Over acting Presiden

Oleh: Agung Suseno Seto
Kegusaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan adanya gerakan politik yang menunggangi gerakan sosial saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Rabu lalu (9/12) terjawab sudah. Konstelasi politik nasional tidak menunjukkan gelagat penggulingan kekuasaan. Kekhawatiran Presiden pupus dan tidak terbukti. Data-data yang konon bersandar pada informasi yang didapat dari kerja-kerja intelejen invalid alias tidak tepat.
Sebagaimana banyak diberitakan, aksi damai peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dihampir semua penjuru Tanah Air oleh berbagai elemen mahasiswa, LSM, ormas dan sebagainya tanpa dibumbui warna konflik atau kerusuhan berarti. Bukan hanya jawaban buat Presiden atas kegusarannya itu, tapi juga memoles perasaan lega bagi masyarakat yang tetap menginginkan kehidupan yang konstitusional, damai dan harmonis.
Kendati demikian kecemasan Presiden itu membekaskan kegamangan psikologis dan gesekan tidak nyaman terkait relasinya dengan masyarakat, antara Presiden dengan tokoh-tokoh gerakan sosial moral, aktivis, intelektual, dan lain-lain yang menaruh perhatian dalam mendorong upaya pemberantasan korupsi. Bahkan dilevel elit-elit politik pun rawan bertupuknya sikap curiga serta konflik kepentingan.
Syak wa sangka
Dibalik ketakutan Presiden itu pun menyimpan aroma “tuduhan”, ilusi prejudice, terhadap para aktivis gerakan sosial moral antikorupsi. Ada semacam kesenjangan konsepsi dan mindset bersama dalam pemberantasan korupsi. Presiden hendak mengabaikan perjuangan from below (dari bawah). Padahal, tidak bisa tidak, pemberatasan korupsi meniscayakan kesepadanan mindset antara Presiden dan masyarakat, spirit kebersamaan, dan saling kepercayaan utuh. Oleh karenanya, Presiden perlu mengklarifikasi sikap “paranoid”-nya yang terlanjur menorehkan kekesalan masyarakat bahkan apatisme.
Kecaman sementara kalangan atas ketakutan Presiden itu tampak ada benarnya. Seyogyanya Presiden mendukung gerakan sosial moral di Hari Antikorupsi Sedunia, bukan malah dijatuhi hujan ketakutan, syak wa sangka. Gerakan sosial moral yang membopong isu pemberantasan korupsi perlu dilihat sebagai tanda bahwa masyarakat kian cerdas, kritis, dan respek akan bahaya korupsi. Progresifitas sarat pencerahan yang tertanam dalam diri masyarakat sekaligus modal sosial strategis dalam menggebuk pelaku korupsi yang semakin sistematis, rapih. dan terorganisir. Tanpa kesadaran tinggi masyarakat, sulit membenam budaya korupsi, apalagi membongkar akarnya hingga terlanjur menghujam jauh kedalam. Pada konteks inilah sebenarnya political will Presiden perlu asupan kekuatan (power) dan dukungan dalam menumpas habis korupsi.   
Berkaca pada sukses cemerlang sebagian negara-negara dunia dalam memberantas korupsi, selain dukungan penuh masyarakat political will pemerintah berada digarda depan. Political will itu kemudian diturunkan dalam pembenahan sistem hukum yang berwibawa, tata kelola pemerintahan (birokrasi) yang efektif, efisien dan transparan, memburu mafia peradilan dan sebagainya. China dan Hongkong merupakan contoh tepat dengan segala kelebihan sistem atau perangkat hukum yang bermartabat. Karakteristik yang melekat dalam hukum dua negara itu salah satunya seperti hukum yang memberikan efek jera maksimal, bukan dagelan seremoni yang mudah dikooptasi oleh kekuatan uang maupun kekuasaan (politik).
Cermin diatas tidak melekat dalam potret pemberantasan korupsi di negeri ini. Kelambanan ditengah polemik Cicak lawan Buaya maupun dana talangan Bank Century hingga 6,7 triliu yang diduga merugikan negara memberi arti bahwa political will masih sebatas slogan.
Dari bawah
Runyamnya lagi, ditambah oleh over acting Presiden akan adanya gerakan politik. Sebelum terlanjur jauh masuk dalam ketegangan psikologis relasi Presiden dengan masyarakat, Presiden tampaknya mendesak untuk mengklarifikasi statemennya beberapa waktu lalu yang sarat kecurigaan agar potensi masyarakat sadar kritis terhadap korupsi tidak menguap atau menjadi debu yang berhamburan. Jika kesadaran itu hilang, gerakan anti korupsi dari bawah (from below) juga turut menyusut. Gerakan anti korupsi tidak bisa menafikan dan perlu menyepadankan antara perjuangan dari atas (from above) dan from below.
Tanpa ada keselarasan dari dua pola diatas, yakni political will dan gerakan sosial moral, genderang jihad melawan korupsi yang dipimpin langsung oleh Presiden sulit direalisasikan. Kita khawatir kecemasan Presiden diatas mematikan perjuangan antikorupsi from below. Semoga tidak!      
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Over acting Presiden”:

Leave a comment