Biaya Pendidikan Adalah Tanggung jawab Bersama

Haryanto*))
Makna implisit dari pengadan pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari penjara kemiskinan, kebodohan, dan penindasan. Sehingga mendapatkan pendidikan adalah hak setiap manusia tanpa terkecuali. Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa salah satu cita-cita pembentukan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ironisnya, realitas pendidikan bertolak belakang dengan cita-cita di atas. Tidak semua masyarakat berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan karena biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat masih tergolong mahal. Menurut laporan Divisi Pendidikan Indonesia Corruption Watch (ICW), biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua siswa bekisar Rp 250.000 sampai Rp 7,5 juta.
Kondisi tersebut mengindikasikan tidak konsistennya pemerintah dalam menjalankan amanah UUD 1945. Kesepakatan konstitusi untuk menganggarkan biaya pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD masih sebatas di atas kertas.
Dampak dari ketidak konsistenan pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan adalah munculnya pungutan-pungutan pendidikan yang dilakukan sekolah kepada masyarakat (baca: peserta didik). Pungutan-pungutan pendidikan merupakan hasil dari ijtihad (langkah alternatif) sekolah-sekolah untuk menutupi kekurangan biaya operasional dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Sayangnya, banyak orang yang tidak memahami relasi antara pendidikan dan Negara, sehingga menjustifikasi sekolah-sekolah telah melakukan pemerasan terhadap masyarakat. Padahal sekolah-sekolah berada pada posisi yang dilematis. Disatu sisi dituntut untuk terus meningkatkan kualitas, dan sisi lain, mengupayakan biaya pendidikan agar dapat dijangkau oleh masyarakat.

Kearifan Bersama
Jika banyak orang menuding bahwa sekolah-sekolah telah melakukan pemerasan terhadap masyarakat adalah tidak sepenuhnya benar. Karena ongkos pendidikan memang mahal, dan harus mahal.
Mari kita cermati, bagaimana mungkin pendidikan menjadi berkualitas jika fasilitas serba terbatas, dan kesejahteraan guru tidak stabil? Padahal untuk mengadakan kedua elemen pendidikan tersebut (fasilitas dan kesejahteraan guru) membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Persoalannya sekarang siapa yang harus bertanggungjawab atas anggaran pendidikan? Adalah pemerintah yang memiliki tanggungjawab paling besar dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Karena biar bagaimana pun, bicara tentang pendidikan adalah bicara tentang kekuasaan negara.
Dalam hal ini, Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy Of The Oppressed dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah tindakan dan proses politik. Karena dalam penyampaian materi kegiatan belajar mengajar tidak mungkin berseberangan dengan keyakinan (ideologi) yang dibawa oleh negara.
Sehingga dalam konteks bangsa kita, pemerintah seharusnya berani memangkas anggaran-anggaran pada sektor-sektor non pendidikan, seperti anggaran politik. Atau jika ingin lebih radikal, insentif-insentif (gaji sampingan) bagi pejabat negara selayaknya ditiadakan.. Bukan untuk menzalimi, tetapi untuk merealisasikan tujuan kita bersama, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah lembaga-lembaga pendidikan seharusnya bertindak lebih arif. Kebijakan-kebijakan mengenai pembiayaan sekolah seharusnya disesuaikan dengan realitas masyarakat di sekitarnya, atau realitas peserta didik. Bukan memaksakan ego untuk terus meningkatkan kualitas sekolah.
Dalam hal ini patut kita cermati gagasan yang dilontarkan oleh Siti Muflikhatul Hidayah mengenai komunikasi pendidikan (Solopos, 3/8/2007). Maksudnya, persoalan biaya pendidikan selayaknya diputuskan dalam ruang-ruang dialog. Sehingga kebijakannya berjalan atas dasar kebutuhan bersama tanpa harus merugikan salah satu pihak.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Peran Bahasa Dalam Media

Haryanto*))
Banyak orang beranggapan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap tidak penting. Bahasa hanyalah perangkat yang dipakai untuk melakukan interaksi sosial agar apa yang dikehendaki dapat ditangkap oleh orang lain; bahasa adalah untuk menandakan sesuatu; atau bahasa merupakan manifestasi dari dalam jiwa; Bahkan, dalam konteks ilmu pengetahuan, bahasa hanya diberi pengertian sebagai alat transfer dari dunia ide (gagasan) menuju dunia real.
Ooh, sesederhana itukah makna bahasa? Apakah kita pernah berpikir bagaimana suatu bahasa diproduksi? Bagaimana bahasa dijadikan kendaraan politik kepentingan? Atau pernahkah kita berpikir bahwa bahasa dapat menjadi alat hegemoni, penindasan, atau bahkan pembebasan? Dan yang terpenting, bagaimana media memahami bahasa?
Pada awalnya bahasa terbentuk karena kebutuhan manusia untuk memudahkan dalam berinteraksi, yang pada masa pra sejarah masih didasarkan pada simbol-simbol dan pelambang. Kemudian seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia yang serba menginginkan kepraktisan dan kecepatan, maka simbol-simbol dan pelambang pun berubah bentuk menjadi huruf-huruf yang kita kenal seperti sekarang ini. Namun, ternyata bukan sekadar bentuk yang berubah, fungsi dari bahasa pun mengalami reorientasi. Yang semula sebagai alat Bantu berkomunikasi kemudian menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Lho, kok bisa???

Bahasa Media
Media merupakan produsen bahasa yang paling produktif. Melalui tampilan-tampilan yang dibuat dengan begitu mengesankan, media telah berhasil mempengaruhi opini-opini yang beredar dalam masyarakat. Media bebas memilih kosakata apapun agar dapat diterima oleh publik, menceritakan segala realitas yang terjadi, bahkan bahasa yang ditampilkan melalui media seakan-akan menjadi realitas yang sebenarnya (realitas kedua/ realitas semu). Atau dengan kata lain, bahasa pers merupakan cerminan atau rekonstruksi atas realitas.
Wow begitu memikatnya sebuah media! T’rus…Bagaimana hubungan bahasa media dengan kekuasaan?
Karena bahasa media merupakan rekonstruksi atas realitas, maka bentuk sintaksis yang dipakai media cenderung berkaitan dengan kondisi sosial politik—tentunya yang paling dominan. Sebagai contoh kita dapat memperhatikan bagaimana melekatnya bahasa ala revolusioner di masa Soekarno, bahasa pembangunan di masa Soeharto, dan bahasa keagamaan di masa Gus Dur. Dari sinilah kita bisa memahami keterkaitan antara bahasa media dengan politik kepentingan, atau dalam bahasa Foucault power relation. Walhasil, bahasa bukanlah sesuatu yang bersifat netral.

