Hidup Merdeka Atau Mati Mulia

Haryanto*))
Peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang keenam puluh tiga telah diambang mata. Bendera merah putih telah berkibar dengan gagah di seantero nusantara. Dan, masyarakat di seluruh negeri telah mempersiapkan upacara seremonial hari kemerdekaan dengan diikuti oleh aneka perlombaan dari anak-anak hingga para renta.
Kita bahagia dengan datangnya hari kemerdekaan. Penyambutan dan perayaan yang meriah tentunya menjadi bagian yang penting dalam memaknai dan memperingati momentum bersejarah ini. Sebab akan terlihat hambar ketika di hari kemerdekaan seluruh rakyat menyikapinya dengan dingin tanpa perayaan.
Namun, apakah pemaknaan kita terhadap hari kemerdekaan hanya sebatas itu? Kemudian setelah usai gegap gempita kemerdekaan, ketika bendera kebangsaan telah diturunkan, semangat kemerdekaan yang membara turut hilang ditelan oleh rutinitas kehidupan yang penuh dengan trik-trik penjajahan, seperti, mengambil paksa hak orang lain, membunuh, mencuri, korupsi atau membiarkan kekayaan alam di negeri ini dikuras oleh perusahaan asing yang kejam.
Ironisnya, meski wacana untuk mengkontekstualisasikan nilai kemerdeka-an telah sering didengungkan, ternyata makna merdeka yang esensial masih belum terrealisasikan secara nyata pada masyarakat. Masih begitu banyak orang-orang di negeri ini yang sulit untuk mendapatkan makan yang layak, pendidikan yang layak, dan pelayanan kesehatan yang layak. Seharusnya, ketika bangsa ini benar-benar merdeka secara esensial, maka kita tidak akan menyaksikan realitas-realitas sosial yang timpang tersebut.
Kenyataan itu telah menggambarkan bahwa makna kemerdekaan telah terreduksi dan nilai-nilai patriotik yang terkandung di dalamnya telah tercerabut dari akar sejarahnya. Dengan kata lain, pada saat ini kita sedang merayakan beramai-ramai sebuah hari kemerdekaan yang semu (pseudo freedom day).
Dalam pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, yang berarti kemerdekaan bagi tiap-tiap warga negara yang ada di dalamnya. Artinya, warga negara wajib dilindungi dan dijamin kehidupannya oleh kekuasaan negara—melalui pemerintah—dengan menerapkan sistem pemerintahan yang baik (good government system).

Mewaspadai Ancaman
Dalam konteks kekinian bangsa Indonesia sedang dihadapkan dengan dua persoalan besar, yaitu globalisasi dan korupsi. Kedua hal itu merupakan faktor utama yang menyebabkan rakyat Indonesia jatuh pada kubangan nestapa yang amat menyedihkan (kemiskinan dan kehilangan nilai-nilai kemerdekaan).
Globalisasi merupakan manifestasi utuh atas ideologi liberalisme perekonomian dan kebudayaan yang telah lama dikenal sebagai ideologi yang berpihak kepada para pemodal dan pemilik kekuasaan. Cengkraman globalisasi sudah begitu kuat menancap di negeri kita. Mengalirnya arus informasi ala Barat dan dikuasainya beragam sumber daya alam di Indonesia oleh pemodal-pemodal asing adalah beberapa di antaranya.
Menguatnya arus informasi ala Barat—khususnya melalui internet dan media massa—sejatinya telah mengambil peran dalam mengaburkan identitas kebangsaan kita. Banyak orang di negeri ini yang tergila-gila terhadap sistem dan barang yang diproduksi oleh Barat, baik itu sistem politik, sistem ekonomi, gaya hidup, makanan, pakaian, hingga cara menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih jauh dari itu, perusahaan-perusahaan asing dengan asyiknya mengeksploitasi sumber daya alam—seperti minyak bumi, batu bara, dan timah—di Indonesia; mereka mendapatkannya dengan harga yang begitu murah. Negara Indonesia yang seharusnya menguasai seluruh kekayaan alam di tanah air dan mendistribusikannya secara adil kepada rakyat, ternyata tidak mampu berbuat banyak, bahkan terkesan membiarkan.
Ancaman globalisasi tersebut sebenarnya merupakan bentuk penjajahan yang nyata bagi Indonesia. Namun, penjajahan globalisasi tersebut kian diperparah oleh pengkhianat-pengkhianat yang terlahir di negeri sendiri, yaitu para koruptor.
Koruptor yang memanfaatkan jubah kekuasaan di birokrasi negara, sebenarnya telah melakukan konspirasi untuk menghancurkan negara Indonesia, yaitu dengan merusak sistem perekonomian. Mereka (koruptor) mengganyang uang triliunan rupiah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan sebagian rakyat Indonesia yang miskin.
Kedua ancaman di atas seharusnya menjadi warning bagi kita semua yang sekarang ini sedang merayakan pseudo freedom day. Ancaman tersebut harus segera dimusnahkan agar bangsa Indonesia bisa merdeka secara esensial.
Maka dari itu, negara kita harus kuat. Kuatnya negara tentunya hanya bisa ditegakkan dengan semangat patriotisme sebagaimana yang dahulu pernah disemaikan oleh para pejuang kemerdekaan. Minimal jargon para pejuang yang berupa “hidup merdeka atau mati mulia” bisa kita ejawantahkan dalam konteks kekinian, yaitu dengan melenyapkan praktek korupsi dari birokrasi dan melawan globalisasi.
Marilah kita simak pidato Soekarno, bapak proklamasi, dengan lantang beliau mengatakan “… Kita dan bersama orang Indonesia lain akan senang hati untuk mendengarkan Indonesia Raya. Bahkan seekor cacing kecil pun punya rasa cinta untuk kemerdekaan.”
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Hidup Merdeka Atau Mati Mulia”:

Leave a comment