
Adanya keterpaduan absolut antara agama dan politik-lah sejatinya akar kekerasan agama. Atas dasar pandangan demikian agama ditarik dalam pergumulan kekuasaan untuk tujuan-tujuan politik agar agama menjadi titik pijak dalam kehidupan publik baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, selama agama masih meneguhkan dirinya dalam konteks dinamika sosial politik skriptural dan formalis, potensi-potensi resistensi akan tetap menyeruak.
Dalam konteks politik dan relasinya dengan agama di Indonesia, sebenarnya hingga saat ini pun terus mengalami pergulatan dan pencarian bentuk. Sayangnya, relasi yang terbangun tidak menampakkan proporsionalitas dan keseimbangan utuh baik dalam wacana maupun praktek. Antara modernisasi (negara bangsa) dan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas (agama) masih timpang dan saling mensubordinasi.
Merupakan tugas bersama bagi semua elemen untuk menghadirkan agama tidak selalu berdimensi politik skrituralis dan formalis. Menarik keluar agama dari pentas politik bukan berarti memarginalkan peran agama dari dinamika urusan publik. Tapi menyelamatkan agama dari objek “kuda tunggangan” atau justifikasi semu untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertolak belakang dengan spirit agama itu sendiri.   
*) Aktivis IMM Sukoharjo