Bahasa Persma
Kita memang patut prihatin, karena “paradigma persma masih sebatas bagaimana menampilkan sebuah berita yang baik”, berbeda dengan media umum yang sudah berpikir apa yang akan terjadi setelah berita sampai ke publik. Selain itu, gaya bahasa kritis yang biasa ditampilkan oleh persma terdahulu—khususnya di masa Orba—tidak lagi efektif untuk diterapkan, karena sebagian besar media umum saat ini telah berani menghantam pemerintahan secara kritis.
Hemat saya, bahasa Persma adalah bahasa mahasiswa. Jadi, bahasa Persma adalah bahasa berbasis keiilmuan, bahasa yang diorientasikan penuh untuk mendukung permasalahan-permasalahan keilmuan yang melingkupi mahasiswa. Selain itu, bahasa Persma juga harus dipersembahkan untuk membangun realitas dunia mahasiswa.
Dalam praksisnya, kekritisan yang konstruktif mesti diberdayakan. Karena sebuah ilmu tidak akan terbangun tanpa adanya kekritisan. Selain itu, fenomena kemunduran mahasiswa tidak akan berubah jika tidak dihantam dengan keras.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Mengubah Kesesatan Paradigma Manusia

Haryanto*))
Selama ini, manusia dalam menjalani kehidupannya selalu mencari yang terbaik bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan orang lain adalah prioritas kedua setelah keinginan-keinginan pribadinya telah tercapai. Itu pun ketika seseorang memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi, padahal dalam realitasnya banyak orang tidak peduli dengan nasib orang lain yang menyedihkan.
Kerangka berpikir individualistik tersebut sebenarnya telah mengakar kuat dalam sejarah kebudayaan manusia hingga saat ini. Paling tidak dapat ditandai dengan beberapa peristiwa, semisal tragedi peperangan, fenomena kaya dan miskin, pengeksploitasian sumber daya alam, hingga proses industrialisasi di negara-negara berkembang.
Kerangka berpikir individualistik dalam perilaku sosial dinyatakan dengan model persaingan bebas dimana yang lebih kuat dan memiliki kekuasaan akan mendominasi mereka yang lemah. Maka dari itu, setting sosial yang menciptakan oposisi biner tersebut menghasilkan fakta yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Apakah manusia tersadar dengan persoalan ini? Dapatkah kita keluar dari kungkungan paradigma individualistik yang menyesatkan? Atau manusia akan takluk dan terus menjalani rutinitasnya yang dapat menghancurkan peradaban lebih cepat dari seharusnya?
Manusia Makhluk Sosial
Paradigma yang harus dipahami pertama kali adalah bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya aktifitas manusia-manusia lainnya dalam sebuah sistem sosial yang sedang berjalan dan membentuknya.
Berangkat dari pijakan asasi tersebut maka akan mewujudkan konsekuensi pada tahap perilaku masyarakat yang saling menghargai, memberi kesempatan, saling berderma, dan tidak saling menjatuhkan. Sehingga akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam kedamaian.
Sayangnya, meskipun manusia memiliki fitrah sebagai makhluk sosial tetapi belum dapat tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Karena manusia sebagai makhluk sosial baru sampai pada tataran pemahaman yang dalam implementasinya selalu berbenturan dengan sifat egoisme individual.
Maka dari itulah, untuk menghidupkan kesadaran sosial sampai ke tingkat implementasi konkret (aksi nyata) maka diperlukan sebuah sandaran dari sekadar pemenuhan kebutuhan material manusia. Sandaran ini dalam bahasa Kuntowijoyo dikenal dengan etika profetik.
Etika profetik dalam konteks kesadaran sosial merupakan sebuah kesadaran berpikir atau kesadaran mental bahwa tujuan keberadaan manusia bukanlah untuk melakukan persaingan antar sesama dan bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling berbagi, melindungi, dan menghargai.
Terbentuknya etika profetik yang termanifestasikan dalam kesadaran manusia merupakan pengejawantahan atas nilai-nilai transendental yang dianut oleh setiap orang yang memiliki keyakinan kepadaNya. Karena kita sebagai bangsa timur tidak mungkin berpaling dari sejarah yang telah mengawali peradabannya dari kearifan lokal (local wisdom) yang bermakna sakral.
Karena bermula dari pemahaman tentang kesakralan tersebut, maka manusia akan melampaui paradigma materialisme individual yang telah menghancurkan tatanan peradaban manusia. Berganti dengan paradigma kearifan sosial yang bersandarkan etika profetik.
Antisipasi Bukan Solusi
Salah satu basis etika profetik yang dikonsepsikan oleh Islam adalah ibadah zakat. Ibadah zakat pada prinsipnya merupakan langkah antisipasi agar manusia yang telah mencapai derajat kekayaan tertentu dapat memberikan secuil kekayaannya kepada yang lebih berhak. Karena rasulullah memahami benar bahwa hasil pengumpulan kekayaan adalah berasal dari pengambilan hak-hak dari orang lain.
Dengan demikian zakat bukanlah esensi dari penanggulangan persoalan ekonomi rakyat, tetapi paradigma manusia lah yang sebenarnya ingin dibangun oleh Islam. Karena makna di balik ibadah zakat adalah manusia tersadarkan bahwa pemilik sejati dari kepemilikan materi hanya Tuhan semata.
Dengan kata lain, paradigma yang menaungi perilaku manusia, khususnya zakat memiliki rujukan kepada Tuhan. Maka dari itu, pemungsian zakat memiliki ruang lingkup yang tak terbatas, termasuk untuk pengadaan pendidikan bagi masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. Karena pendidikan sebagai bentuk pencerdasan bagi masyarakat tentunya lebih efektif jika dibandingkan dengan pemberian uang yang hilang dalam sekejab.
Disinilah letak universalitas peran zakat sebagai manifestasi dari etika profetik yang dapat memunculkan kesalehan sosial (social piety) bagi mereka yang konsisten menunaikannya. Sebuah paradigma yang dapat menjadi solusi atas kekacauan tatanan masyarakat yang berwatak individualistik.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Selektif Dalam Menganut Keyakinan


