Menanti Kebijakan Pendidikan Gratis

Haryanto*))
Pengadaan Pendidikan Gratis (PG) atau sering disepadankan dengan istilah education for all (pendidikan untuk semua) sebenarnya adalah bentuk realisasi konkret dari amanah konstitusi yang merujuk kepada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, bahwa salah satu tujuan nasional pemerintah Indonesia adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Penegasan tersebut kemudian diturunkan dalam batang tubuh Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (Ayat 1) dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Ayat 2). Lalu ditajamkan kembali melalui UU No 20/2003 tentang Sisdiknas.
Dengan demikian, ketika masih terdapat anak Indonesia yang tidak berkesempatan mendapat pendidikan dasar (dalam konteks kekinian adalah jenjang SD hingga SMA) dan pemerintah tidak menyelenggara-kan PG pada tingkat pendidikan dasar merupakan bagian dari perilaku pelanggaran hukum karena telah inskonstitusi.
Pemkot Solo adalah salah satu bagian dari birokrasi pemerintah yang telah melakukan pelanggaran hukum tersebut. Karena hingga saat ini, PG sama sekali belum terejawantahkan dalam kebijakan maupun praktek kependidikan. Pemkot Solo baru mampu mencanangkan Solo sebagai kota vokasi, yang sampai saat ini pun hasilnya belum dapat dirasakan masyarakat secara luas.
Bahkan, fenomena pendidikan kontemporer di Kota Solo justru memberikan gambaran yang amat kontradiktif dengan wacana PG. Penandanya adalah masifnya pendirian sekolah berlabel terpadu dan sekolah bertaraf internasional yang dengan jelas mencitrakan bahwa mendapatkan pendidikan memang harus di bayar rakyat dengan harga mahal.

Perbandingan
Hingga saat ini, di Indonesia hanya terdapat lima kabupaten yang menerapkan kebijakan populer (PG) tersebut, yaitu Sukoharjo-Jawa Tengah, Mimika-Papua, Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, Jembrana-Bali, dan Sragen-Jawa Tengah. Tidak meratanya pelaksanaan PG sebenarnya tidak semata-mata berangkat dari ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan amanah konstitusi, tetapi juga sebagai konsekuensi atas penerapan kebijakan otonomi daerah (Otda). Karena dalam konsep Otda, setiap daerah memiliki wewenang untuk mengelola potensi wilayahnya masing-masing.
Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya pengadaan PG tidak mungkin dicerap secara serentak oleh setiap pejabat pada tiap-tiap daerah. Belum lagi karena persaingan kepentingan politik yang anti rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak mencukupi untuk mengadakan PG yang secara materiil membutuhkan anggaran besar.
Dalam kasus di Kabupaten Sukoharjo, pengadaan PG membutuhkan pengalokasian dana sebesar Rp 23,9 miliar yang diambil dari APBN dan APBD. Itu pun baru mencukupi kebutuhan untuk menggratiskan SD hingga SMA yang berstatus negeri saja.
Pemkot Solo yang dalam hitungan PAD lebih besar jika dibandingkan Sukoharjo yang hanya Rp 27 miliar per tahun, seharusnya dapat lebih berani dalam mengambil kebijakan PG. Dengan demikian, yang perlu dilakukan oleh Pemkot Solo saat ini adalah mengkondisikan pejabat yang terkait dengan dunia kependidikan untuk merumuskan pengadaan PG. Karena pengambilan kebijakan PG akan mungkin dilakukan jika terdapat dukungan dari semua pihak, termasuk sekolah-sekolah yang akan digratiskan.
Sebagai bekal bagi Pemkot Solo, kiranya penting untuk memperhatikan tiga poros utama kesuksesan pengadaan PG, yaitu: Pertama, konsistensi elite politik dalam menjalankan amanah konstitusi. Kedua, Komitmen moral dan etika pejabat di semua jenjang, sampai tingkat sekolah. Ketiga, Memunculkan kesadaran bahwa mengurus pendidikan dan mengurus sekolah itu merupakan pengabdian demi terwujudnya manusia yang cerdas dan bebas.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Menanti Kebijakan Pendidikan Gratis”:

Leave a comment