Mencegah remaja jadi teroris

Oleh: Agung Suseno Seto*
Belakangan ini publik dikejutkan hujan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Diduga salah satu pelakunya adalah sosok remaja, Dani Dwi Permana, yang masih berusia 18 tahun. Sebagaimana santer diberitakan media massa, remaja menjadi ladang potensial menjadi pelaku terorisme. Analis para pakar pun seolah membenarkan. Itu artinya banyak alasan untuk mengatakan remaja kini dalam bayang-bayang terorisme.
Bagi para orang tua, suguhan berita dan analis pakar terkait remaja sedang diintai menjadi terorisme, tentu menjadi kekhawatiran tersendiri kalau-kalau anak remajanya menjadi bagian dari objek pengintaian terorisme. Pertanyaannya, apa yang mendesak dilakukan oleh kita semua, orang tua dan guru?
Pencarian identitas
Berbagai temuan banyak pakar menyebutkan bahwa usia remaja merupakan fase pencarian identitas. Pada fase ini jika mereka (para remaja) tepat menemukan wadah beraktualisasi dan berekspresi, maka potensi akal, jiwa dan kemampuan kreatifitas akan terasah.
Namun bila sebaliknya, yakni kecenderungan bersosialisasi kearah yang destruktif dan negatif, potensi layaknya remaja masa depan akan tenggelam dan hilang. Identitas yang didapatkan terwujud atau termanifestasikan dalam bentuk kebanggaan-kebanggaan semu  seperti memalak, tawuran, mabuk-mabukan, narkoba, pacaran, seks bebas, hingga bolos sekolah, dan bukan prestasi dikelas, mengikuti kegiatan organisasi sekolah, lomba menulis, membaca diperpustakaan, atau menajdi juru bicara kemnasusiaan dan keadilan.
Tak terkecuali dengan jalan menjadi terorisme. Didorong oleh motif-motif semu, iming-iming uang, dan lain sebagainya, ada suatu kebanggaan tersendiri atau pamrih yang didapat baik didunia maupun diakhirat sehingga mendorong remaja untuk menjadi teroris.    
Akibat kurangnya perhatian terhadap remaja, lingkungan sosial yang acuh tak acuh, minimnya sentuhan moral, spiritual, dan nalar kemanusiaan, hingga kesejahteraan materi, jalan yang salah itu terus dilakoni hingga kejurang kegagalan masa depan. Otak dan pikiran tumpul, hati dan jiwa gersang, diburu polisi, putus sekolah, dan akhirnya mendekam dibalik jeruji besi (penjara). Bahkan dalam kasus terorisme, sang pelaku yang notabene remaja rela meleburkan diri dalam puing-puing bom.       
Disetiap tempat dan waktu, wadah sosialisasi yang buruk selalu ada, entah itu dalam keluarga, lingkungan sosial tempat tinggal, maupun disekolah. Oleh karena itulah peran semua pihak dan elemen sangat dibutuhkan. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara orang tua, guru, dengan elemen-elemen sosial-masyarakat lainnya.
Guru misalnya. Selain orang tua dan lingkungan sosial-masyarakat, guru memiliki peran strategis dan menentukan bagi moralitas dan budi pekerti siswa (remaja). Guru adalah orang tua kedua remaja di sekolah setelah keluarga yang sejatinya tidak hanya fokus mengawal kualitas intelektual (kognitif) tapi juga afektif. Kedekatan secara emosional antara guru dan siswa selayaknya perlu dibangun terus-menerus tanpa kenal lelah. Laiknya payung intelektual dan moral, apa yang ada di kepala remaja (hafalan rumus-rumus) dan disekeliling siswa, secara jeli guru mendeteksi. Kejelian itu tidak cuma di ruang kelas, namun juga diluar kelas kususnya dilingungan dimana remaja tinggal.
Suasana hati, jiwa, emosi, kebutuhan afiliasi personal-individu remaja bahkan kondisi ekonomi, menampakkan wujud aslinya tidaklah dikelas, namun diluar kelas. Diluar kelas itulah guru mendapat tugas tambahan. Dengan memahami sistem, motif, dan konteks sosiologis remaja, guru akan mudah menyelipkan pesan-pesan moral, spiritual dan sentuhan emosional. Keyakinan dan kepercayaan yang sudah terpatri, sosok guru tidaklah mungkin mengajarkan hal-hal yang salah, apalagi mengajarkan anak didik untuk menjadi teroris.  
Tiga arah
Disinilah relevansi komunikasi antara guru, orang tua, dan remaja. Komunikasi ini diorientasikan untuk membidik pendidikan lingkungan remaja antara pendidikan sekolah dan keluarga.
Dengan semangat menghalau pengaruh-pengaruh negatif dilingkungan antara sekolah dan keluarga, secara bersama-sama guru dan orang tua sekaligus remaja saling melengkapi dengan membuat time schedule atau agenda harian anak didik sebagai bentuk kontrol (pengawasan), perhatian, dan kepedulian. Secara apik time schedule digagas dengan memuat unsur-unsur penguatan potensi kognitif intelektual, jiwa sosial, spiritual, dan moral, mulai dari jadwal belajar, ibadah, rekreasi, sosialisasi, hingga makan bersama.
Sejak dini remaja diajarkan hidup disiplin. Dengan demikian tidak ada tempat dan waktu bagi remaja lepas dari pengamatan dan perhatian. Sebagai catatan, disiplin disini bukanlah bentuk pengekangan, egosime, dan arogansi orang tua dan guru terhadap remaja, akan tetapi kedisiplinan yang berangkat dar semangat demokrasi, egaliter, dan humanis dalam mendidik remaja.                                
Akhirnya, dengan model pendidikan remaja demikianlah kekhawatiran orang tua terhadap anaknya dari objek intaian terorisme menemukan solusinya. Dalam setiap detiknya orang tua dapat memahami kemajuan atau perembangan remaja baik intelektualitas, moral, bahkan pemahaman-pemahaman agama yang selama ini kerap dituding sebagai alat justifikasi tindakan terorisme.        
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mencegah remaja jadi teroris”:

Leave a comment