Menggugat Solo The Spirit of Java

Oleh: Agung Suseno Seto*
Tak ada yang menyangkal bila dikatakan bahwa Solo memiliki potensi wisata luar biasa dengan kekayaan warisan budayanya. Warisan budaya itu kini eksis ditengah-tengah kehidupan masyarakat Solo.   
Slogan Solo The Spirti of Java pun disandang. Kekayaan warisan budaya yang masih terjaga hingga saat ini telah menghantarkan Solo berpotensi menjadi kota pariwisata berbasis warisan budaya.
Namun pun demikian, menggiring Solo menjadi kota wisata berbasis budaya tidak selalu berjalan mulus. Cita-cita menjadikan Solo sebagai ikon Kota Budaya dimata bangsa bahkan dunia kerap dihadapkan dengan sederet masalah pelik. Salah satunya adalah ancaman hilangnya Tembok Vastenburg yang rencananya akan disulap menjadi hotel.
Benteng Vastenburg adalah peninggalan sejarah berharga. Lepasnya Benteng Vanstenburg dari tangan publik ke genggaman orang perorang tentu menjadi tamparan bagi Solo yang sudah terlanjur mengantongi identitas sebagai Kota Budaya. Jika saja Benteng Vastenburg benar-benar disulap menjadi bangunan propertis kepentingan bisnis orang-perorang, itu artinya Solo gagal sebagai ikon Kota Budaya. Kegagalan inikah bingkisan kado ulang tahun buat kota Solo?
Warisan sejarah sarat dengan ilmu pengetahuan dan referensi informatif bagi generasi berikutnya. Benteng Vastenburg menjadi bukti bagi anak cucu bahwa bangsa ini pernah dijajah oleh kekuasan kolonial Belanda dan sekaligus sebagai fakta sejarah bahwa Indonesia lahir dari jerih payah dan perjuangan mengusir penjajah.
Dalam buku-buku pengetahuan sejarah, Benteng Vastenburg memang tertera. Namun, pengetahuan akan Benteng Vasterburg akan dipahami secara orisinil jika temboknya tetap eksis dan tidak mengalami perubahan secara signifikan. Lebih disayangkan lagi jika Benteng Vastenburg dirobohkan dan disulap menjadi bangunan propertis yang dibangun diatas modal serta kepentingan bisnis untuk meraup keuntungan orang perorang.
Dan lebih disayangkan lagi, Benteng Vastenburg tidak lagi bisa dinikmati oleh publik, tapi terpatri semangat komersialisasi dan kapitalisasi. Tak elak, semangat kapitalisasi dan komersialisasi yang mengubur warisan budaya bangsa tentu menjadi musibah budaya bagi kota Solo yang jauh hari sudah mengikrarkan diri sebagai lokomotif atau gawang pelestarian warisan budaya.
Nama Solo sudah tersiar dimana-mana, bahkan dunia. Wisatawan asing atau domestik yang mengunjungi Solo tak lain ingin melihat warisan budayanya. Apa kata dunia jika amanat budaya yang disandang oleh Solo tergerus secara perlahan. Tugas kita bersama adalah menjaga agar warisan budaya tetap eksis.
Solo berbeda dengan daerah atau kota-kota lainnya yang banyak mengandalkan keindahan panorama pantai sebagai objek wisata. Solo memiliki Kraton Kasunanan, Pura Mangkunegaraan, Museum Radya Pustaka, Taman Wisata Budaya Sriwedari, Wayang Orang Sriwedari, Taman hiburan dan rekreasi Sriwedari, Taman Satwa Taru Jurug, Taman Balaikambang, dan sebagainya. Termasuk juga Benteng Vasternburg. Hampir semua objek andalan wisata Solo berbau warisan budaya.
Kekayaan warisan budaya itulah yang menghantarkan Solo menjadi salah satu daerah yang layak untuk dijadikan tujuan wisata baik wisatawan mancanegara maupun domestik. Oleh karenanya, selayaknya bagi Solo untuk melirik dan lebih peduli betapa pentingnya memberdayakan, merawat, menjaga, serta melindungi aset-aset warisan budaya yang ada, bukan malah merusak dan menghancurkannya, apalagi dimiliki orang perorang. Demi anak cucu, bangsa, dan dunia, warisan budaya harus diselamatkan!    
Bila pejabat publik Solo, para pelaku pariwisata, dan masyarakat luas saling bersinergi, bekerja sama, komitmen, dan serius, Solo akan menjadi objek wisata unggulan dan mampu menyedot perhatian wisatawan. Dan dengan sinergi pula, upaya penghilangan warisan budaya di kota Solo dapat dicegah. 
Paradoks
Satu sisi kita terkesan dengan komitmen pemangku pemerintah kota Solo yang getol menyelenggarakan pentas seni maupun budaya. Namun disisi lain paradoks menggelayuti. Segar dalam ingatan kita belum lama ini Conference and Expo (WHCCE) atau Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia Wilayah Eropa dan Asia digelar dan Solo International Ethnic Music (SIEM)SIEM pun diselenggarakan dimana Solo menjadi tuan rumah.
Dua even akbar seni dan warisan budaya itu diadakan dalam tenggat waktu hampir bersamaan. Paradoksnya, belum lama sebelum dua even diatas digelar, Solo dihinggapi geger warisan budaya. Diantaranya adalah pencurian arca di museum Radya Pustaka dan ketidakmampuan Solo memenangkan tarik-menarik kepemilikan Benteng Vastenburg yang seyogyanya diperuntukkan bagi kepentingan publik dan sebagai objek wisata budaya.    
Sikap paradoks Solo diatas memang pantas digugat. Dari luar, even-even seni dan budaya yang kerap diselenggarakan tampak begitu menggelegar dan Solo terlihat cantik membangun citra bahwa Solo benar-benar konsisten menjadi ujung tombak penjaga budaya.
Namun, jika ditelisik lebih dalam ternyata Solo tidak segaris dengan citra yang ditampilkan. Saatnya menggugat Solo sebagai ikon Kota Budaya dan pariwisata berbasis warisan budaya.  
Keteledoran pemangku pemerintahan Solo menjaga arca di museum Radya Pustaka dan ketidakpastian merekomendasikan Benteng Vasterburg menjadi milik publik adalah cermin kegagalan Solo menjadi ikon Kota Budaya. Publik Solo tentu tidak ingin jika Solo dinilai gagal menjadi ikon Kota Budaya, baik budaya Jawa, bangsa, maupun dunia.  
Ijtihad hukum dengan menelurkan peraturan-peraturan atas keberpihakan terhadap warisan budaya selayaknya menjadi ladang garapan pemangku pemerintahan. Seketat mungkin produk hukum ditelurkan guna melindungi dan terjaganya warisan budaya yang ada dari tangan orang-orang tak bertanggung jawab.
Genderang keberpihakan terhadap warisan budaya harus kembali ditabuh. Lindungi warisan budaya sekarang juga agar Solo terhindar dari ketukan stempel ikon Kota Budaya yang gagal.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Menggugat Solo The Spirit of Java”:

Leave a comment