Haryanto*)
Di alam penuh kebebasan berekspresi seperti sekarang ini merupakan momentum yang paling rawan terhadap kemunculan aliran-aliran kepercayaan baru (agama sempalan). Karena setiap warga negara memiliki hak untuk menganut, menjalankan dan menyebarkan keyakinan yang dianggapnya benar.
Munculnya agama sempalan pada hakikatnya merupakan penerjemahan atau pemaknaan ulang terhadap kepercayaan dan tradisi lama sehingga menimbulkan kebingungan masyarakat karena mendapatkan sesuatu yang baru. Sebagaimana yang belakangan ini menjadi wacana publik adalah beredarnya ajaran al Qiyadah al Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq pada Juli 2006.
Al Qiyadah al Islamiyah telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana yang juga pernah diberlakukan oleh LDII, Ahmadiyah dan Komunitas Kerajaan Eden. Namun, keunikan yang melekat kepada aliran yang tidak mempercayai al-Hadist ini adalah pengikutnya yang banyak dari kalangan muda terdidik yang berada pada strata ekonomi menengah ke atas.
Dengan demikian, statemen yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa faktor kemunculan agama sempalan (termasuk al Qiyadah al Islamiyah) berawal dari permasalahan sosial, seperti daerah konflik dan kemiskinan tidak menemui relevansinya, paling tidak dalam kasus al Qiyadah al Islamiyah.
Oleh karena itu, kita membutuhkan kerangka analisis baru yang dapat menerangkan kenapa kaum muda terdidik dapat dengan mudah terjerat oleh ajaran-ajaran keagamaan baru. Karena, ketika persoalan ini tidak bisa kita kupas, maka di masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan terjadi tragedi yang serupa.
Menurut pandangan penulis terdapat empat faktor utama yang melatarbelakangi peristiwa di atas. Pertama, agama mapan yang selama ini menjadi tolak ukur kebenaran sama sekali tidak memberikan kepuasan terhadap daya kritis kaum muda. Sehingga kegelisahan yang tak kunjung menemui jawaban memaksa kaum muda untuk memilih ajaran baru yang dianggap dapat memenuhi hasrat rasional-kritisnya.
Kedua, Minimnya komunitas pemuda yang mengkaji persoalan-persoalan agama kontemporer. Keterjebakan para pengkaji agama dengan kembali jauh ke masa lampau sebenarnya telah menghilangkan makna universalitas ajaran agama untuk menjawab persoalan kemanusiaan yang semakin kompleks, seperti keadilan, kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, agama tak lebih hanya sebagai tumpukan teks suci dan sejarah masa lampau yang ajarannya tidak dapat diimplementasikan dalam konteks kekinian.
Ketiga, Pengajaran dan pengamalan ajaran agama di lembaga pendidikan tidak memenuhi standar kualitas pemahaman dan perilaku keagamaan yang baik. Hal ini dapat dibuktikan melalui alokasi waktu yang disediakan oleh sekolah dan perguruan tinggi yang tidak lebih dari empat jam seminggu, atau bahkan hanya dua jam saja.
Keempat, Pemerintah tidak memiliki standar baku yang dapat mengklasifikasikan agama sempalan yang berkategori sesat dengan agama yang dilegalkan oleh negara. Sebab, di dalam tubuh setiap agama dapat dipastikan memiliki kecenderungan untuk memiliki pemahaman yang berbeda meskipun berangkat dari teks keagamaan yang sama.
Selektif
Dari keempat faktor di atas maka menjadi sesuatu yang wajar jika pemahaman keagamaan para kaum muda terdidik amat rendah. Sehingga terlalu mudah disusupi oleh paham baru yang sebarkan oleh tokoh-tokoh agama sempalan.
Oleh karena itu, memperbaiki kekurangan yang tercakup dalam keempat faktor di atas adalah mutlak dilakukan. Fungsinya adalah agar masyarakat, khususnya kaum muda terdidik dapat lebih selektif dalam menganut dan mengimplementasikan ajaran keagamaan yang diyakininya.
Kemudian, terungkapnya aliran-aliran sempalan belakangan ini semoga membuat kita hidup dalam masyarakat dengan bersikap lebih dewasa. Selain itu, dapat dijadikan bahan introspeksi kita bersama. Paling tidak untuk mengukur, sampai sejauh mana nilai-nilai serta ajaran agama sudah dilaksanakan secara benar. Meskipun ukuran kebenarannya bisa saja hampir nisbi, agama itu sendiri sudah memberikan patokan. Dalam Islam, misalnya, salah satu patokannya yang terukur adalah akhlak. Tercapainya tingkatan akhlak (manusia) yang mulia telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sendiri.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Mentransformasikan Semangat Patriotisme Para Kepahlawanan

Haryanto*)
Memperingati hari pahlawan pada 10 November mendatang tentunya tidak cukup hanya dengan melakukan agenda formal, seperti, upacara bendera dan berpidato tentang romantisme patriotik. Karena memberikan penghargaan kepada para pahlawan melalui cara demikian sangat lah tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka berikan untuk negeri ini.
Keterjebakan masyarakat kita dalam bingkai formalitas yang ritualistik, tentunya membawa dampak terhadap nilai-nilai yang terkandung pada momentum bersejarah tersebut tidak terinternalisasi dan teraktualisasikan dalam kehidupan yang nyata. Konklusi ini, menemui relevansinya dalam realitas politik yang korup, budaya instan yang merenggut kaum muda, konflik antar etnik dan agama, hingga separatisme yang melanda di berbagai daerah.
Semangat kepahlawanan semestinya terjawantahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena kita yang hidup pada saat ini sejatinya adalah penerus perjuangan para pahlawan untuk membawa bangsa Indonesia ke dalam bingkai persatuan.
Bangsa Indonesia memang telah terlepas dari penjajahan imperialisme kolonial yang militeristik, tetapi amanah besar para pahlawan sebagaimana yang terlukiskan dalam preambule UUD 1945 sama sekali belum menemui relevansinya dalam kehidupan yang nyata.
Dengan demikian, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan adalah agenda besar yang tidak bisa ditawar lagi. Sehingga mengadakan pendidikan, distribusi perekonomian secara merata, dan penegakan hukum dengan konsisten adalah bentuk yang paling konkret dalam mentransformasikan semangat kepahlawanan pada masa kini.
Menurut laporan Depdiknas, penduduk Indonesia yang buta aksara sebesar 14,6 juta jiwa, dan jumlah anak usia dini yang belum terlayani sebesar 1,4 juta anak atau 12,5 juta anak dari 11,9 juta anak. Sedangkan yang putus sekolah dasar pada tiap tahunnya mencapai 200-300 ribu pertahun. Kemudian masyarakat yang berada di bawah garis kelayakan hidup menurut laporan BPS pada 2 Juli 2007, mencapai 16,58 persen atau sekitar 37,17 Juta orang.
Hambatan dan Pemecahannya
Persoalan yang kemudian muncul ketika merealisasikan amanah UUD 1945 adalah ancaman dari luar yang berbentuk tekanan-tekanan politik, ekonomi dan penyatuan budaya, dengan kendaraannya yang sering kita sebut dengan globalisasi. Kemudian juga ancaman dari dalam yang dilakukan oleh manusia-manusia tak berhati nurani dengan perilaku korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai perilaku penyelewengan amanah rakyat.
Kedua persoalan tersebut telah membayang-bayangi Indonesia selama ini. Globalisasi yang dalam wujud konkretnya termanifestasikan dalam bentuk lembaga perekonomian global (WTO, World bank dan IMF) dan merambahnya teknologi informatika telah membawa dampak terhadap semakin kaburnya identitas nasional dan privatisasi atau liberalisasi asset-aset negara.
Sedangkan persoalan KKN sejatinya tidak hanya merambah pejabat publik dan elite politik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syed Naquib al-Attas bahwa perilaku korupsi adalah pengkhianatan atas amanah yang telah diemban oleh seseorang. Dengan demikian, setiap warga negara yang yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai warga negara (seperti tidak membayar pajak) dapat dikatakan sebagai koruptor.
Sebenarnya, terdapat teori sederhanya yang dapat menjelaskan bagaimana berlangsungnya sebuah perilaku koruptif, yaitu jika seseorang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk melakukannya.
Lantas, bagaimanakah menyelesaikan kedua persoalan tersebut sehingga tidak menghambat perealisasian amanah UUD 1945? Jawabannya memang tidak mudah, karena persoalan tersebut sebenarnya tidak hanya merambah Indonesia, tetapi juga banyak bangsa-bangsa di dunia yang mengalami hambatan yang sama.
Disini lah peran pahlawan-pahlawan baru untuk menyelamatkan bangsa Indonesia.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Mendakwa Institusi Agama Mapan

