PEMERINTAHAN KAMPUS HARUS BERSIKAP KRITIS

Haryanto*))
Pola pergerakan yang diterapkan mahasiswa di kampus-kampus pada dasarnya merupakan miniatur dari sebuah tata kenegaraan yang ideal. Paling tidak struktur pemerintahan di kampus (student government) terdiri dari seorang presiden mahasiswa yang dibantu beberapa mentri, gubernur pada setiap fakultas, dan camat pada setiap jurusan. Sebagai penyalur aspirasi mahasiswa, biasanya juga didirikan organisasi-organisasi yang berorientasi media, atau lembaga yang berkonsentrasi terhadap pengembangan sumber daya mahasiswa yang bersifat independen.
Pada dasarnya disinilah letak pendidikan politik dasar yang nantinya akan berperan besar terhadap perubahan suatu bangsa. Dengan kemurnian idealismenya yang belum tercemar dengan polusi-polusi kepentingan sebagaimana persaingan yang terjadi di aras politik praktis akan mendorong mahasiswa ke arah demokratisasi yang ideal. Selain itu, nuansa kritis sebagai cermin dari pola demokrasi juga dapat terlihat dengan jelas pada kaum muda terdidik ini.
Karena itulah, mahasiswa tidak sepatutnya hanya ongkang-ongkang menikmati jabatan (berlagak aktifis kampus), apalagi melakukan korupsi kecil-kecilan dari sebuah proyek kegiatan. Kemudian yang juga menjadi penting bagi mahasiswa adalah jangan sampai terjebak dalam penjara study oriented yang dapat memasung segala potensi kreatifitas.

Peran Kritis Mahasiswa
Untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi kampus yang ideal dengan perwujudan sikap kritis, maka, paling tidak mahasiswa harus mampu membaca dan menyikapi realitas yang terjadi di lingkungan kampus, khususnya terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pimpinan universitas, dan mengambil sikap tegas mengenai kinerja dosen-dosen yang "bodoh" dan malas dalam memberikan pengajaran.
Dalam menghadapi kasus pertama, para mahasiswa—khususnya yang duduk dalam struktur organisasi—sebelumnya harus melengkapi diri dengan perangkat pisau analisa yang tajam. Bekal ini dimaksudkan agar mahasiswa dapat melakukan pembacaan secara komprehensif, sehingga dapat memilah mana kebijakan yang mesti diberikan respon kritis dan mana yang tidak. Misal, yang biasanya meresahkan mahasiswa adalah kebijakan tentang kenaikan uang SPP. Dalam hal ini penganalisaan dapat dimulai dengan menjawab kenapa SPP harus dinaikkan? dan apa implikasinya kepada mahasiswa?
Ketika telah memiliki pemahaman yang mendalam, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah mengklarifikasi kebijakan tersebut kepada pimpinan universitas. Kemudian, jika pejabat elite kampus masih tetap bersikukuh terhadap keinginan yang merugikan mahasiswa, maka tidak ada salahnya sesekali mahasiswa berdemonstrasi untuk menekan kekuasaan yang otoriter.
Kemudian dalam melakukan penyikapan terhadap kasus dosen-dosen "bodoh" dan malas dapat dilakukan dengan dialog terlebih dahulu kepada dosen terkait yang diketahui struktur diatasnya, seperti Dekan. Disini mahasiswa dapat memberi tawaran konkret kepada dosen tersebut, yaitu, keluar dari kampus atau mengajar dengan baik.
Ketegasan ini mesti dilakukan, sebab fenomena dosen-dosen malas sudah menjamur bahkan menjadi tradisi di negeri kita. Terlambat atau tidak masuk menjadi hal yang wajar dilakukan oleh para dosen. Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, lantas bagaimana nasib mahasiswa di masa depan?
Kedua kasus di atas hanyalah contoh sederhana yang paling sering dialami oleh mahasiswa di tanah air. Selain itu, kesigapan mahasiswa terhadap realitas-relitas lainnya juga sangat penting, seperti menyikapi issu-issu kebangsaan atau issu-issu kerakyatan. Jelasnya, mahasiswa harus terus bergerak untuk melakukan pendinamisasian kekuasaan—baik itu yang berada di luar atau di dalam kampus—demi mewujudkan demokratisasi yang sebenar-benarnya.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo




0 Responses to “PEMERINTAHAN KAMPUS HARUS BERSIKAP KRITIS”:

Leave a comment