Untung rugi pilpres satu putaran

Oleh: Agung Suseno Seto*
Suhu politik menjelang detik-detik pemilihan presiden [pilpres] 8  Juli 2009 mendatang kian memanas. Lantunan irama kampanye tim sukses masing-masing kandidat calon presiden dan calon wakil presiden tidak jarang saling berbenturan. Bahkan, kesannya tampak saling memojokkan dan berbau fitnah.
Politik memang tanpa kenal toleransi dan kesetiakawanan. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Etika politik seakan berada di aras paling bawah dan tertindih oleh berbagai kepentingan. Untuk memuluskan jalan, apapun dimanfaatkan, walau harus mengorbankan keberagaman. Proses politik dengan menjunjung tinggi etika politik tidaklah penting. Kemenangan adalah nomor wahid.  
Yang tak kalah gonjang-ganjingnya lagi adalah pemanfaatan tradisi survei. Lembaga-lembaga survei kini mulai digugat dan diragukan keilmiahannya. Hasil survei berjalin kelindan dengan kepentingan kekuasaan. Kemajuan survei politik dengan perangkat analisa yang makin maju terkontaminasi oleh intervensi politik.
Ramai-ramai lembaga survei mempublikasikan hasil surveinya terkait pilihan politik publik terhadap capres dan cawapres. Beberapa survei menunjukkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono pada posisi teratas, bahkan lebih dari  60%.
Terinspirasi dari hasil survei itu, pilpres satu putaran dijadikan modal kampanye oleh tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Slogan kampanye satu putaran makin masif lagi setelah partner koalisi SBY-Boediono, Partai Kebangkitan Bangsa [PKB],  meminta kiayi khos [langitan] disekitar PKB untuk berijtihad irfani [terawang intuitif]. Seperti banyak diberitakan, hasil terawanangan kiayi khos PKB adalah pilpres hanya satu putaran yang menominasikan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang.  
Slogan pilpres satu putaran tentu tidak bisa dipersalahkan. Sebab, tidak ada aturan yang secara eksplisit dan tegas melarangnya. Malahan satu putaran memberi nilai lebih seperti keuntungan ekonomi, sosial, dan politik. Disamping penghematan anggaran negara dan percepatan konsolidasi demokrasi, pilpres satu putaran menjadi cermin kokohnya legitimasi politik dengan suara mayoritas.
Proses
Tentu persoalannya bukanlah nilai lebih, untung rugi dan legitimasi politik semata, tapi pada proses. Sudah menjadi rahasia umum, birokrasi di negeri ini acak kadut dan awut-awutan. Salah satu dampaknya, kekacauan daftar pemilih tetap [DPT]. Pemilihan legislatif lalu memperlihatkan kekacauan itu. Bahkan, menjelang pilpres mendatang pun kabar miris terasa santer terkait persiapan daftar pemilih sementara [DPS] apalagi DPT.
Yang seharusnya dilakukan bersama dan dibesar-besarkan bukanlah mengangkat tinggi-tinggi slogan pilpres satu putaran, tapi bagaimana melewati proses dengan elegan seperti mengawal kepastian DPS atau DPT dan menjungjung tinggi etika politik.
Akibat kisruh DPT dan berpolitik tanpa etika, alih-alih mempercepat konsolidasi atau makin kokohnya dukungan politik, yang terjadi malah sebaliknya. Yakni, delegitimasi politik karena banyak yang golongan putih [golput], aksi protes marak,  dan krisis politik lainnya. Artinya,  berapapun kalkulasi suara politik yang diraup namun dalam proses alpa dari etika politik, kemenangan tidaklah berarti. Lebih dari itu, hasil tanpa proses hanya akan menyisakan persoalan baru yang berpotensi memecah belah.
Belakangan ini kerap terdengar media massa membeberkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tim sukses. Politik uang [money politic] dan politisasi agama [jilbab, status haji, agama yang dianut] menjadi contoh. Agama dipelintir menjadi komoditas menggiurkan walau berlawanan dengan etika politik. Tanpa mengindahkan etika politik serta tidak hati-hati menggunakan slogan dan jargon agama, bangsa ini akan mudah tersekat, terpola, dan rentan pecah belah. Keberagaman dalam bingkai kebhinekaan pun akhirnya terkubur.   
Keberagaman dalam bingkai kebhinekaan mutlak adanya dan tidak bisa ditawar-tawar. Pilpres harus diletakkan diatas keberagaman, termasuk keberagaman kepentingan. Pemaksaan pilpres tanpa mengindahkan keberagaman apalagi dengan cara intimidasi, pemaksaan dan kekerasan hanya akan mengembalikan bangsa ini seperti era orede baru [Orba].
Dalam setiap momentum pemilihan presiden, kekuasaan Orba memanfaatkan tangan besinya untuk mengabsolutkan hasil pemilihan dengan mengubur keberagaman kepentingan. Hasilnya, partai penguasa selalu unggul. Rekayasa, manipualsi, dan pembohongan publik identik dengan pilpres era Orba. Kekuasaan Orba telah mengubur dalam-dalam keberagaman bangsa.     
Belajar dari Iran
Sangat bijak kiranya jika pesta demokrasi baru-baru ini di negari paramullah, Iran, dijadikan cermin. Pemenangnya adalah kandidat incumbent, Ahmadinejat dengan menggondol suara lebih dari 60%, sayang, krisis politik mewarnai pilpres di Iran dan kini menjadi tontonan dunia internasional. Kabar yang ramai diberitakan, krisis politik dilatari ketidakpuasan lawan politik terhadap proses pemilihan karena dianggap curang.
Akankah pilpres di negeri mayoritas muslim dan mengklaim berbudaya tinggi ini akan menjelma seperti penyelenaggaraan pesta demokrasi di Iran? Jawabannya tergantung sejauhmana proses politik sebagai bagian dari proses politik dijunjung tinggi. Tentu tidak ada yang tidak sepakat jika pilpres satu putaran, tapi dengan proses yang elegan, jurdil [jurdil], dan demokratis seratus persen [100%].   
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Untung rugi pilpres satu putaran”:

Leave a comment