Javasentris Sebagai Penghambat Sertifikasi Pendidikan

Haryanto*))
Ujian sertifikasi bagi guru telah dilakukan pertengahan bulan september lalu. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda dari prediksi sebelumnya, bahwa banyak dari peserta ujian yang tidak akan lolos seleksi. Dan memang demikian adanya, Kelulusan sertifikasi guru di Jawa Tengah yang paling rendah terjadi pada tempat ujian di Universitas Sebelas Maret (UNS). Dari 860 guru yang mengikuti sertifikasi, tingkat kelulusan sangat minim yaitu hanya 8,52 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ujian sertifikasi yang diselenggarakan di Univeristas Negeri Semarang (Unnes), dari 1.625 peserta, angka kelulusan mencapai 51 persen.
Kegagalan yang diderita oleh para guru dalam ujian sertifikasi tersebut tentunya bukan menjadi tolak ukur untuk menyatakan rendahnya kualitas tenaga pendidik. Harus dipahami bahwa syarat yang harus dipenuhi para guru untuk dapat lulus dalam ujian sertifikasi cukup berat.
Terdapat sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari model penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Persoalan selanjutnya muncul, sebagaimana diberitakan oleh Solopos (5/10/2007) bahwa petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti ujian sertifikasi baru datang beberapa hari menjelang masa pendaftaran. Dengan demikian, bagaimana mungkin para guru dapat menyelesaikan sepuluh syarat penilaian portofolio dalam waktu yang singkat, padahal beberapa syarat diantaranya juga harus menembus pintu birokrasi yang serba rumit.
Bagi mereka yang gagal memang diberikan kesempatan berikutnya untuk memenuhi syarat penilaian portofolio yang belum lengkap, atau dapat pula mengikuti diklat yang akan diselenggarakan nantinya.
Namun butuh dipahami, secara psikologis bagi guru-guru yang tidak lolos seleksi akan amat tertekan. Karena citra yang tertanam mengenai program sertifikasi guru adalah menjadikan guru berkualitas. Artinya, ketika tidak lolos seleksi secara tak langsung akan menempatkan diri mereka sebagai guru yang tak berkualitas.
Javasentrisme Pendidikan
Siapa pun mengetahui bahwa realitas pendidikan di Indonesia memiliki sifat javasentris. Artinya, pendidikan yang ada di pulau Jawa relatif lebih berkualitas jika dibandingkan dengan pendidikan di luar pulau Jawa. Kondisi ini paling tidak ditandai dengan berbondong-bondongnya putra-putra daerah non Jawa yang bersekolah ke Jawa, khususnya Jakarta dan Jogjakarta.
Timpangnya realitas pendidikan Jawa dengan non Jawa salah satu pemicunya adalah berangkat dari minimnya ruang-ruang untuk dapat mengakses informasi dan dialetktika kependidikan yang kurang berjalan dengan massif di kalangan pendidik atau antar lembaga pendidikan.
Persoalan ini seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat yang tengah menjalankan program sertifikasi pendidikan. Karena sesuatu yang mustahil untuk menyeragamkan kualitas guru di berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom) seharusnya dapat menjadi tolak ukur utama untuk pelaksanaan program sertifikasi selanjutnya.
Kemudian untuk para guru yang tidak lolos sertifikasi hendaknya menyadari bahwa Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Sehingga tidak perlu risau dengan kegagalan, karena kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Javasentris Sebagai Penghambat Sertifikasi Pendidikan”:

Leave a comment