Kegamangan Terhadap Agama

Qahar Muzakir*
Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran tokoh-tokoh sosial kritis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemikiran sebagian besar aktivis mahasiswa. Di satu sisi pemikiran mereka membuka cakrawala terhadap penindasan terselubung dan profesional yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita; tetapi di sisi lain acapkali ditemukan justru menimbulkan kegamangan keyakinan teologis. Kegamangan tersebut diperkuat dengan fakta-fakta sosial bagaimana agama menjadi komoditas politik kekuasaan; korban eksploitasi ekonomi dan korban bencana diobati dengan bersabar dan terminologi tentang ujian keimanan; dan bagaimana praktik-praktik konflik sosial hadir justru atasnama menegakkan kebenaran agama. Dalam konteks sosiologis ini, benar yang disampaikan Marx bahwa agama itu candu. Candu yang melenakan dan membungkan masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, penting untuk dipahami bahwa kenyataan sosiologis tidak dapat menjadi premis untuk menarik suatu kesimpulan mengenai kebenaran teologis. Maka kita harus menempatkan premis-premis fakta sosiologis, untuk menarik kesimpulan sosiologis. Bahwa praktik keagamaan yang dilakukan –secara sosiologis- justru menempatkan agama tidak sebagai risalah keselamatan yang mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian; tetapi justru menjadi kamuflase untuk melanggengkan kekuasaan, melicinkan jalannya eksploitasi ekonomi, membungkam upaya-upaya perjuangan hak, hingga menjadi legitimasi kebenaran ideologis terhadap tindak kekerasan terhadap kelompok yang berseberangan. Bahkan, kita juga perlu mempertanyakan peran pemuka agama yang merubah bulan Ramadhan sebagai pengekang hawa nafsu justru menciptakan masyarakat yang over-konsumtif. Fakta-fakta tersebut dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan bahwa keyakinan manusia yang bersifat teologis belum mampu menghadirkan perilaku yang “benar” sesuai agama yang diyakini. Tetapi tidak untuk menarik kesimpulan bahwa aspek teologis agama tersebut yang tidak benar.
Fakta-fakta yang demikian dimungkinkan terjadi ketika agama dipahami dan ditempatkan sebatas sebagai sandaran dalam kehidupan. Menjadi sandaran manakala masyarakat tertimpa bencana untuk bersabar dan berdoa. Membangun refleksi moral tentang dosa dan ujian keimanan. Menjelang perhelatan pemilihan umum, bagaimana janji Tuhan akan merubah kondisi suatu masyarakat bila masyarakat mau merubah nasibnya sendiri menjadi legitimasi pengharapan baru yang ditanamkan oleh pemuka agama untuk mengarahkan suara massa dalam pencoblosan.
Tidak selayaknya menempatkan agama sebatas sandaran atau bahkan benteng pertahanan moral. Agama harus diajarkan, dipahamkan dan dibiasakan untuk menjadi motor penggerak sosial. Bukan motor penggerak untuk menebarkan kekerasan, melegitimasi eksploitasi atau modal-modal legitimasi kekuasaan politisi busuk; akan tetapi menjadi penggerak untuk menyuarakan kebenaran, menegakkan keadilan sosial dan berjuang mewujudkan kesejahteraan. Karena apa artinya keyakinan beragama ketika kebenaran-kebenaran risalah-Nya tidak mampu menjadi pendorong untuk berbuat kebaikan? Hanya menjadi alat pemuas pribadi untuk meyakinkan dirinya tentang surga? Bukankah itu berarti Tuhan telah mati (baca: dalam diri manusia) sebagaimana diungkap Nietzhe. Wallahua’lamu bi Shawab.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com

0 Responses to “Kegamangan Terhadap Agama”:

Leave a comment