Kebijakan Energi yang Anti Rakyat
Belum segenap hati rakyat menerima energi gas sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah, kini, harga jual gas elpiji di pasaran justru semakin meroket. Hal itu dilatari oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gas ukuran 12 kg menjadi Rp. 60.000, yang berarti selisih Rp. 7.000 dari harga gas sebelumnya.
Meski harga tersebut sudah tergolong tinggi dan meresahkan para konsumen, tetapi para distributor di pasar turut memperparah keadaan dengan menjual gas yang berkisar antara Rp. 80.000 sampai Rp. 120.000.
Lebih rumit dari itu, stok gas di pasaran tiba-tiba raib. Permainan kotor para distributor dan minimnya produksi tabung gas 12 kg yang dikelola pertamina disinyalir sebagai penyebab utamanya. Hatta, konsumen gas yang jumlahnya semakin meningkat sejak kebijakan konversi minyak tanah ke gas dipaksakan pemerintah, kian sulit memperoleh bahan bakar gas.
Silang sengkarut persoalan gas tersebut tentunya mengakibatkan kepanikan yang tak hanya menimpa kalangan konsumen rumah tangga yang menggunakan gas sebatas keperluan dapur. Tetapi kalangan industri kecil juga akan menuai kerugian ekonomi yang cukup signifikan karena kenaikkan harga gas akan berdampak pada pembengkakan biaya produksi.
Realitas negatif yang menimpa rakyat tersebut sejatinya hanyalah buntut dari kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang dipaksakan pemerintah pada tahun 2007 lalu. Seakan-akan kebijakan tersebut merupakan umpan yang kemudian menggiring rakyat untuk memasuki perangkap-perangkap kebijakan berikutnya yang jauh lebih berat dan memaksa.
Ironisnya lagi, kebijakan menaikkan harga gas diambil pemerintah ketika rakyat sedang dalam kondisi tertekan secara ekonomi akibat naiknya harga bahan-bahan pokok, bahan bakar minyak, dan sarana transportasi.
Frustasi Sosial
Keadaan yang serba sulit ini dikhawatirkan akan membawa rakyat kepada fase frustasi sosial. Fase dimana rakyat akan menghalalkan segala cara demi mempertahankan hak hidupnya—baik secara personal maupun golongan—yang pada akhirnya akan berujung pada kerusuhan massal. Benih-benih frustasi sosial ini sejatinya sudah nampak pada maraknya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat, kelompok agama, gerakan mahasiswa, dan pelajar pada beberapa bulan terakhir ini.
Sebagai perbandingan, marilah kita tengok sejarah gelap di negeri ini pada sepuluh tahun silam ketika aksi penjarahan yang diikuti pembakaran, perkosaan, dan penganiayaan merebak secara massal di berbagai daerah. Meski pun hal itu kemudian berbuntut kepada gerakan reformasi 98, namun kerusuhan Mei 98 tetap merupakan borok sejarah bangsa Indonesia yang salah satu penyebabnya adalah naiknya harga-harga.
Pastinya, kita tidak menginginkan kejadian itu terulang kembali. Maka dari itu, sudah selayaknya pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan harga gas. Sudah saatnya fungsi pemerintah dikembalikan kepada kerangka idealnya, yaitu menjadi bagian dari institusi negara yang akan membawa rakyatnya menuju kepada kedamaian hidup yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan.
Paling tidak terdapat empat hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk kembali kepada kerangka idealnya yang terkait dengan kebijakan energi. Pertama, jangan sampai meletakkan pertimbangan krisis energi nasional dengan mengabaikan kepentingan rakyat dalam mengambil kebijakan energi.
Kedua, Konsisten dengan amanah undang-undang dasar bahwa setiap hasil bumi—termasuk sumber daya minyak dan gas—dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyatnya. Sehingga, kebijakan untuk mengekspor energi dengan harga murah yang selama ini dilakukan pemerintah sudah saatnya dihentikan.
Ketiga, jangan menjadikan himbauan penghematan energi dan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak dan gas sebagai andalan untuk mencegah difisitnya anggaran belanja negara, melainkan dengan memangkas besarnya anggaran anggota dewan yang selama ini sering mengorupsi uang rakyat.
Keempat, konsisten dalam melakukan pencarian dan pengembangan energi alternatif yang bisa menggantikan urgensi peran bahan bakar minyak dan gas.
