Revitalisasi Wacana Keagamaan Mahasiswa

Oleh: Agung Suseno Seto*
Keterlibatan tiga sosok teroris (Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan) yang masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejatinyanya-lah menggugah kesadaran rasional-akademik banyak pihak, terutama lingkaran kampus. Fenomena itu merupakan sinyal bahwa ideologi terorisme perlahan menghampiri basis-basis kampus yang notabene dihuni oleh sosok-sosok yang selama ini identik dengan kerja-kerja pikir kritis dan rasional.
Tidak berlebihan jika bidikan kekawatiran dijatuhi pada lokus kampus-kampus Jawa Tengah, kususnya Cilacap, Temanggung, maupun Solo. Terlebih Solo, santer terdengar belakangan ini Solo bukan lagi dicitrakan sebagai Ikon Kota Budaya, tapi sarang teroris. Di Jateng, keberadaan kampus hampir menjangkau disetiap Kabupaten/Kota. UNDIP (Universitas Diponegoro) di semarang, Universitas Sebelas Maret di Solo, Universitas Soedirman di Purwokerto, dan lain-lain.      
Lingkaran kampus dengan tradisi kritikal-rasional mendesak untuk menyelaraskannya dengan pesona agama agar tercipta integritas-interkonektif. Tradisi agama perlu diteropong lewat kaca mata kritikal-rasional sebagai basis pemahaman keagamaan agar tidak terjebak pada parsialitas, dikotomi, dan simplistis. Pada konteks ini, elemen-elemen mahasiswa luar kampus berbasis keagamaan dan fokus pada gerakan pemikiran dan sosial-keagamaan menemukan momentum untuk menjadi tembok penghalau masuknya ideologi terorisme.
Basis wacana
Terjerembabnya mahasiswa dalam kubangan doktrin terorisme disebabkan oleh lemahnya wacana keagamaan dilingkungan mahasiswa. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif, tapi juga dilandasi basis ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Dengan kerangka basis diatas, pengkajian wacana keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan aspek formal, simbolis dan skriptural.
Agama sejatinya dilihat secara komprehensif, holistik, dan kontekstual. Yakni, pemahaman yang tidak memisahkan antara teks dan konteks. Dengan kontekstualisasi dan menurunkan makna teks dalam pergulatan realitas sejarah, maka dapat menjadi modalitas pencerah. Namun, jika sebaliknya, yaitu tanpa ada ijtihad ekstra dalam membongkar makna substansial dan universalitasnya, pembumian semangat agama hanya akan menampakkan wajah yang garang, bengis dan sarat kekerasan. Alasan historisnya, karena konteks diturunkannya pesan-pesan agama tidak ditransmisikan atau dikonfirmasi ulang dengan konteks kontemporer. Sebagai misal. Konteks Islam dulu dilingkupi suasana perang atau jihad fisik melawan bala tentara jahiliyah dengan semangat ekspansi politik. Sementara kini, lebih-lebih Indonesia, kedamaian, pluralitas, heterogenitas, multikulturalisme, nyaris tak terbantahkan. 
Pengkajian agama dengan basis analisis diatas dapat mengantarkan kepada pemahanan kritis dan mencerahkan. Seperti, apa itu agama (ontologi), apa tujuan agama (aksiologi), dan bagaimana menemukan pemahaman agama yang mendekati kesejatian kebenaran (epistemologi). Dengan kerangka basis itu pula, pesan-pesan sejati seputar nilai-nilai sosial, kedamaian (peace), keadilan (justice), kesamaan (equality), solidaritas, kebebasan (freedom), dan lain-lain dapat disibak, dihayati, dan diinternalisasi.
Basis epistemologi misalnya. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer dikenal tiga pendekatan yang seyogyanya ditempatkan secara sinergis, yakni bayani (tekstual), burhani (kontekstual), dan irfani (intuitif). Bayani mengedepankan pada normatif seperti al-Qur’an dan as-Hadits, burhani berpijak pada akal, logika, atau rasionalitas, sedangkan irfani berdasarkan pengalaman. Singkatnya, bayani bertolak dari landasan fundamental-tekstual, burhani memanfaatkan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu humaniora, sementara irfani bersandar pada dialog intuitif, emosionalitas, dan pengalaman batin yang memunculkan sikap dan perasaan unik seperti toleransi dan simpati.
Bisa jadi infiltrasi doktrin terorisme dilingkungan mahasiswa disebabkan karena kurangnya pemahaman agama berbasis ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Proses pemahaman yang luput dari sorotan pihak kampus maupun elemen-elemen mahasiswa luar kampus yang berideologi agama dan fokus pada gerakan pemikiran dan sosial-keagamaan. Jika sejak awal dan jauh-jauh hari semua pihak tidak alpa memberi perhatian akan pemahaman agama kepada anak bangsa, sulit kiranya doktrin terorisme merangsek masuk kelingkungan mahasiswa.
Revitalisasi pewacanaan
Organisasi-organsisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), -untuk menyebut beberapa saja- cukup bisa diandalkan menjadi garda depan dan candradimuka mencegah ideologi terorisme dilingkungan mahasiswa. Basis pemikiran, pendekatan dan aksi-aksi sosial yang dimiliki ketiga organisasi kemahasiswaan diatas merepresentasikan basis pemahaman keagamaan di Indonesia yang toleran, moderat, dan plural.     
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika pencegahan terhadap masuknya ideologi terorisme dilingkungan mahasiswa berharap banyak dari organisasi-organisasi mahasiswa baik HMI, IMM, PMII dan lainnya. Perlu revitalisasi pewacanaan keagamaan berbasis pemahaman keagamaan yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Revitalisasi tentu harus berbareng dengan re-orientasi perkaderan gerakan yang terbuka (inclusive) dan turut berdialog dengan pemahaman-pemahaman lainnya yang bercorak diluar maenstrem. Kajian-kajian lewat diskusi kelompok, seminar, dialog publik, dan pelatihan-pelatihan formal, merupakan tonggak awal serta ttitik awal memasarkan pemahaman-pemahaman keagamaan yang anti teroris, radikal, dan miskin pemaknaan nilai-nilai sosial kemanusiaan.  
*) Aktivis IMM Sukoharjo                

0 Responses to “Revitalisasi Wacana Keagamaan Mahasiswa”:

Leave a comment