Suara terbanyak dan momentum kebangkitan kiayi

Oleh: Agung Suseno Seto*
Menyambut pemilihan umum (pemilu) 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan politik penting. Yaitu, dibatalkannya penentuan calon legislatif (caleg) tepilih yang sebelumnya melalui nomor urut menjadi suara terbanyak.
Perubahan itu dinilai sebagian kalangan lebih mengedepankan semangat demokrasi kedaulatan rakyat. Sebab, keterpilihan caleg tidak lagi didominasi oleh partai politik (parpol), namun suara rakyatlah yang menentukan. Artinya, apa dan berapapun nomor urut yang disandang oleh caleg, apakah nomor sepatu atau nomor terhormat, keterpilihannya ditentukan seberapa banyak masyarakat memilih.
Oleh karenanya, kedekatan caleg dengan masyarakat menjadi taruhan. Hanya caleg yang populis dimata calon pemilihlah yang kelak meraup suara. Pada konteks ini, caleg berlatar belakang aktris dan agamawan atau kiayi berpotensi dipilih oleh masyarakat.
Popularitas aktris terbangun lewat akting, suara merdu, maupun goyangannya. Sedangkan agamawan atau kiayi melalui ceramah-ceramah, pengajian, pendidikan agama, atau kedekatan secara emosional dan kultural. Pun, ulama selama ini dipandang sebagai tempat curahan hati (curhat) masyarakat dalam masalah agama, suritauladan, maupun penjaga moral dan spiritual.
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), dua organisasi masyarakat (ormas) yang identik dengan gerakan sosial kultural, keagamaan, dan pendidikan adalah basis lahirnya agamawan atau kiayi. Keniscayaan lahirnya agamawan merupakan konsekuensi logis karena kedua ormas ini menyandang sebagai ormas agama.
Kiayi dan politik
Agamawan atau kiayi adalah ikon kultural dimata masyarakat. Ikon kultural ini ditandai dengan kedekatan secara emosional dan menjadi sosok-sosok yang digugu (ditiru).
Relasi diatas tentu berbeda dengan relasi yang terjadi antara masyarakat dengan pejabat publik yang identik dengan ikon struktural.
Antara ikon kultural dan struktural sama-sama memiliki tanggung jawab atas persoalan-persoalan masyarakat. Jika ikon struktural berkaitan dengan birokrasi, administrasi, dan kebijakan publik, sementara ikon kultural lebih pada persoalan-persoalan diluar itu.
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), imigrasi, sertifikat atau surat tanah, dan persoalan-persoalan lain yang ada kaitannya dengan pemerintahan adalah contoh relasi ikon struktural. Adapun peran agamawan atau kiayi seperti pengajian, ceramah, nasihat moral, akhlak, dan spiritual. Menjadi pemimpin pondok pesantren, menjadi imam sholat, khutbah, dan aktivitas-aktivitas keagamaan lainnnya adalah contoh konkrit wilayah garapan agamawan atau kiayi. 
Melalui kedekatan secara kultural dan emosional itulah, caleg berlatar belakang agamawan atau kiayi lebih populer dibanding caleg yang yang berlatar belakang akademisi, kaum profesional, atau pun pengusaha. Ditambah lagi dengan modal uang yang dimiliki caleg agamawan atau kiayi, popularitas akan tambah melejit. Kedekatan inilah yang tidak dimiliki oleh caleg berlatar belakang pengusaha atau pun kaum profesional. 
Bukan tidak mungkin, ketentuan suara terbanyak yang memberi angin segar bagi tokoh kultural masyarakat menjadi momentum bangkitnya kejayaan agama atau kiayi diranah politik struktural. Sebuah monetum kebangkitan setelah sekian lama peran agamawan atau kiayi terpinggirkan dari pentas politik kekuasaan.
Kenyataan itu tentu berbeda dengan sejarah agamawan atau kiayi dimasa silam dimana peran agamawan atau kiayai tak bisa dilepaskan dari aspek politik. Artinya, agamawan atau kiayi dengan politik ibarat setali tiga uang. Peminggiran peran kiayi itu juga dibarengi dengan perubahan arah gerakan perjuangan ormas baik NU maupun Muhammadiyah yang sebelumnya cenderung dekat dengan gerakan sosial politik kekuasaan kearah yang lebih berorientasi pada gerakan sosial kultural.
