Penyakit pragmatis-me politik

Oleh: Agung Suseno Seto*
Kurang dari dua bulan lagi pemilihan umum (pemilu) legislatif digelar. Suasana panas pun kian terasa mewarnai detik-detik menjelang pemilu legislatif yang sangat menentukan bagi masa depan keterwakilan kepentingan masyarakat dipanggung kekuasaan legislatif.
Tentunya, pilihan kritis dan rasional menjadi kunci sekaligus prasarat jika ingin panggung legislatif dipimpin legislator-legislator kredibel, kapabel, dan berkualitas. Namun bila sebaliknya, yakni pilihan didasarkan atas dasar karisma buta, emosional kekeluargaan, popularitas semu, atau pun iming-iming politik uang (money politic), sama saja dengan memilih kucing dalam karung.
Memperhatikan jurus-jurus kampanye yang dikeluarkan oleh calon legislatif (caleg) mulai dari menebar gambar (poster, baliho, spanduk, dan lain-lain) hingga “syukuran politik” (bagi-bagi sembako), tampak seperti menabur popularitas semu d an mengaburkan pilihan kritis dan rasional calon pemilih.
Jika boleh dibilang, kampanye yang ada saat ini terkungkung dalam kerangka pragmatisme politik, yakni mengabsahkan sebuah tindakan politik selama tindakan itu memberikan manfaat dan kegunaan lebih. Bilamana pragmatisme politik merajai tindakan dan sikap politik negeri ini?
Pragmatisme kini seakan menjadi paradigma dominan dalam prilaku atau tindakan politik dinegeri ini. Pragmatisme politik itu ditandai dengan keniscayaan hadirnya uang.
Uang dan politik berjalan seiring, berjalin kelindan. Tak ada kekuasaan/jabatan tanpa uang, tak ada bagi-bagi sembako dan iklan politik tanpa uang. Dengan uang, citra dapat dibentuk.
Dalam politik, uang menjadi berhala baru bagi siapapun yang ingin menjadi pejabat publik, lebih-lebih Presiden atau Wakil Rakyat (DPR/DPRD). Popularitas akan sulit terdongkrak dan tidak akan tersiar ketelinga pemirsa calon pemilih (publik) jika hanya memiliki sejumput uang.
Jorjoran melayangkan citra sosok tokoh atau partai politik (parpol) melalui iklan dilayar televisi (tv) atau kliping koran bukan barang asing lagi. Milyaran Rp (rupiah) dihabiskan untuk belanja iklan demi pemenuhaan syahwat popularitas dimata publik. Kesan eksploitasi dan manipulasi pun muncul dari penilaian beberapa kalangan. Sayangnya lagi, penggunaan layanan iklan politik kerap mendatangkan konflik elit yang kurang memberikan pelajaran politik terhadap masyarakat.
Pesan politik yang diselipkan dalam iklan tampak “seronok”, manipulatif, saling menjegal, dan mendeskriditkan satu sama lain. Pemirsa layar kaca atau pembaca yang notabene calon pemilih diajak bersenandung ria ke alam romantika kebijakan-kebijakan politik yang dianggap berhasil dan memihak masyarakat. Isu kemiskinan, pengagguran, penurunan bahan bakar minyak (BBM) hingga tiga kali, dan lain-lain menjadi komoditas politik yang dijual kepada masyarakat.
Disamping perang citra yang diwacanakan lewat iklan politik, elit-elit politik juga bergumam melalui orasi verbal, yakni dari statemen ke statemen dan dari komentar ke komentar. Hampir-hampir, berita-berita yang disuguhkan kehilangan sisi inspirasi dan keilmiahannya. Bukan realitas politik yang mencerdaskan, tapi sikap-sikap penuh gugatan yang semakin menyuburkan ketidakharmonisan.
Hal demikian menggambarkan bahwa realitas politik saat ini didasarkan pada tujuan-tujuan politik pragmatis dan kepentingan sesaat. Tujuan-tujuan tersebut tak lain adalah mendapatkan atau meraup suara biarpun dengan cara-cara yang tidak benar, diluar etika atau norma-norma politik yang ada –untuk tidak menyebut menghalalkan segala cara.
Pragmatisme politik mengajarkan bahwa apapun boleh dilakukan selama mendatangkan manfaat dan faedah. Manipulasi iklan politik, “sukuran politik”, atau pun saling melumat dan mengolok-olok, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat praktis yang bermanfaat.
Perang citra elit politik melalui iklan, bertaburnya gambar-gambar caleg, dan menjamurnya praktek-praktek “syukuran politik” adalah produk dari sikap politik pragmatisme saat ini. Semua itu adalah tanda (kode/sign) atau sistem pemasaran yang dikomunikasikan kepada konsumen politik (calon pemilih).
Akhirnya, jika pilihan yang diberikan masyarakat hanya didasarkan pada tampilan luar dan tidak memiliki sikap kritis atas pilihannya atau hanya akan memilih bila ada yang memberi “syukuran politik”, itu artinya masyarakat politik kita sudah kehilangan identitas, jati diri, dan karakter asli, karena hidup dalam peran-peran permainan elit politik. Bilamana pragmatisme menggerus identitas dan jati diri bangsa?
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Penyakit pragmatis-me politik”:

Leave a comment