Mudik dan Benturan Nilai-Nilai Budaya

Haryanto*))
Di era globalisasi yang sering mengaburkan makna pertemuan fisik ternyata tidak mengecilkan minat para pemudik untuk kembali ke tanah kelahiran. Moda transportasi yang tak laik beroperasi pun tetap penuh sesak berisi manusia-manusia yang rindu dengan nilai-nilai budaya asal.
Dengan demikian, manusia sebenarnya tidak bisa melepaskan kodratnya sebagai makhluk sosial yang selalu haus akan pertemuan-pertemuan di dalam ruang dan waktu yang sama. Sehingga mudik merupakan sebuah kebutuhan sosial yang amat sulit ditinggalkan.
Tradisi mudik lebaran dapat diartikan sebagai aktifitas perpindahan penduduk secara besar-besaran dari tanah rantau ke kampung halaman. Para perantau seakan-akan memiliki kesadaran bersama bahwa lebaran bukanlah semata-mata kemenangan spiritual, tetapi juga momentum untuk meneguhkan kembali ikatan-ikatan primordial. (data)
Pada dasarnya tradisi mudik lebaran didahului oleh fenomena migrasi dari desa ke kota. Motif utamanya adalah untuk mempertahankan hidup dengan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga. Karena di wilayah tertentu pada masyarakat pedesaan mereka tidak mampu mengelola potensi lokal untuk dijadikan sumber pendapatan.
Namun ini tak berarti bahwa fenomena mudik maupun urbanisasi hanya menyangkut persoalan ekonomi dan perpindahan penduduk. Sebab, kedua tempat yang dirujuknya bukan suatu ruang hampa nilai, yang sama sekali tidak mempengaruhi nilai-nilai para penghuninya. Artinya, tradisi mudik lebaran adalah jembatan yang mempertemukan nilai-nilai budaya asal dengan budaya luar.
Clash of cultural values
Tradisi mudik biasanya dijadikan wahana klangenan atau “jembatan nostalgia” dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, diajak bercengkerama dengan romantisme alam pedesaan, yang di dalam konsep antropologi dikenal dengan sebutan close coorporate community. Pemudik merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang lagi mereka temui di kota, karena ketatnya persaingan memburu status dan harta. Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rejeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi.
Kondisi tersebut sebenarnya menandakan telah terjadinya benturan nilai-nilai budaya asal (pedesaan) dengan budaya luar (perkotaan) yang beriringan dengan datangnya tradisi mudik lebaran.
Benturan nilai-nilai budaya (clash of cultural values) asal dan budaya luar tersebut tentu memiliki konsekuensi terhadap perubahan paradigma dan tingkah laku masyarakat. Karena pada ruang-ruang pertemuan nilai budaya terjadi proses saling mencerap yang pada akhirnya mempengaruhi pola berpikir.
Biasanya, nilai budaya asal akan tergerus karena perantau yang datang selalu membawa simbol-simbol keberhasilannya selama bergelut di daerah perantauan. Efeknya yang paling konkret dapat dilihat ketika terjadi arus balik, jumlah perantau yang meninggalkan kampung halaman selalu lebih besar daripada yang datang.
Kejadian ini adalah akibat dari kekalahan budaya asal dalam melakukan negosiasi persimbolan. Karena dalam masyarakat kontemporer, kesadaran masyarakat memiliki parameter utama untuk menilai keberhasilan melalui simbol-simbol perekonomian, yang tentu saja mereka yang datang dari kota lebih kaya dengan simbol perekonomian.
Terapi Sosial
Namun benturan nilai-nilai budaya tidak melulu menyebabkan runtuhnya identitas masyarakat lokal-pedesaan. Efek positifnya adalah pemudik yang datang ke kampung halaman mendapatkan semacam terapi sosial. Terapi yang dapat membangkitkan semangat persaudaraan antar sesama.
Nuansa tanah kelahiran yang lekat dengan emosi kekerabatan dan ikatan primordial seakan menjadi obat mujarab untuk penyegaran jiwa yang tidak mungkin didapatkan pada kehidupan kota yang penuh dengan tekanan-tekanan secara sosial, ekonomi, dan politik.
Di tambah lagi suasana spiritualitas biasanya lebih kencang berada di kampung halaman daripada di tempat rantau. Sehingga dapat menumbuhkan kembali semangat untuk melakukan tingkah laku kebaikan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan budayanya.
Karena biar bagaimana pun, fenomena mudik tidak bisa dilepaskan dari momen idul fitri yang berarti kembalinya manusia kepada kesucian diri setelah melakukan berbagai ritual keagamaan.
Dan diharapkan sekembalinya ke kota dengan perasaan segar setelah mendapat terapi sosial di kampung halamannya. Sehingga kesetiakawanan sosial, maupun kesalehan sosial dapat terbangun dengan semangat saling memaafkan yang dibawa dari kampung halaman setelah mudik.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mudik dan Benturan Nilai-Nilai Budaya”:

Leave a comment