Ormas merupakan wadah artikulasi peran kiayi dalam mendidik dan membimbing umat. Dan melalui ormas ini pula, gerakan dakwah keagamaan, sosial, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menemukan momentumnya. Tak elak, pergeseran itu melepaskankan kiayi dari gesekan-gesekan kepentingan, konflik, dan lebih bisa berkonsentrasi mengurusi umat.
Dakwah umat  
Sejak dikumandangannya reformasi pasca tumbangnya kepemimpinan orde baru (orba), geliat agamawan atau kiayi tampaknya mulai merangkak menjajaki dan berorientasi pada perjuangan politik kekuasaan. Sebagian kiayi tampak mengorganisir diri untuk kembali lagi terlibat dalam percaturan politik struktural kekuasaan.
Partai-partai Islam bermunculan. Bahkan, menjelang pemilihan umum (pemilu) 2009 kedepan, salah satu partai didirikan dengan menggunakan slogan dan nama kiayi dengan harapan bisa menjadi wadah perjuangan umat yang dipelopori oleh kiayi.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, ikut andilnya kiayi dalam percaturan politik struktural kekuasaan memberi pengalaman pahit dan berdampak pada pengabaian terhadap dakwah umat. Begitu juga dengan kiayi NU dan Muhammadiyah. Pergumulannya dengan politik struktural kekuasaan memeras banyak keringat, menguras tenaga, dan hampir-hampir menghabiskan potensi yang dimiliki. Pada akhirnya, khittah perjuangan awal didirikannya ormas ini diabaikan.
Tak hanya itu, selain juga diabaikannya dakwah umat, musuh-musuh pun bergentayangan. Ormas NU dan Muhammadiyah bukan lagi milik umat dan semua, tapi milik gologan tertentu.
Oleh karenanya, penentuan terpilihnya wakil rakyat melalui suara terbanyak yang berpotensi membius partisipasi agamawan atau kiayi yang ada di NU dan Muhammadiyah kemungkinan besar menjadi titik tolak kembalinya kedua ormas ini dalam kancah pergulatan politik praktis. Karena merasa dekat dengan umat, ketentuan suara terbanyak adalah momentum yang pas bagi agamawan atau kiayi untuk mencicipi dan merasakan kembali jabatan-jabatan publik yang dianggap sebagai media perjuangan umat.
Banyak kalangan menilai bahwa politik kekuasaan adalah wilayah atau tempat yang sesak dan panas. Mata indra bahkan mata hati seakan dibutakan sehingga sulit mendeteksi mana kawan dan mana lawan. Tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada adalah kepentingan.
Kepentingan atas nama kepentingan adalah berhala utama yang kerap dikedepankan biarpun harus memakan korban. Maka, popularitas agamawan atau kiayi yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dapat menjadi jembatan penghantar menuju jurang permusuhan dan konflik.   
Ormas NU dan Muhammadiyah, sebagai ormas yang banyak bersarang agamawan atau kiayi yang juga dinobatkan menjadi caleg, sejatinya masing-masing ormas sejak dini memberi warning kepada anggotanya yang jadi caleg agar berpolitik secara santun dan menjujung tinggi nilai-nilai moralitas politik. Dengan berpijak pada moralitas, kekisruhan dan pengalaman-pengalaman kelam yang pernah terjadi setiap menjelang pemilu tidak akan terulang.  
Lebih-lebih menjadikan ormas sebagai tunggangan politik, demi menjaga konsistensinya sebagai gerakan dakwah sosial kultural, menyeret-nyeret ormas dalam ingar-bingar politik praktis sama saja menceburkan ormas dalam lautan permusuhan dan konflik golongan.   
Pemilu damai dan menghasilkan celeg terpilih yang kredibel, kapabel, dan berkualitas adalah cita-cita bersama untuk kemajuan bangsa, bukan malah menggiring kita dalam luapan konflik.
Akhirnya, semua tentu khawatir jika saja suara terbanyak menginspirasi banyak agamawan atau kiayi karena merasa dekat dengan umat ambil bagian dalam konstelasi pemilihan wakil rakyat dan tidak dilandasi moralitas politik santun dan bersahaja, antar kiayi bisa saling berebut pengaruh. Konflik pun tidak hanya meluap antar kiayi, namun juga merambat pada ranah grass root. Cita-cita kedaulatan rakyat pun berubah menjadi lautan konflik politik. 
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Suara terbanyak dan momentum kebangkitan kiayi”:

Leave a comment