Haryanto*))
Korban aliran sesat yang berasal dari kalangan muda terpelajar (yang ditinjau dari kelas ekonomi termasuk kalangan menengah ke atas) telah mematahkan tesis yang mengatakan bahwa aliran sesat berangkat dari ketidakmenentuan realitas masyarakat, seperti konflik sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Artinya, apa yang dikatakan oleh Marx bahwa agama adalah candu, tidak relevan lagi untuk dijadikan pisau analisis dalam menanggapi fenomena keterjebakan pemuda memasuki aliran sesat. Sebab, agama tetap menjadi pilihan bagi manusia untuk menggapai kedamaian dan keselamatan, meskipun agama itu dikategorikan sesat.
Sebagai fenomena baru, sudah selayaknya kita mempelajari strategi kunci yang dipergunakan oleh aliran sesat semacam al-Qiyadah al-Islamiyah, al-Qur’an Suci maupun Komunitas Kerajaan Eden dalam menjerat kaum muda terpelajar. Paling tidak dapat dijadikan bahan refleksi bagi institusi agama (seperti Muhammadiyah dan NU) yang ada di Indonesia. Sebab institusi agama yang selama ini dipercaya untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran agama telah gagal menjalankan tugasnya.
Kemunculan beragam aliran sesat belakangan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari proses pemaknaan atas kitab suci agama (baca: al-Qur’an). Karena sumber utama ajaran—baik itu sesat atau lurus—tetap berangkat dari pemahaman terhadap kitab suci. Sebagaimana diungkapkan oleh Fanani (2007), berawal dari tidak adanya konsep baku dalam menafsirkan kitab suci, sehingga setiap orang dapat menafsirkannya yang disesuaikan dengan kepentingan penafsir—termasuk untuk kepentingan memunculkan ajaran baru yang sesat.
Persoalan lainnya berawal dari institusi agama mapan sibuk berdebat antar sesama dalam mempertahankan paradigma keagamaannya masing-masing. Sehingga umat yang seharusnya diperhatikan tingkat kualitas pemahaman keagamaannya justru terabaikan.
Kedua celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh tokoh aliran sesat dalam menyebarkan ajaran-ajaran baru (sesat) yang juga bersumber dari kitab suci. Masyarakat yang sudah jemu, kecewa dan merasa diabaikan oleh institusi agama mulai mencari jalan baru sebagai bentuk pemenuhan hasrat spiritualitas dan ajaran yang lebih menjanjikan untuk mencapai keselamatan (salvation) abadi. Sayangnya, keinginan tersebut ditemukan wujudnya dalam ajaran aliran sesat.
Minimal, aliran sesat telah memunculkan sosok suci yang dianggap dapat menyelamatkan manusia, seperti Ahmad Mushaddeq (pendiri al-Qiyadah) sebagai Nabi baru atau pemimpin Komunitas Kerajaan Eden yang mengaku jelmaan malaikat Jibril.
Sosok pemimpin kharismatik yang dapat menyejukkan umat semacam inilah yang saat ini telah hilang dari institusi agama mapan di Indonesia. Karena para tokoh agama justru lebih intensif dalam kancah politik yang sekadar pemenuhan hasrat kekuasaan.
Pertobatan Institusi Agama
Selayaknya, institusi agama mapan melakukan pertobatan (introspeksi diri) sebagai langkah untuk melakukan reorientasi gerakan sehingga dapat mengakomidir kepentingan kaum muda yang memiliki nalar kritis dan selalu haus akan ajaran-ajaran yang bermuatan penggapaian keselamatan abadi.
Dengan demikian, dakwah konvensional yang mengedepankan ceramah yang anti kritik mesti beralih menuju dakwah kontemporer yang mengedepankan dialog. Fungsinya adalah untuk menginterpretasikan kitab suci agama agar sesuai dengan semangat zaman dan kebutuhan masyarakat yang rindu terhadap kedamaian keselamatan abadi.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Sistem Penilaian Program Akreditasi Sekolah


Haryanto*
Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah memang sudah saatnya memiliki standar kelayakan. Sehingga output yang dihasilkan tidak lagi berkualitas kacangan yang hanya menjadi sampah masyarakat, tetapi mampu melakukan persaingan untuk melepaskan diri dari kompleksitas problematika kehidupan global-modern, seperti pemiskinan, pembodohan, dan kriminalitas.
Sebab, menurut penelitian United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), posisi Indonesia dalam indeks pendidikan dunia telah mengalami kemerosotan secara kualitas, dari peringkat 58 menjadi peringkat 62 dari 130 negara yang menjadi subjek penelitian.
Dengan demikian, Program Akreditasi Sekolah (PAS) yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M), dan Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota, harus jeli, profesional, dan objektif dalam menentukan standar kelayakan pada tiap-tiap sekolah.
Secara normatif, akreditasi sekolah adalah salah satu treatment (perlakuan) yang dapat diorientasikan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja penye-lenggaraan pendidikan. Akhir dari proses akreditasi ini, dapat diketahui kualitas kinerja (performa) sebuah sekolah. Melalui akreditasi inilah, pemerintah atau masyarakat dapat menilai status kinerja dan atau kualitas penyelenggaraan pendidikan dimaksud, apakah termasuk sebuah sekolah yang berkinerja A, B atau masih perlu pembinaan lebih lanjut.
Standar Penilaian
PAS yang selama ini berlangsung sebenarnya memiliki standar penilaian yang meliputi sembilan komponen sekolah, yaitu: (a) kurikulum dan proses belajar mengajar; (b) administrasi dan manajemen sekolah; (c) organisasi dan kelembagaan sekolah; (d) sarana prasarana (e) ketenagaan; (f) pembiayaan; (g) peserta didik; (h) peran serta masyarakat; dan (i) lingkungan dan kultur sekolah.
Namun, pihak sekolah harus terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk dapat diikutsertakan dalam proses pengakreditasian. Persyaratan yang harus dipenuhi sekolah adalah: a) memiliki surat keputusan kelembagaan (UPT); (b) memiliki siswa pada semua tingkatan; (c) memiliki sarana dan prasarana pendidikan; (d) memiliki tenaga kependidikan; (e) melaksanakan kurikulum nasional; dan (f) telah menamatkan siswa.
Dengan demikian, standar penilaian PAS lebih menitikberatkan kepada capaian sekolah pada saat ini yang bersifat praksis pendidikan, tetapi tidak memperhatikan apa yang menjadi visi masa depan sekolah. Padahal, berhasil tidaknya sebuah lembaga pendidikan akan sangat ditentukan oleh pencapaian visi yang menjadi keinginan bersama (pemerintah, masyarakat, dan sekolah).
Kepentingan pengadaan penilaian terhadap visi masa depan sekolah juga untuk melakukan evaluasi terhadap penilaian yang telah diberikan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Sehingga masa berlaku akreditasi (4 tahun) tidak hanya berdasarkan standar penilaian praksis pendidikan, tetapi juga nilai-nilai mulia yang terkandung dalam visi masa depan sekolah.
Kemudian yang juga perlu diperhatikan adalah sistem pengawasan Badan Akreditasi Sekolah (BAS) terhadap sekolah yang telah mendapatkan peringkat akreditas. Artinya, BAS harus secara berkala turun ke tiap-tiap sekolah untuk melakukan pengecekan, kalau perlu dengan cara inspeksi mendadak. Sehingga, sekolah-sekolah akan merasa tetap diawasi setiap waktu. Bagi sekolah-sekolah nakal yang tidak meningkatkan prestasinya atau minimal mempertahankannya, maka dapat langsung dicabut atau diturunkan peringkat akreditasnya.
Dengan adanya sistem penilaian akreditasi sekolah yang berbasis praksis pendidikan dan nilai-nilai dari visi bersama, serta didukung dengan pengawasan berkala, maka PAS diharapkan dapat mendongkrak kualitas lembaga pendidikan, sehingga output pendidikan yang mampu bersaing di era global-modern pun bukan sebatas wacana lagi.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Ini Karyaku, Mana Karyamu?