Dengan konsisten kepada keempat hal tersebut, maka diharapkan pemerintah tidak lagi mengambil kebijakan energi yang menyulitkan seluruh rakyat Indonesia.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo
Meski harga tersebut sudah tergolong tinggi dan meresahkan para konsumen, tetapi para distributor di pasar turut memperparah keadaan dengan menjual gas yang berkisar antara Rp. 80.000 sampai Rp. 120.000.
Lebih rumit dari itu, stok gas di pasaran tiba-tiba raib. Permainan kotor para distributor dan minimnya produksi tabung gas 12 kg yang dikelola pertamina disinyalir sebagai penyebab utamanya. Hatta, konsumen gas yang jumlahnya semakin meningkat sejak kebijakan konversi minyak tanah ke gas dipaksakan pemerintah, kian sulit memperoleh bahan bakar gas.
Silang sengkarut persoalan gas tersebut tentunya mengakibatkan kepanikan yang tak hanya menimpa kalangan konsumen rumah tangga yang menggunakan gas sebatas keperluan dapur. Tetapi kalangan industri kecil juga akan menuai kerugian ekonomi yang cukup signifikan karena kenaikkan harga gas akan berdampak pada pembengkakan biaya produksi.
Realitas negatif yang menimpa rakyat tersebut sejatinya hanyalah buntut dari kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang dipaksakan pemerintah pada tahun 2007 lalu. Seakan-akan kebijakan tersebut merupakan umpan yang kemudian menggiring rakyat untuk memasuki perangkap-perangkap kebijakan berikutnya yang jauh lebih berat dan memaksa.
Ironisnya lagi, kebijakan menaikkan harga gas diambil pemerintah ketika rakyat sedang dalam kondisi tertekan secara ekonomi akibat naiknya harga bahan-bahan pokok, bahan bakar minyak, dan sarana transportasi.
Frustasi Sosial
Keadaan yang serba sulit ini dikhawatirkan akan membawa rakyat kepada fase frustasi sosial. Fase dimana rakyat akan menghalalkan segala cara demi mempertahankan hak hidupnya—baik secara personal maupun golongan—yang pada akhirnya akan berujung pada kerusuhan massal. Benih-benih frustasi sosial ini sejatinya sudah nampak pada maraknya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat, kelompok agama, gerakan mahasiswa, dan pelajar pada beberapa bulan terakhir ini.
Sebagai perbandingan, marilah kita tengok sejarah gelap di negeri ini pada sepuluh tahun silam ketika aksi penjarahan yang diikuti pembakaran, perkosaan, dan penganiayaan merebak secara massal di berbagai daerah. Meski pun hal itu kemudian berbuntut kepada gerakan reformasi 98, namun kerusuhan Mei 98 tetap merupakan borok sejarah bangsa Indonesia yang salah satu penyebabnya adalah naiknya harga-harga.
Pastinya, kita tidak menginginkan kejadian itu terulang kembali. Maka dari itu, sudah selayaknya pemerintah berpikir ulang untuk menaikkan harga gas. Sudah saatnya fungsi pemerintah dikembalikan kepada kerangka idealnya, yaitu menjadi bagian dari institusi negara yang akan membawa rakyatnya menuju kepada kedamaian hidup yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan.
Paling tidak terdapat empat hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk kembali kepada kerangka idealnya yang terkait dengan kebijakan energi. Pertama, jangan sampai meletakkan pertimbangan krisis energi nasional dengan mengabaikan kepentingan rakyat dalam mengambil kebijakan energi.
Kedua, Konsisten dengan amanah undang-undang dasar bahwa setiap hasil bumi—termasuk sumber daya minyak dan gas—dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyatnya. Sehingga, kebijakan untuk mengekspor energi dengan harga murah yang selama ini dilakukan pemerintah sudah saatnya dihentikan.
Ketiga, jangan menjadikan himbauan penghematan energi dan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak dan gas sebagai andalan untuk mencegah difisitnya anggaran belanja negara, melainkan dengan memangkas besarnya anggaran anggota dewan yang selama ini sering mengorupsi uang rakyat.
Keempat, konsisten dalam melakukan pencarian dan pengembangan energi alternatif yang bisa menggantikan urgensi peran bahan bakar minyak dan gas.
Dengan konsisten kepada keempat hal tersebut, maka diharapkan pemerintah tidak lagi mengambil kebijakan energi yang menyulitkan seluruh rakyat Indonesia.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo
0 Responses to “Kebijakan Energi yang Anti Rakyat”: