Gank Cokor, bukti kelpaan guru dan orang tua?

Oleh: Agung Suseno Seto*
Belakangan ini kembali publik, kususnya warga Semarang, dikejutkan oleh aksi miris segerombol remaja (siswa) yang menamakan diri Gank Cokor. Sebuah organisasi atau afiliasi solidaritas destruktif antar remaja yang beroperasi di kawasan Barat Semarang dimana aksi-aksinya meresahkan warga.
Mabuk-mabukan, memalak, dan manodong menjadi santapan. Diberitakan afiliasi itu memiliki keanggotaan mencapai 50 orang, sebagian besar adalah siswa SMP, ada pula SMA, putus sekolah, bahkan pengamen. Sebelum Gank Cokor, fenomena serupa juga kerap terungkap seperti Geng Motor di Bandung Jawa Barat, Geng Nero di Pati Jawa Tengah dan lain-lain.
Bagi para orang tua, suguhan berita-berita miris terkait fenomena kenakalan remaja tentu menjadi kekhawatiran kalau-kalau anak remajanya ikut andil didalamnya. Lalu apa yang mendesak dilakukan kita semua, kususnya guru bahkan orang tua?  
Pencarian identitas
Temuan-temuan banyak pakar psikologi menyebutkan bahwa usia remaja merupakan fase pencarian identitas. Pada fase ini jika mereka (para remaja) tepat menemukan wadah beraktualisasi, maka potensi jiwa dan pikiran konstruktif akan terasah. Namun bila sebaliknya, yakni kecenderungan bersosialisasi kearah yang destruktif, potensi layaknya “remaja masa depan” akan tenggelam.
Bagi remaja yang salah menemukan jalan yang seharusnya, temuan identitas terwujud dalam kebanggaan-kebanggan semu seperti kepuasan pikiran dan hati bila memalak, tawuran, mabuk-mabukan, narkoba hingga bolos sekolah. Bukan sebaliknya, yakni prestasi dikelas, mengikuti kegiatan organisasi sekolah, lomba menulis, membaca diperpustakaan, dan lain-lain.
Kurangnya perhatiandan sentuhan moral, jalan yang salah itu terus dilewati hingga kejurang kegagalan masa depan. Otak dan pikiran “tumpul”, hati dan jiwa gersang, diburu polisi, putus sekolah, dan akhirnya mendekam dibalik jeruji besi (penjara).      
Disetiap tempat dan waktu, wadah sosialisasi yang baik dan buruk selalu ada, entah itu dalam keluarga, lingkungan sosial tempat tinggal, maupun disekolah. Yang terpenting adalah bagaimana mengarahkan remaja untuk selalu melewati tempat-tempat dan waktu-waktu dengan nuansa edukasi. Oleh karena itulah peran semua pihak dan elemen sangat dibutuhkan, paling tidak adanya sinergi dan kerjasama antar orang tua, guru, ataupun elemen-elemen sosial-masyarakat lainnya.
Guru misalnya. Selain orang tua dan lingkungan sosial-masyarakat, guru memiliki peran strategis dan menentukan terhadap moralitas dan budi pekerti siswa (remaja). Guru adalah second father-mother remaja di sekolah yang sejatinya tidak hanya fokus meneropong kualitas intelektual kognitif tapi juga afektif. Kedekatan secara emosional antara guru dan siswa harus terus dibangun. Laiknya payung intelektual kognitif dan moral, apa-apa yang terjadi di kepala (hafalan rumus-rumus) dan disekeliling siswa secara jeli guru mendeteksi. Kejelian itu tidak cuma di ruang kelas, namun juga diluar kelas.
Afiliasi-afiliasi personal-individu antar siswa yang bertumpu pada semangat membangun solidaritas dan loyalitas yang cenderung merusak menampakkan wujud aslinya tidaklah dikelas, namun dijalanan, saat-saat kepulangan, bahkan-pasca kepulangan (lingkungan sosial antara sekolah dan keluarga). Dilapangan itulah guru mendapat tugas tambahan. Dengan memahami sistem, motif, dan konteks sosiologis dibalik afiliasi, guru akan mudah menyelipkan pesan-pesan moral dan sentuhan emosional. Dengan cara itu, bukan tidak mungkin kemunculan Gank Cokor-Gank Cokor lainnya bisa dibendung.
Tiga arah
Pada ranah ini, tidak sedikit pihak sekolah dan guru alpa dalam mengidentifikasi gerak-gerik siswa. Ada semacam alibi bahwa diluar sekolah wewengan dan tanggung jawab terletak dipundak orang tua. Tak elak, disinilah relevansi komunikasi tiga arah antara guru, orang tua, dan siswa atau anak didik. Komunikasi tiga arah diorientasikan untuk membidik pendidikan lingkungan siswa antara pendidikan sekolah dan keluarga.
Dengan semangat menghalau pengaruh-pengaruh negatif dilingkungan “antara” itu, secara bersama-sama guru dan orang tua sekaligus siswa bisa saling melengkapi membuat time schedule atau agenda harian anak didik sebagai bentuk kontrol (pengawasan), perhatian, dan kepedulian. Secara apik time schedule digagas dengan memuat unsur-unsur penguatan potensi kognitif intelektual, jiwa sosial, spiritual, dan moral, mulai dari jadwal belajar, ibadah, rekreasi , sosialisasi, hingga makan bersama.
Sejak dini anak didik diajarkan disiplin. Dengan demikian tidak ada tempat dan waktu bagi anak didik yang lepas dari pengamatan dan perhatian. Sebagai catatan, disiplin disini bukanlah bentuk pengekangan, bertumpuk egosime, dan arogansi orang tua terhadap anak didik. Akan tetapi kedisiplinan yang berangkat semangat demokrasi, egaliter, dan humanis dalam mendidik anak didik.                                
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Gank Cokor, bukti kelpaan guru dan orang tua?”:

Leave a comment