Haryanto*
Judul : Incunabula
Penulis : Muhammad Faris Alfadh
Penerbit : Prophetic Freedom
Tahun : September, 2007
Tebal : 184 hlm.
Mencari kader muda Muhammadiyah yang produktif dalam berkarya pada saat ini dapat dikalkulasikan seribu berbanding satu. Entah, karena pola keorganisasian yang tidak mendukung produktifitas atau memang karena kader muda Muhammadiyah telah terinfeksi virus globalisasi sehingga kehilangan daya resistensi dan kesadaran reflektifnya, sebagaimana yang dituangkan oleh Muhammad Faris Alfadh dalam bukunya: Incunabula.
Menurut Faris, yang juga aktivis IMM AR Fachruddin ini, anak-anak muda (termasuk kader muda Muhammadiyah) sedang memasuki dunia tanpa idealisme. Sebuah dunia dalam lingkaran global yang dipenuhi oleh semangat konsumerisme. Mereka lebih senang berada di tengah hiruk-pikuk budaya massa dengan menghabiskan waktu di mall dan pusat hiburan, ketimbang duduk di ruang-ruang diskusi yang mencerahkan pemikiran (hal. 178).
Dampaknya, anak-anak muda tak pernah bisa memunculkan suatu karya yang dapat dipersembahkan kepada publik.
Bukan tidak mungkin, Muhammadiyah yang telah kehilangan generasi penerusnya akan menemui lembaran terakhir eksistensinya jika tidak bersegera mengantisipasi kondisi kritis tersebut. Karena dalam setiap organisasi, kader muda adalah investasi jangka panjang yang akan melanjutkan visi di masa yang akan datang.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Haedar Nashir dalam pengantar buku ini, dengan semakin bertumbuhnya anak-anak muda untuk menulis dan berolah pemikiran, maka akan semakin terbuka peluang untuk berkembangnya khazanah pemikiran di lingkungan Muhammadiyah. Muhammadiyah saat ini dan ke depan memerlukan sumbangan pemikiran dari generasi mudanya, selain sumbangan kiprah yang berwujud konkret dan menggerakkan dinamika persyarikatan.
*) Aktivis IMM Sukoharjo




Kesenjangan Antara Ideal Curriculum Dengan Actual Curriculum

Haryanto*
Judul : Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek
Penulis : Dr. Abdullah Idi, M.Ed
Penerbit : Ar-Ruz Media, Jogjakarta
Edisi : I, 2007
Tebal : 306 halaman
Realitas pendidikan Indonesia nampaknya masih berada dalam tahap pencarian identitas yang tak kunjung usai, sehingga raut kebingungan terlihat jelas dalam guratan kebijakan pendidikan yang selalu berubah-ubah. Akibatnya, praksis pendidikan yang harus dijalankan oleh sekolah tak pernah berada dalam posisi yang dapat diterapkan secara maksimal.
Salah satu target kebijakan pendidikan adalah berada pada penataan kurikulum yang ideal. Sebab, kurikulum merupakan pedoman dasar dalam proses belajar mengajar. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang peserta didik dan pendidik dalam menyerap dan memberikan pengajaran, serta sukses tidaknya tujuan pendidikan tentu akan sangat berpulang kepada kurikulum.
Hingga saat ini, kurikulum resmi yang ditawarkan pemerintah telah mengalami beberapa perubahan, yaitu tahun 1984, 1994, 2004, 2006. namun, perubahan-perubahan tersebut sejatinya belum menampakkan hasil atau output yang berkualitas dan mampu bersaing di era global.
Pertanyaannya, mengapa kurikulum pendidikan nasional tidak mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan bangsa Indonesia? Menurut Dr. Abdullah Idi, persoalan tersebut dilatari oleh kesenjangan yang teramat jauh antara ideal curriculum dengan actual curriculum. Artinya, kurikulum yang dicita-citakan, yang masih berbentuk ideal (teks) tidak dapat direalisasikan dalam proses pembelajaran di dalam kelas (hlm. 20).
Keniscayaan Kesenjangan
Namun perlu digarisbawahi, bahwa kesenjangan antara ideal curriculum dengan actual curriculum pasti akan tetap berlangsung ketika lembaga pendidikan tidak memiliki independensi dalam menata kurikulumnya secara mandisi. Oleh karena itu, yang paling memungkinkan untuk dilakukan saat ini adalah dengan meminimalisir tingkat kesenjangan yang terjadi (hlm. 282).
Terkait hal ini, Dr. Idi menawarkan prasarat mutlak yang harus dipenuhi dalam penyusunan kurikulum ideal tetapi dapat diaktualisasikan oleh lembaga pendidikan tanpa terjadi distorsi yang amat jauh, yaitu pemahaman mengenai prinsip, teori, dan komponen kurikulum.
Prinsip kurikulum dapat diartikan sebagai dasar berpikir dalam penyusunan kurikulum yang meliputi: prinsip relevansi, efektifitas, efisiensi, dan fleksibilitas. Sedangkan teori kurikulum merupakan dasar-dasar yang sistematik untuk menghadapi beragam problem praktik pendidikan. Diantaranya harus mampu menjawab pertanyaan: apa yang dibutuhkan di kelas? Siapa yang harus dimasukkan dalam perancangan? Bagaimana kurikulum dapat diimplementasi-kan? Dan bagaimana cara mengevaluasinya?
Selanjutnya adalah pemahaman mengenai komponen kurikulum yang merupakan prasarat terpenting dalam gagasan Dr. Idi. Karena disini menyangkut perangkat-perangkat kurikulum yang terdiri dari komponen utama (softwere) dan komponen pendukung (hardwere) yang saling berkaitan. Komponen utama terdiri dari: tujuan, isi materi, media dan komponen proses belajar mengajar. Sedangkan komponen penunjang meliputi: sistem administrasi dan supervisi, pelayanan bimbingan dan penyuluhan, dan sistem evaluasi (hlm.150).
Gagasan ini memang tergolong menarik, karena dicetuskan pada saat pemerintah Indonesia sedang merevitalisasi sistem pendidikan nasional guna kemajuan bangsa. Apalagi, buku berstandar ilmiah yang berbicara mengenai penyusunan kurikulum masih teramat sulit ditemukan.
Lebih dari itu, buku ini menjadi sangat berguna bagi para pelaku pendidikan, pembuat kebijakan, desainer kurikulum dan setiap orang yang peduli kepada kemajuan pendidikan nasional. Paling tidak dalam konteks memformat kurikulum yang tepat dan efisien, baik secara teori maupun praktiknya.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Sanitary Landfill: Solusi Penanggulangan Sampah Perkotaan

