Mengabaikan Perilaku Politik Dagang Kursi

Haryanto*
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan tindak asusila yang menimpa anggota dewan perwakilan rakyat (DPR), nampaknya kian memperlihatkan mengenai lemahnya standar kelayakan yang ditetapkan oleh partai politik (Parpol) dalam melakukan perekrutan wakil rakyat. Karena anggota DPR yang "cacat" tak lain adalah hasil dari rekomendasi parpol yang mengacu kepada jumlah perolehan suara setelah berlangsungnya pemilihan umum (Pemilu).
Bahkan, sudah menjadi rahasia umum jika aktivis elite Parpol kerap melakukan politik dagang kursi dalam proses perekrutan calon wakil rakyat. Yaitu menciptakan beragam konspirasi, tawar-menawar, negosiasi, bahkan politik uang untuk menyelamatkan posisi politik masing-masing sambil mendekonstruksi segala ikrar, sumpah, janji, simbol, dan slogan partai yang telah ditawarkan kepada rakyat. Sehingga, semakin besar tawaran yang diberikan oleh calon wakil rakyat kepada parpol, maka semakin besar kemungkinan parpol untuk meloloskannya.
Lemahnya standar kelayakan wakil rakyat yang ditetapkan oleh parpol sebenarnya hanyalah satu persoalan di antara persoalan-persoalan lainnya yang menggenangi institusi parpol, seperti: proses kaderisasi yang anti kaum muda, ketidakmampuan dalam menyerap aspirasi mayoritas rakyat, dan tak adanya mekanisme kontrol yang kuat terhadap anggotanya yang duduk di DPR.
Maka dari itu, menjadi sesuatu yang wajar jika terjadi penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja parpol. Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI), dari 1.238 responden di 33 propinsi: sebanyak 65% responden menyatakan bahwa sikap dan perbuatan partai politik selama ini tidak mewakili kepentingan, aspirasi, dan keinginan mereka. Temuan lain sebanyak 53% responden menyatakan setuju bahwa partai politik hanya melayani kelompok-kelompok tertentu, serta 54% responden menyatakan setuju bahwa keputusan yang dibuat partai politik sering tidak memperhatikan keinginan rakyat.
Berharap Pada Kampanye
Namun, disini adalah negeri yang penuh dengan keirasionalitasan. Meski kepercayaan publik terhadap Parpol menurun, tetapi syahwat untuk mendirikan partai politik baru justru meningkat. Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah Parpol yang lolos verifikasi sebanyak tiga puluh empat parpol. Dan, terhitung mulai tanggal 12 Juli 2008, ketiga puluh empat parpol tersebut berhak mengadakan kampanye di seluruh Indonesia.
Panjangnya periode kampanye yang ditetapkan oleh KPU—sekitar sembilan bulan—seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Parpol untuk memaksimal-kan potensi dan sumber dayanya dalam merebut kembali kepercayaan rakyat. Maka dari itu, parpol jangan sampai hanya mementingkan tujuan mikronya yang berupa suksesi kepemimpinan nasional, tetapi lebih berorientasi kepada tujuan makro, yaitu memfasilitasi setiap aspirasi, keperluan, dan kepentingan rakyat.
Orientasi makro Parpol tersebut merupakan sesuatu yang amat urgen dalam proses peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Karena tak bisa dipungkiri, jika selama ini periode kampanye sering dimanfaatkan oleh Parpol hanya sebatas peningkatan citra dengan beragam bentuk “teatrikal politik” yang absurd. Sehingga program-program konkret yang menyentuh secara langsung jantung persoalan yang dirasakan oleh rakyat terabaikan sama sekali.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Paul Virilio di dalam War and Cinema: The Logistic of Perception (1992), dunia politik modern tidak bisa dilepaskan dari strategi citra dan tontonan—serta pemalsuan kebenaran di dalamnya—dengan menciptakan berbagai bentuk "tontonan teater" untuk publik dalam rangka menciptakan citra yang diinginkan oleh partai politik tertentu.
Namun, ketika Parpol berani keluar dari permainan politik pencitraan dan konsisten dengan orientasi makronya, maka salah satu konsekuensi logisnya adalah setiap wakil rakyat yang akan menjadi anggota dewan merupakan berasal dari mayoritas suara rakyat, bukan dari seberapa besar tawaran yang dipersembahkan calon wakil rakyat kepada Parpol.
Selain itu, Parpol juga akan menampilkan permainan politik yang lebih bersih, jujur, dan transparan ketika proses kampanye dan perekrutan calon anggota dewan berlangsung.
Kini, sudah saatnya parpol menetapkan dan menyosialisasikan standar kelayakan wakil rakyat. Standar kelayakan yang tidak hanya tertuju kepada tokoh politik dan golongan artis yang berekonomi mapan, melainkan kaum muda yang berjiwa progresif, jujur, visioner dan memiliki kecintaan yang tinggi terhadap kemajuan bangsa.
Lebih dari itu, bagi Parpol yang nantinya memiliki wakil di dewan, selayaknya tidak hanya meminta kompensasi berupa kinerja wakil rakyat yang disesuaikan dengan kebijakan internal Parpol. Tetapi, juga harus mengontrol setiap perilaku anggota dewan dengan meminta laporan tertulis secara berkala. Apa bila didapatkan cacat di dalamnya, maka parpol berhak untuk memberikan sanksi yang setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mengabaikan Perilaku Politik Dagang Kursi”:

Leave a comment