Memapas Ruang-Ruang Yang Berpotensi Korupsi

Haryanto*))
Dibandingkan Soeharto, Nurdin Halid hanyalah serpihan kecil dari jaringan koruptor Indonesia yang bermarkas besar di terali besi politik dan kekuatan ekonomi. Persetubuhan ekonomi-politik tersebut juga digambarkan oleh Samuel P. Huntington (1968) yang menyebut fenomena itu sebagai top heavy corruption, dimana pemilik modal beralienasi dengan penguasa politik yang didukung beberapa akademisi membangun suatu hegemoni di setiap level kehidupan sehingga terciptalah kekuasaan yang sulit dikontrol.
Sebagaimana dikabarkan oleh PBB dan World Bank melalui proyek Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) yang menaruh Soeharto pada peringkat nomor satu koruptor dunia, dengan perkiraan pencurian dana rakyat sebesar 15 hingga 35 miliar dolar AS.
Pernyataan serupa juga pernah dilakukan oleh lembaga survei internasional Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) yang bermarkas di Hongkong juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup diantara negara-negara di Asia yang disurveinya.
Keterlibatan lembaga-lembaga internasional dalam melakukan pengklaiman terhadap kasus korupsi Indonesia kiranya menjadi penanda bahwa bangsa kita tidak berhasil dalam memerangi korupsi. Janji SBY yang diawal pemerintahannya ingin perang melawan korupsi ternyata hanya sebatas slogan yang tak pernah menemui pangkal permasalahan.
Meski tragedi KKN telah sedemikian parahnya, ternyata, lembaga peradilan di Indonesia yang telah melakukan reformasi struktural juga belum mampu menjaring koruptor-koruptor kelas kakap yang merugikan negara. Lembaga peradilan hanya bisa memvonis kroco-kroco semacam Nurdin Halid dan Rokhmin Dahuri. Padahal, hingga April 2006 saja, KPK telah menerima 12.300 pengaduan dari masyarakat mengenai dugaan kasus korupsi dari tingkat daerah hingga pusat. Lantas, dimanakah letak kelemahannya?
Kisah pencurian uang rakyat yang menggema pasca reformasi sebenarnya masih teramat mandul secara konseptual dan praktik. Karena pemerintahan kita hanya berfokus untuk melakukan penjaringan para koruptor yang telah melakukan, sedangkan bagi mereka yang belum dan berpotensi menjadi koruptor hampir-hampir tidak pernah diperbincangkan.
Dengan demikian, tragedi korupsi di negeri ini akan terus berputar dalam sebuah lingkaran setan yang tak akan terputus. Karena sederet orang yang memiliki potensi menjadi koruptor masih bercokol dalam jubah politik dan kekuatan uang.

Meminjam Konsep Internasional
The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dalam rangka upaya memberantas KKN, terutama korupsi, telah memperkenalkan konsep yang disebut "pillars of integrity". Konsep mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga yang disebut "pillars of integrity", yaitu: lembaga eksekutif, lembaga parlemen, lembaga kehakiman, lembaga-lembaga pengawas ("watchdog" agencies), media, sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga penegakkan hukum.
Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain kantor-kantor auditor, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri dan asosiasi profesional. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan LSM termasuk ke dalam pilar masyarakat sipil.
Pilar tersebut tentunya bisa diperluas menurut kondisi masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, mahasiswa tentu dapat dimasukkan sebagai salah satu unsur pilar integritas karena mereka telah memelopori reformasi atau perubahan. Bahkan mereka sekaligus juga dapat menjadi bagian dari "watchdog" yang lebih galak.
Konsep di atas merupakan universalisme peran elemen-elemen pemerintah dan rakyat yang saling bekerjasama untuk melawan satu musuh, yaitu, korupsi. Paling tidak, kerja-kerja konkret yang dapat dilakukan adalah memantau dan menstabilkan sirkulasi anggaran yang masuk dan keluar dari kas negara.
Memantau anggaran adalah strategis paling tidak untuk dua hal, pertama, memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih oleh pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran. Namun sebelum melakukan pemantauan, penting bagi kita untuk mengetahui struktur APBD/APBN.
Dengan adanya universalisme peran tersebut seharusnya dapat memapas ruang-ruang yang berpotensi terjadi korupsi, dan bagi penjahat-penjahat elite pencuri uang rakyat juga dapat diadili dengan seadil-adilnya.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Memapas Ruang-Ruang Yang Berpotensi Korupsi”:

Leave a comment