Haryanto*
Judul : Mengolah Sampah Menjadi Uang
Penulis : Gugun Gunawan
Penerbit : Trans Media, Jakarta
Edisi : I, 2007
Tebal : viii + 102
Tumpukan sampah selalu menjadi momok utama pada daerah perkotaan yang tidak memiliki sistem daur ulang yang efektif dan efisien. Karena sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas masyarakat kota yang kompleks. Artinya, sampah tidak hanya berasal dari sisa konsumsi rumah tangga tetapi juga sisa produksi industri yang berwujud limbah.
Dampak yang ditimbulkan pun beragam, dimulai dari munculnya aneka bibit penyakit, citra kumuh, pencemaran lingkungan, hingga pemanasan global (global warming) yang dapat menghancurkan kehidupan umat manusia lebih cepat.
Meski demikian, penanggulangan sampah secara efektif dan efisien nampaknya belum merasuk dalam kesadaran masyarakat secara utuh. Buktinya, sungai-sungai dan drainase masih dipenuhi tumpukan sampah hingga menyebabkan banjir, pasar-pasar tradisional masih dipenuhi lalat-lalat pembawa bibit penyakit, dan perilaku membuang sampah sembarangan tetap menjadi pemandangan yang wajar.
Buku yang ditulis oleh Gugun Gunawan ini merupakan gagasan untuk menanggulangi persoalan sampah dengan sistem sanitary landfill (pembuangan secara sehat), yaitu dengan mendaur ulang sampah secara efektif dan efisian. Sehingga sampah dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sebagai bahan jadi siap pakai atau bahkan merubah sampah menjadi sumber perekonomian yang menjanjikan.
Perangkat Teknologi
Pada daerah perkotaan, sampah biasanya ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang kemudian mengalami proses lanjutan dengan menggunakan tiga teknologi, Pertama, teknologi pembakaran (incinerator). Dengan cara ini dihasilkan produk sampingan berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik.
Kedua, teknologi compositing yang menghasilkan kompos sehingga dapat dipergunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah. Ketiga, teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan produk sampah potensial, seperti: kertas, plastik, logam, kaca, dan gelas (hlm. 3).
Ketiga perangkat teknologi tersebut tentunya membawa kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Namun, pada teknologi daur ulang selain dapat meminimalisir tumpukan sampah, juga memiliki nilai lebih, karena sampah yang tadinya memiliki citra buruk dan kotor dialihfungsikan menjadi barang jadi yang sesuai dengan kreatifitas pendaur sampah. Semisal, kertas dan plastik dapat diubah menjadi suvenir cantik dan cinderamata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, proses pendauran harus melibatkan seluruh warga masyarakat. Karena setiap warga memiliki peran dalam mengotori wilayahnya, sehingga setiap warga juga memiliki tanggungjawab untuk membersihkannya pula. Peran ini memiliki arti penting untuk mengurangi beban perekonomian pemerintah kota.
Salah satu keunggulan buku ini terletak pada tips 4R yang dapat diterapkan oleh seluruh masyarakat perkotaan yang memiliki persoalan sampah, yaitu: Reduce, Mengurangi mengonsumsi barang-barang yang tidak dibutuhkan; Rause, Menggunakan kembali barang-barang yang bisa dipakai kembali; Recycle, Mendaur ulang sampah agar lebih bermanfaat dan tidak mencemari lingkungan; dan Replace, Mengganti barang-barang yang bisa dipakai sekali dengan barang yang tahan lama (hlm. 15).
Lebih jauh dari itu, buku yang berjudul: Mengolah Sampah Jadi Uang ini dapat menjadi pemantik bagi penulis-penulis lain yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan lingkungan. Karena selama ini, buku-buku terbitan Indonesia yang terkait dengan penyelamatan lingkungan masih sangat minim.
*) Aktivis IMM Sukoharjo


