Memperingati Hari Bumi: Silang Sengkarut Keberadaan Hutan Indonesia

Haryanto*))
Pada tanggal 4 Februari 2008 adalah hari bersejarah bagi keruntuhan hutan lindung dan hutan produksi di Indonesia, yang berarti juga fase baru dimana penebangan dan perusakan hutan dilegalkan oleh pemerintah. Pada hari tersebut presiden SBY menandatangani Peraturan Presiden Nomor 02 tahun 2008 yang mengatur tentang pengenaan tarif hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan komersil. Dalam aturan tersebut menetapkan tarif sewa hutan yang bekisar antara Rp. 1,2 juta hingga Rp. 3 juta/hektare/tahun atau sama dengan Rp. 120 hingga Rp. 300/meter/tahun. Sebuah angka yang fantastis.
Kebijakan tersebut sejatinya menandakan bahwa kepentingan ekonomi lebih penting daripada melestarikan lingkungan. Padahal, pada milennium ketiga ini, kehidupan umat manusia dihadapkan kepada bencana global yang bersumber dari kehancuran ekologi. Jutaan hektare hutan telah berubah menjadi gedung-gedung, jalan tol, rumah dan ladang pertanian penduduk, yang mengakibatkan bencana banjir dan longsor di musim penghujan serta kekeringan di musim kemarau.
Apakah hal ini menandakan bahwa sejarah peradaban manusia (modern) akan segera berakhir karena ditelan oleh kemarahan alam yang ganas? Peradaban modern yang dihembuskan semenjak 7 abad silam memang telah memabawa dampak negatif yang kian menakutkan bagi kehidupan. Paradigma antroposentrisme sebagai pondasi peradaban modern bergulir begitu massifnya hingga membuat manusia lupa bahwa eksistensinya amat bergantung dengan eksistensi ekologis yang memiliki kepastian hukum, yaitu keseimbangan.
Kini, keseimbangan itu telah sirna. Obsesi manusia untuk membangun peradaban dengan berbasis pada kekuatan industri yang eksploitatif dan kedigdayaan iptek yang free value yang didukung dengan kebijakan politik anti lingkungan telah menjadikan species manusia diambang kepunahan. Lapisan ozone yang menjadi perisai bumi telah rusak akibat zat cemar fluoro-chloro-carbon yang merupakan kreativitas manusia sendiri. Kadar racun karbon hasil pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas bak “selimut” membalut bumi hingga menahan udara panas melepas ke langit dan menjadikan suhu bumi semakin panas.
Hutan yang seharusnya meneduhkan bumi terus dijarah oleh penjahat-penjahat kelas kakap demi kepentingan produksi atau pengakumulasian modal. Polisi-polisi hutan pun dengan mudahnya disirep oleh jampi-jampi keuntungan berlapis sehingga membuatnya tertidur dari kewajibannya menjaga hutan. Dan akhirnya, kasus illegal logging tetap berlangsung secara terus-menerus hingga hutan menjadi plontos.

Indonesia: Bangsa yang Rumit
Keberadaan Indonesia sebagai negara berkembang dengan frekuensi pertumbuhan penduduk yang tinggi memang memaksa bangsa ini untuk “memanfaatkan” hutan secara berlebih. Belum lagi merebaknya penduduk miskin yang tak kunjung mencapai taraf hidup layak telah dengan sadar menjadi “budak-budak” pengusaha kayu demi bertahan hidup. Dengan demikian, betapa pun upaya peremajaan dan perlindungan hutan yang digalakkan, jika pertumbuhan penduduk dan orang miskin masih tinggi, hutan akan tetap menjadi korban.
Berubahnya hutan di kawasan gunung Sindoro-Sumbing (yang nyaris habis hingga mencapai puncak) menjadi ladang pertanian penduduk adalah contoh real bahwa masyarakat Indonesia amat tergantung dengan hutan untuk bertahan hidup. Begitu pula yang terjadi di Riau, tak kurang dari 200.000 hektare hutan menghilang tiap tahunnya.
Adakah Jalan Keluar? Meningkatan pendapatan penduduk atau menyelamatkan hutan? Memilih salah satu diantara kedua pilihan tersebut sama saja hasilnya, yaitu kehancuran peradaban manusia. Karena manusia tak mungkin hidup dengan baik tanpa kemapanan ekonomi dan kelestarian hutan. Maka dari itu, Bangsa ini harus berjuang lebih keras untuk merumuskan pembangunan yang terintegrasi antara kesejahteraan dengan keasrian.
Paradigma integratif harus digulirkan terus-menerus sebagai antitesa dari paradigma antroposentris, bahwa manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Karena manusia tanpa alam semesta adalah sama halnya dengan kematian. Bencana alam yang datang bertubi-tubi seharusnya sudah cukup menjadi pelecut yang keras untuk menyadarkan kita mengenai betapa pentingnya menyelamatkan populasi hutan sebagai bagian yang elementer dari keseimbangan alam semesta.
Maka dari itu, kebijakan ekonomi-politik yang selalu berpihak kepada manusia harus bergeser dengan lebih memperhatikan hutan; nafsu beranak-pinak kita harus ditekan agar tak memadati bumi; dan pengusaha-pengusaha kaya harus mendistribusikan kekayaannya kepada orang miskin dengan pemerintah sebagai fasilitatornya; kemudian yang juga penting, hentikan penebangan hutan sekarang juga, apapun alasannya.
Pekerjaan tersebut memang tak mudah dilakukan. Kita harus memulainya dengan menumbuhkan kesadaran ekologis di berbagai tingkat masyarakat. Politisi, ekonom, mahasiswa, aktivis lingkungan dan semua masyarakat sipil harus bersatu padu menyelamatkan hutan dari kepunahan. Betapa pun beratnya, jika kita berpadu dalam satu tujuan yang sama, niscaya krisis hutan akan dapat terselesaikan
Dengan datangnya momentum hari bumi pada 22 April, marilah kita mulai lembar peradaban manusia yang baru, peradaban yang selalu menjaga, merawat dan melestarikan hutan agar selalu tercipta keseimbangan pada alam semesta. Karena tanpa hutan, kita sama saja “telanjang” di bawah langit. Untuk itu, kiranya kita patut merenungkan bahwa “Alam bukanlah barang yang mati, alam selalu hidup dan akan membalas setiap perbuatan manusia dengan hukum yang seadil-adilnya”.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Memperingati Hari Bumi: Silang Sengkarut Keberadaan Hutan Indonesia”:

Leave a comment