Pluralisme dan Orientalis

Haryanto*))
Pluralisme agama jika diklasifikasikan sedikitnya terdapat dua aliran besar, yang menurut Hamid Fahmi Zarkasy (ISLAMIA: Sep-Nov 2004 : 6) saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, yaitu : teologi global (global theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions).
Konsesepsi global theology pertama kali diungkapkan oleh John Hick yang berangkat dari fenomena global sehingga memaksa manusia beragama juga harus mengglobalkan iman sebagai knsekuensinya. Sedangkan konsep kesatuan transenden agama-agama dicetuskan oleh Fritjhof Schuon dan Rene Guenon yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Schuon Sayyed Hosein Nasr. Selain kedua aliran besar tersebut, ada satu tokoh yang cukup mempengaruhi pemikiran umat Muslim yaitu C.W. Smith, dia menyatakan bahwa Islam adalah ekspresi sikap kepasrahan. Dari sinilah kemudian pemikir-pemikir Islam liberal menjadikannya tokoh kunci dalam membawa agama Islam menjadi inklusif . Bahkan Cak Nur mendasari epistemologinya dengan menafsirkan Islam sebagai kepasrahan total kepada Allah swt.
Kedua konsepsi tersebut pada dasarnya membawa konsekuensi yang sama, yaitu menafikkan keyakinan tunggal kebenaran agama. Jika kita bawa paham pluralisme agama ke dalam Islam banyak para tokoh menolak mentah-mentah sebab menyalahi keyakinan aqidah Islam akan keotoritasan kebenaran Islam. Bahkan, karena ditakutkan membawa dampak buruk bagi umat muslim di Indonesia, MUI mengeluarkan fatwanya dengan mengharamkan pluralisme agama .
Agar lebih mendalam, perlulah kiranya mendeskripsikan konsep pluralisme agama yang diusung oleh John Hick dan Fritjhof Schuon agar mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mampu memberikan kesimpulan bagaimana sebenarnya paham itu dalam Islam.
Pengertian Pluralisme
Secara etimologi pluralisme agama terbagi menjadi dua kata, yaitu pluralism dan agama. Pluralism berarti jama' (lebih dari satu). Sedang menurut istilah berarti eksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing (Thoha, : 13). Sedangkan definisi agama menurut Zakki Faddad (Makalah Pondok) seraya mengutip ungkapan Frazer adalah kepercayaan kepada sesuatu hal yang ghaib.
Teologi Global (Global Theology)
Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa salah satu narasi besar pluralisme agama adalah buah tangan John Hick tentang teologi global. Dengan berlatar belakang pada tuntutan agama-agama untuk mengikuti semangat zaman globalisasi dan modernisasi, maka sudah selayaknya agama-agama mengglobalkan teologinya sebagaimana tuntutan masyarakat global.
Keterpengaruhan Hick terhadap teori astronomi Ptolomeus dan Copernicus cukup jelas terlihat dalam teorinya. Menurut Ptolomeus bumi merupakan pusat tata surya, sehingga Kristus diilustrasikan sebagai pusat dari seluruh agama. Uniknya, Hick berpendapat bahwa pendekatan Ptolemeus dapat digunakan juga untuk agama lain. Misalnya, agama Hindu dapat mengatakan orang-orang Kristen yang sholeh secara tersirat adalah orang-orang Hindu (Harold Coward, 1989 : 63).
Pendapat tersebut belumlah final, kemudian Hick mengadopsi pola pikir Copernicus, bahwa mataharilah sebagai pusat tata surya. Dari sini kemudian Hick mengambil kesimpulan bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah bukan agama. Dia adalah matahari, sumber asali dari bahaya dan kehidupan, yang digambarkan leh semua agama dengan caranya masing-masing (Ibid, 1989 : 64). Konsep yang diadopsi dari revolusi Copernican inilah yang disebut dengan global theolgy.
Untuk menyempurnakan konsepsinya itu John Hick menawarkan dengan lima sub tema yaitu : Normative religious pluralism, Soteriological religious Pluralism, epistemological religious pluralism, Alethic religious pluralism, dan deontic religious pluralism. Menurut Nirwan Syafrin, kelima bentuk pluralisme itu pada dasarnya ingin menyampaikan bahwa jalan menuju Yang Satu adalah variatif .