Mengurai pandangan politik para kiai

Haryanto*
Judul Buku : Nasionalisme Kiai:Konstruksi Sosial Berbasis Agama
Penulis : Ali Maschan Moesa
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Edisi : I, November 2007
Tebal : xxii + 358 halaman
Sebagai buah karya dari studi ilmiah, buku ini memiliki fokus kajian yang jelas, yaitu mengurai beragam pandangan politik kiai dalam konteks keindonesiaan, bagaimana mereka mengkonstruksi pandangan politiknya, dasar-dasar konstruksinya, dan konteks yang melatarbelakangi, serta apa maknanya bagi mereka.
Karena dengan menjawab beberapa pertanyaan di atas, penulis buku (Ali Maschan Moesa) berharap dapat menemukan beragam pandangan politik kiai yang terkait dengan relasi antara agama dan negara. Sebab, tak dapat dipungkiri jika kharisma dan kepemimpinan para kiai yang berbasiskan agama memiliki potensi besar untuk mempengaruhi sistem politik Indonesia, sebagaimana yang telah terformalkan dalam bentuk partai politik maupun organisasi masyarakat.
Berangkat dari pembacaan atas latar belakang pendidikan, wawasan keagamaan, pengalaman tradisi dan pengalaman-pengalaman di dalam mengarungi kehidupan yang terdapat pada sosok Kiai, Ali Maschan Moesa menemukan tiga mainstream (arus utama) pandangan politik kiai di Indonesia yang kemudian diklasifikasikan ke dalam kelompok kiai fundamentalis, kiai moderat dan kiai pragmatis (hal. 280).
Pertama, pandangan politik kiai fundamentalis bercorak integrated (kesatuan antara Islam dan negara). Artinya, negara tidak sekadar representasi agama, tetapi juga presentasi dari agama. Para kiai yang berada pada haluan ini meyakini bahwa kedaulatan tertinggi tidak berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Tuhan (divine sovereignty). Sedangkan latar pemikiran yang dibawa adalah berangkat dari konsep negara Islam (Dar al-Islam) dan persatuan Islam (Pan-Islamisme). Sehingga kecenderungan gerakannya adalah ke arah formalisasi syariat Islam dalam bernegara (hal. 281).
Kedua, kiai moderat memandang relasi antara agama negara lebih bersifat simbiotik, yaitu relasi yang bersifat timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama membutuhkan negara, karena dengan dukungan otoritas kekuasaan negara, agama dapat berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama maka negara akan berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual agama (hal. 282).
Sedangkan sistem politik yang dikehendaki oleh kiai moderat adalah demokrasi pluralis. Di mana batasan maksimalnya berada pada kekuasaan politik yang dipegang oleh orang-orang muslim, dan minimalnya adalah terjaminnya kebebasan bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya. Sebagai konsekuensi atas pandangan tersebut, maka posisi syariat Islam harus diterapkan dalam masyarakat sebagai sistem nilai, namun tidak dijadikan hukum negara secara formal yang berimplikasi kepada islamisasi negara (hal. 283).
Ketiga, kiai pragmatis, pemahaman keagamaan mereka tergolong yang tekstual-normatif sehingga memandang NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah perangkat kenegaraan yang belum final. Karena mereka memiliki kerangka ideal bahwa negara harus dibangun atas dasar iman (hal. 286). Meskipun golongan kiai pragmatis menerima prinsip dasar negara Indonesia (Pancasila dan UUD 1945), tetapi mereka tetap mengupayakan terbentuknya negara Indonesia yang berbasiskan Islam, baik secara nilai maupun formalisasi syariat.
Temuan baru
Selain ketiga pandangan politik yang bercorak klasik di atas, Ali Maschan Moesa juga menemukan sebuah pandangan politik baru yang dikonstruksi oleh para kiai, yang disebutnya dengan ”paradigma independensi”. Sayangnya, Ali Maschan Moesa tidak menempatkan pandangan baru tersebut dalam kelompok kiai tertentu sebagaimana ketiga pandangan sebelumnya.
Dalam pandangan ini, agama harus benar-benar terbebas dari negara. Sebaliknya, negara juga tidak bernafsu untuk mencampuri urusan agama warganya. Dengan ungkapan lain dapat dirumuskan dengan kalimat ”agama tanpa negara”. Maksudnya, bagaimana agar agama dan negara berdiri pada wilayahnya masing-masing dan tidak ada intervensi satu sama lain, kecuali melalui proses obyektivasi. Sehingga jika terjadi saling keterpengaruhan antara agama dan negara hanya terjadi pada tingkat moralitas saja, seperti menyangkut pengelolaan negara yang disasarkan pada moral universal keagamaan.
Fokus pandangan baru ini adalah mengupayakan secara sungguh-sungguh untuk melepaskan ”gurita negara” dan ”watak intervensionisme negara” terhadap warganya. Oleh karena itu, pemaknaan pokok dari paradigma independensi adalah untuk menjaga otonomi individu-individu dan kelompok masyarakat dari realitas negara yang cenderung menindas dan represif.
Sebagai buku yang berkualitas ilmiah, kontribusi yang diberikan buku ini sebenarnya adalah kelanjutan atas penelitian yang pernah dilakukan oleh Badri Yatim (1984). Quraisy Syihab (1994) dan Zamharir (2004) menyimpulkan bahwa nasionalisme Indonesia tidak bertentangan dengan agama Islam. Oleh karena itu, membaca buku ini tak akan pernah mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan memuaskan katika tidak dimulai dengan membaca buku-buku sebelumnya.
Buku ini amat tepat dikonsumsi oleh para intelijen negara yang tengah melakukan pengamatan terhadap perilaku politik para kiai. Paling tidak dapat dijadikan rujukan agar dapat memetakan kelompok kiai yang berpotensi memunculkan konflik sektarian dan yang konsisten merekatkan semangat nasionalisme kebangsaan.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Matinya Kebenaran Tanda Yang Diproduksi Media Massa

Haryanto*
Judul : Tanda Pembunuh Kapitalisme Global di Balik Semiotika Media
Penulis : Fitrah Hamdani
Penerbit : JO Press
Edisi : I, Januari 2008
Tebal : xx + 142 halaman
Penulis muda seringkali mengalami kesulitan untuk mempublikasikan karya tulis perdananya kepada perusahaan penerbitan buku. Karena ketokohan dan gagasan-gagasannya dianggap tidak layak (tidak laku) dijual ke pasaran. Akibatnya, tak sedikit karya-karya mereka yang kemudian masuk ke “tong sampah” tanpa pernah dibaca oleh orang lain secara masal.
Beberapa mahasiswa pada sebuah Perguruan Tinggi di kota Solo dengan kritis membaca fenomena di atas—khususnya di kota Solo sendiri—sebagai bentuk diskriminasi atas kebebasan berkreasi Penulis Muda dan Baru (PMB). Walhasil, mereka nekad mendirikan perusahaan penerbitan buku sendiri yang berfungsi untuk menampung gagasan-gagasan para PMB, meskipun terbentur dengan modal yang tak memadai.
Buku yang berjudul Tanda Pembunuh Kapitalisme Global di Balik Semiotika Media ini adalah produk perdana penerbitan mereka, sekaligus karya perdana bagi Fitrah Hamdani yang pada saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Twinning Program Hukum-Syari’ah, UMS.
Penipuan Tanda
Secara umum, gagasan yang digelontorkan pada buku bersampul imut-imut ini, mencoba untuk membongkar peranan media massa dalam membesarkan kapitalisme global yang menciptakan masyarakat konsumeris. Bukan semata-mata melihat bahwa media massa adalah bagian dari kaum pengeruk keuntungan, tetapi “penipuan tanda” secara sistematis juga berlangsung dalam setiap tayangan-tayangan yang ditampilkannya. Akibatnya, pembaca yang mengonsumsi tayangan-tayangan dari media massa juga secara otomatis mengalami ketertipuan makna (hal. 5).
Dalam kajian semiotika struktural, struktur tanda (structure of sign) diklasifikasikan menjadi penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, gambar, dan benda. Sedangkan petanda adalah konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda (sign). Dan, penanda yang benar seharusnya merujuk (reference) kepada kebenaran realitas dan kebutuhan sosial, di luar itu, berarti tanda adalah sebuah kebohongan dan palsu yang bersifat artifisial.
Konsep tersebut kemudian dijadikan alat oleh penulis untuk menganalisis relasi media massa dengan kapitalisme global. Media massa sejatinya telah memproduksi tanda secara masal dengan tidak merujuk kepada kebutuhan masyarakat. Media massa mencitrakan (mengiklankan) aneka produk dalam setiap harinya tanpa pernah benar-benar memperhitungkan apakah masyarakat membutuhkan setiap produk tersebut?
Akibatnya, masyarakat menjadi terasing dari identitas kebudayaannya sendiri, mengonsumsi sesuatu berdasarkan citraan merk dan label, dan memuncul-kan gaya hidup (life style) yang berbeda dari kebiasaannya. Dengan kata lain, media massa telah menjadi “budak-budak” pengepul modal tanpa memperhatikan efeknya terhadap perubahan kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Bahkan, dalam konteks Indonesia saat ini, hubungan produksi antara media dengan negara menyeret demokrasi ke arah fashion. Demokrasi yang muncul begitu ngepop. Disana, kita melihat sebuah setting panggung yang dihuni oleh sejumlah bintang politik yang menghibur. Dengan kata lain, demokrasi sebagai sistem nilai dan politik telah berubah menjadi komoditas yang secara terus menerus dijajakan kepada publik (hal. 2).
Tak seperti penulis-penulis yang tak bertanggungjawab, Fitrah hamdani setelah mengoyak peran media yang tak memanusiakan manusia, beliau menawarkan solusi, yaitu dengan menerapkan proses perlawanan simbol (hal. 133). Maksudnya, kita memerlukan media-media alternatif yang dapat mendistribusikan simbol-simbol anti kapitalisme, atau simbol-simbol yang dapat mengangkat kebutuhan hakiki masyarakat.
Kapasitasnya sebagai seorang mahasiswa, Fitrah Hamdani tergolong berani, mengkaji sebuah persoalan berat yang sebenarnya tabu untuk dibicarakan setelah reformasi 98 berkecamuk. Disaat banyak orang menggadang-gadang media massa untuk mewujudkan kebebasan pers, dia justru menghantamnya dengan kritis.
Buku ini cukup tepat dikonsumsi oleh para akademisi dan aktivis yang concern mengadakan kajian terhadap perkembangan kapitalisme model baru. Kemudian bagi para pegiat pers, buku ini dapat menjadi tamparan keras agar segera melakukan introspeksi dan membenahi setiap kekuarangan-kekurangan yang ada pada medianya.
Di luar itu semua, kita patut berharap agar penerbitan alternatif yang dimotori oleh para mahasiswa ini dapat memicu terbentuknya penerbitan-penerbitan baru yang dapat memfasilitasi gagasan-gagasan PMB di kota Solo. Sehingga para penulis muda dan baru tak lagi mengalami kesulitan dalam mempublikasikan karya tulisnya agar dapat dibaca oleh masyarakat secara masal. Maka bagi kalian para PMB, berlomba-lombalah untuk menulis, karena hanya dengan tulisan perjuangan melawan ketidakadilan akan benar-benar mengabadi sepanjang masa.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Menuju Revolusi Ilmu Pengetahuan Berbasis Agama

