Meretas Jalan Kesempurnaan Manusia Beragama

Haryanto*))
Judul Buku : The Road to Allah: Tahap-tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Oktober, 2007
Tebal : 335 halaman.
Setiap manusia beragama pasti mendambakan perjumpaan dengan Penciptanya. Karena keberadaan manusia di muka bumi ini pada hakikatnya sedang menuju kepada satu titik temu yang sama, yaitu menuju Tuhan. Sebagaimana yang difirmankan dalam kitabNya “Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah engkau kerjakan (QS Luqman: 15).
Hanya saja, untuk menuju Tuhan, manusia beragama perlu mempersiapkan dirinya dengan matang. Agar kelak ketika terjadi perjumpaan dengan Tuhan, manusia beragama telah berada dalam kondisi yang bersih dan suci. Sebersih dan sesuci seperti masa awal ketika memasuki alam dunia yang fana.
Kesadaran untuk mempersiapkan diri dalam menuju Tuhan inilah yang sesungguhnya melatari Jalaluddin Rakhmat (Kang jalal) menuangkan gagasannya dalam buku: The Road To Allah: Tahap-tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan. Karena dampak dari kompleksitas kehidupan modern terhadap umat beragama telah mengaburkan fitrah spiritualitas manusia untuk mengasah ruhaninya.
Peta Perjalanan
Dengan bahasa lugas yang sarat makna, Kang Jalal mengurai peta perjalanan manusia beragama dalam menuju Tuhan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap setelah memulai perjalanan, dan tahap akhir.
Ibarat musafir yang berkelana, mereka pasti membekali dirinya untuk pemenuhan kebutuhan dalam perjalanan, baik bekal yang berbentuk fisik, mental, maupun spiritual. Begitu pula bagi manusia beragama yang mempersiapkan perjalanannya menuju Tuhan juga harus membawa bekal yang cukup agar sampai kepada tujuan yang diinginkan. Disinilah tahap pertama dimulai.
Menurut tokoh yang mengaku non sektarian ini, bekal perjalanan menuju Tuhan adalah cinta. Cinta dalam arti kebersihan dan ketulusan hati. Cinta bukan dengan harapan agar dapat dicintai oleh Tuhan tetapi berorientasi untuk mencintaiNya. Maka dari itu, manusia beragama harus meletakkan seluruh hasrat kasihnya untuk menjalin percintaan kepada Tuhan, RasulNya, Ahlul Bait, serta kaum fakir dan miskin (hal. 41).
Disinilah letak kearifan pemikiran Kang Jalal. Beliau tidak meninggalkan peran sentral manusia sebagai khalifah (pengganti Tuhan) di muka bumi. Bahwa manusia memiliki tanggungjawab untuk saling tolong-menolong antar sesama, khususnya membebaskan kaum tertindas yang fakir dan miskin dari belenggu perekonomian dan kegersangan spiritual.
Pada tahap kedua, manusia beragama akan dihadapkan kepada rintangan yang dapat menggagalkan perjalanan menuju Tuhan. Rintangan tersebut adalah apa yang terdapat dalam setiap pribadi manusia itu sendiri, seperti takabbur, riya, ujub, dan ghibah. Untuk mengantisipasi rintangan-rintangan tersebut maka dibutuhkan kendali diri, kendali nafsu, memperbanyak zikir, dan berkhidmat kepadaNya.
Pada tahap ini, manusia beragama sebenarnya sedang menjalani proses pembersihan diri (self purification). Melepaskan segala “kotoran” dan “debu-debu duniawi” yang menempel di dalam hati. Dengan kata lain, pembersihan diri merupakan langkah untuk menuju kepada kesucian, dan dengan kesucian ini manusia beragama akan menyerap keindahan Asma Allah yang universal, yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata, seperti pengasih, penyayang dan pemaaf.
Proses pembersihan diri, bentuk konkretnya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pertama, istighfar. Memohon ampun kepada Tuhan dari segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukan. Kedua, bertobat. menanggalkan pola kehidupan di masa lampau (yang penuh dengan “kotoran” dan “debu-debu duniawi”) untuk kembali kepada jalan ke-Tuhan-an. Ketiga, beramal saleh. Semakin banyak beramal saleh maka semakin banyak pula bagian diri yang tersucikan. Semisal bersedekah, dengan bersedekah manusia dibersihkan dari egoisme atau sifat keakuan (hal. 105).
Kesempurnaan
Sedangkan pada tahap akhir, manusia beragama harus mewaspadai tingkat keberhasilan penyempurnaan dirinya agar tidak mengakhiri hidup dengan kondisi yang su’ul khatimah (akhir yang buruk). Karena su’ul khatimah adalah seburuk-buruknya tempat kembali manusia. Mereka yang tergolong di dalamnya adalah yang mengalami kehinaan setelah mengalami kemuliaan; menjadi kafir setelah beriman dan bertaqwa kepadaNya; dan meninggalkan dunia ini tanpa membawa keimanan atau meninggalkan dunia dalam keadaan berbuat dosa (hal. 314).
Agar tidak terjebak pada akhir yang buruk tersebut, maka para pencari Tuhan dapat melakukan tiga langkah: Pertama, menghindari segala perasaan cukup akan kesucian diri. Kedua, memandang penyucian diri sebagai sebuah jalan tanpa ujung, proses tanpa batas. Ketiga, senantiasa merendah di hadapanNya dan memohon agar diberikan husnul khatimah, akhir yang baik (hal. 307).
Di balik pengungkapan gagasan yang lugas dan sederhana, buku ini juga menampilkan nuansa yang penuh kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan. Sehingga amat tepat jika dibaca oleh orang-orang yang sedang gelisah hatinya maupun yang tengah dilanda problematika hidup.
Lebih dari itu, sebagai buku yang bergenre ilmu agama (baca: tasawuf), Kang Jalal telah berhasil menampilkan sebuah konsep yang seimbang. Artinya, meskipun manusia beragama memiliki tujuan akhir kepada Tuhan, namun perilaku tolong-menolong antar sesama manusia, khususnya “mencintai” kaum fakir miskin, juga bagian dari prioritas terpenting agar manusia beragama dapat menggapai kesempurnaan.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Meretas Jalan Kesempurnaan Manusia Beragama”:

Leave a comment