Dalam tesisnya, John Hick memiliki tujuan-tujuan tertentu didalamnya. Menurut Dr Anis Mali Thoha (2002 : 89), teolog Inggris ini sangat mengharap terjadinya revolusi teologis agama-agama, dimana tanggungjawabnya dibebankan kepada pemeluk agamanya masing-masing (khususnya para ulama dan teolog). Jalan yang diwarkan Hick adalah dengan melakukan passing over, yaitu dengan perjalanan atau pengembaraan spiritual melintasi batas atau sekat agama dan budaya untuk kemudian kembali ke agama yang asli dengan visi yang baru.
Kesatuan Transenden Agama-Agama
Cukup sulit memang menempatkan posisi Schuon dan Guenon, sebab kedua orang ini pada awalnya bukanlah seorang Muslim, tetapi kemudian dalam perjalanannya barulah mereka memeluk Islam. Mudahnya, mereka dapat digolongkan sebagai tokoh yang berada ditengah-tengah antara orientalis dan oksidentalis.
Dengan memakai pendekatan religius filsofis, konsep kesatuan agama-agama cenderung mengetepikan agama dan berusaha mempertahankan tradisi yang ada didalam agama-agama (ISLAMIA, edisi III : 6).
Menurut Schuon, agama-agama akan bertemu pada satu dimensi yang dinamainya dimensi esoteris . Keributan-keributan antar agama yang terjadi pada saat ini disimpulkan hanya pada dimensi eksoteris . Sebab, ketika seseorang memasuki alam esoteris maka manusia akan mengesampingkan egonya dan terganti dengan ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan (Ibid, Edisi III : 16). Sedangkan pada wilayah eksoteris manusia banyak terjebak pada simbol-simbol keagamaan yang sebetulnya bukan substansi dari agama.
Respon Umat Muslim
Dalam menanggapi wacana pluralisme agama, umat Muslim terpecah menjadi dua golongon, yaitu yang menerima dan menolak. Uniknya, kedua golongan ini sama-sama menjustifikasi pendiriannya dengan ayat al-Qur'an. Golongan yang menolak bersandar pada Q.S. 3 : 19 & 85, 4 : 144, 5 : 3. kemudian golongan yang menerima bersandarkan pada Q.S. 2: 256, 5: 69, 6: 108, 109: 6.
Kesimpulan
Secara essensial, kedua konsep yang diusun oleh John Hick dan Fritjhof Schuon tidaklah berbeda, yaitu agama-agama berpusat pada satu titik yaitu manifestasi dari Yang Mutlak. Sehingga cndong untuk membenarkan semua agama-agama.
Lantas bagaimana dengan Islam dengan keotoritasan kebenarannya yang menganggap bahwa hanya Islam-lah agama yang benar. Kaitannya dalam hal ini, ternyata umat Muslim terpecah menjadi dua golongan yang saling bertolak belakang dengan menyandarkan pendiriannya dengan ayat al-Qur'an.
Ini adalah permasalahan besar tentang keotentikan al-Qur'an, sebab tidak mungkin al-Qur'an memberikan dualitas penegasan terhadap pluralisme agama.
Berdasarkan diskusi kelas, ternyata ayat-ayat suci yang dikutip oleh para pendukung pluralisme agama sebetulnya adalah sebuah kekeliruan. Sebab ayat-ayat tersebut prinsipnya membenarkan kepluralitasan agama-agama bukan membenarkan pluralisme.
Dari gambaran singkat tulisan ini, sekiranya kita sebagai orang yang beriman sudah dapat memberikan kesimpulan bagaimana kita harus memposisikan wacana pluralisme agama.
Daftar Pustaka
Coward, Harold. 1989. Pluralisme; Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta, Kanisius.
Malik, Thoha, Anis. 2002. Tren Pluralisme Agama. Depok, Perspektif.
MAJALAH ISLAMIA. Edisi III. INSISTS & Khairul Bayan
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Pluralisme dan Orientalis”:

Leave a comment