Haryanto*
Judul : Pudarnya Pesona Ilmu Agama
Penulis : Dr. Mukhyar Fanani
Penerbit : Pustaka Pelajar dan Manara
Edisi : I, Oktober 2007
Tebal : xxxvi + 190
Naiknya peradaban Islam menjadi master peradaban pada abad IX M tidak bisa dilepaskan dari prestasi ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh umat Islam pada waktu itu. Sebaliknya, melemahnya peradaban Islam sejak abad XIII M juga disebabkan melamahnya dinamika ilmiah dan semangat keilmuan.
Hingga saat ini, Ilmu Pengetahuan yang terlahir dari rahim agama Islam (IPA) semakin tak memiliki pengaruh yang signifikan dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang semakin kompleks, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Realitasnya, IPA justru cenderung mengekor kepada ragam Ilmu Pengetahuan Modern (IPM) yang sebenarnya memiliki akar yang jauh bertolak belakang dari tradisi besar agama (kitab suci).
Padahal, jika meneropong sejarah, Islam adalah agama yang paling kaya dalam menyumbangkan beragam paradigma keilmuan kepada umat manusia, seperti kedokteran, matematika, kimia, hingga metafisika dan ilmu jiwa. Bahkan, kemajuan IPM juga diawali dari proses penyaduran beragam kampium IPA, seperti karya Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Lantas, apa yang melatari pudarnya pesona ilmu agama di era kontemporer?
Ulasan mengenai hal ini memang telah banyak dipaparkan oleh banyak pemikir, namun, apa yang disampaikan oleh Dr. Mukhyar Fanani dalam buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama, tergolong unik dan patut diapresiasi oleh para pengembang ilmu agama. Menurutnya, sejarah politik kekuasaan Islam di masa silam yang biasanya dianggap sebagai perantara kemajuan IPA justru merupakan penyebab utama yang melatari keruntuhan IPA di masa kini (hlm. 3).
Pasalnya, ilmu pengetahuan yang berkembang di masa itu, bukan lagi berangkat dari logika keilmuan murni (ilmiah-rasional), tetapi telah terdistorsi oleh kepentingan penguasa (tirani ilmiah). Oleh karena itu, peran ilmu pengetahuan cenderung sebagai alat legitimasi penguasa ketimbang memecahkan persoalan umat. Bukti sejarahnya dapat diperhatikan dalam bentuk pencekalan, penangkapan dan pembunuhan terhadap ilmuwan-ilmuwan yang tidak segaris dengan para penguasa, seperti dalam kasus mihnah dan pembunuhan al-Hallaj pada masa kekuasaan Sultan al-Makmun (hlm. 4).
arena persoalan inilah, IPA sebenarnya tidak pernah mencapai taraf keilmuan yang matang. Karena dialog antar paradigma dalam IPA hampir-hampir tak pernah dilakukan, kalaupun terjadi, hanya ada pada ruang-ruang yang dipengaruhi politik kekuasaan. Naasnya, banyak ilmuwan Muslim justru terjebak untuk membawa IPA klasik agar dapat diimplementasikan di era sekarang. Hasilnya, tentu saja tidak pernah memecahkan persoalan umat.
Revolusi Paradigma IPA
Revolusi paradigma IPA adalah jawaban yang digelontorkan oleh Dr. Mukhyar Fanani dalam menjawab krisis IPA. Artinya, ilmuwan Muslim harus berani meninggalkan paradigma keilmuan klasik yang telah terbukti tidak berada dalam standar keilmuan murni dan tidak mampu memecahkan persoalan manusia saat ini (hlm. 140).
Dengan demikian, membangun konsensus antar ilmuwan Muslim guna menetapkan paradigma keilmuan yang ilmiah-rasional adalah mutlak dilakukan. Konsensus tanpa perantara dan campur tangan penguasa atau pemerintah. Konsensus yang dilakukan dengan motif untuk mengembangkan IPA dan menentukan paradigma yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan manusia. Yang pasti, IPA klasik sudah saatnya masuk ke dalam keranjang sampah dan berganti dengan IPA baru sebagai hasil konsensus antar ilmuwan Muslim.
Namun, untuk menuju kesana terdapat prasarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: membangun iklim akademis yang berbasis civil society, memperkuat lembaga pendidikan yang bebas, revitalisasi motif perbaikan nasib umat dan meminimalisasi motif ideologis, melakukan continuing research, serta sosialisasi karya-karya ilmiah secara massif (hlm. 144).
Proses penegakan prasarat inilah yang disebut oleh Dr. Mukhyar Fanani sebagai pewujuduan demokrasi ilmiah dalam pengembangan IPA. Sehingga IPA tidak terkungkung dalam paradigma keilmuan feodal yang hanya mengedepankan tradisi besar agama sebagai porosnya.
Membaca buku ini akan menyadarkan kita pada dua hal: Pertama, bahwa lahirnya suatu pemikiran apapun akan menemukan masa kemajuan dan kemundurannya, tak terkecuali IPA. Kedua, bahwa lahirnya suatu diskursus keilmuan amat dipengaruhi oleh tali temali relasi kuasa dan pengetahuan, serta dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa. Dengan kata lain, sebuah diskursus keilmuan akan lahir dan besar jika dipelihara oleh ideologi dominan yang dianut oleh penguasa.
Lebih dari itu, buku ini juga mengingatkan kita akan pernyataan Michel Foucault “Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha untuk membentuk penge-tahuannya sendiri serta menciptakan rezim kebenaran sendiri.” Itulah yang terjadi dan disuguhkan secara tajam dalam buku “Pudarnya Pesona Ilmu Agama” karya Dr. Mukhyar Fanani.
*) Aktivis IMM Sukoharjo