Reorientasi dakwah ormas agama

Oleh: Agung Suseno Seto*
Satu langkah positif kembali digelorakan dua organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah. Yakni, Gerakan Hidup Halal. Haedar Nasir, salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai optimistis gerakan itu sebagai upaya mengikis habis korupsi melalui jalan kultural diluar jalur hukum dan political will.
Bagi Haedar, langkah praktis yang paling mungkin dilakukan didepan mata adalah menggiatkan kembali dakwah, tabligh, majelis taklim, dan sejenisnya. Langkah praktis itu tentu memungkinkan dilakukan NU dan Muhammadiyah yang notabene organisasi yang bergerak dibidang dakwah dan sosial keagamaan.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana format dan isi dakwah? Pertanyaan ini saya pikir penting. Sebab, dakwah Islam selama ini bisa dikatakan marak dan kian menjamur. Mulai dari ceramah atau khutbah diatas mimbar hingga lewat televisi (tv). Singkatnya, kesadaran keberagamaan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kuantitas. Sayangnya, kuantitas tidak berbarengan dengan kualitas. Nah, perlu kiranya menggeser pola dakwah yang sebelumnya berorientasi formalistik ke pola sufistik.
Simbol vs substansi
Dominannya dakwah yang berciri khas simbolis dan formalistik tampaknya patut dicurigai sebagai sebab jomplangnya kuantitas dan kualitas keberagamaan. Sukses dakwah tidak dipahami sejauhmana penghayatan agama memantulkan refleksi sosial transformatif, atau merasuk kejantung-jantung keyakinan sejati. Keimanan utuh cenderung terabikan. Pribadi-pribadi luhur tidak tergarap oleh dakwah Islam.
Pada konteks inilah NU dan Muhammadiyah dituntut perannya mengkampanyekan dakwah dengan format dan isi yang mengantongi kekayaan pemikiran dan pengalaman Islam mulai dari filsafat, kalam, fiqh dan tasawuf. Untuk yang terakhir, yakni tasawuf, tampaknya perlu mendapat porsi lebih. Tasawuf menjadi relevan ditengah orientasi kehidupan umat yang menggandrungi pola hidup konsumeristik, hedonistik, dan materialistik.
Kecenderungan demikian kian menumbuhkan pola dan sikap hidup rakus, tama’, sombong atau takabur. Lebih jauh lagi, dari sikap itu kemudian muncul prilaku destruktif dan menyimpang. Korupsi misalnya. Korupsi kini bak hantu menakutkan bagi negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini.
Hossein Nasr (1985) menyerukan, bahwa ajaran-ajaran tasawuf sangat dibutuhkan untuk menangkal pola hidup seperti itu. Di antara ajaran tasawuf yang sangat relevan untuk kehidupan saat ini adalah zuhud, taubat, shabar, bersyukur ridha, qanaah, wara', uzlah,. Nilai-nilai demikian akan memberikan keseimbangan hidup antara jasmani dan ruhani. Melalui tasawuf  manusia tidak semata-mata mengejar kesenangan material tetapi juga ditunjukkan kebahagian spiritual. Kebahagiaan spiritual yang dimaksud bukan kebahagiaan yang melalaikan manusia dari kehidupan di dunia, tetapi kebahagian spiritual yang menumbuhkan gairah hidup di dunia berdasarkan ajaran Islam.
Selain itu, pola hidup dan moralitas sufistik bisa menjadi terapi bagi para elite politik (dan juga elite agama) yang selama ini mengabaikannya. Moralitas sufistik dalam ajaran tasawuf adalah penting untuk mereka yang akan mengambil keputusan politik bagi masa depan bangsa ini. Penghayatan agama melalui internalisasi moralitas sufistik di atas akan dapat menghindarkan perilaku buruk yang sering melekat dari diri para politisi, seperti tamak, rakus kekuasaan, arogan, egois, dan ekploitatif terhadap lawan-lawan politiknya.
Memang, tasawuf dulu pernah “ditakuti” orang lantaran penuh dengan arti pejoratif mengenai hal yang aneh-aneh. Tidak jarang praktik sufisme diidentikkan dengan eksklusifisme, tradisionalisme dan asketisme yang secara ekstrem lari dari kehidupan dunia dan anti terhadap persoalan-persoalan sosial dan politik. Bukan hanya ditakuti, tapi juga dilawan agar tidak tampil ditengah kehidupan umat.
Dalam sejarahnya, ada dua pola penalaran tasawuf yaitu falsafi dan pola akhlaki.  Yang pertama mendorong manusia untuk mensucikan diri agar jiwanya bisa kembali kepada Tuhan atau menyatu dengan Tuhan. Tasawuf falsafi cenderung mengabaikan syari’ah (aturan-aturan agama yang bersifat formal-skriptural). Di antara  konsep-konsep dalam pola ini adalah ma’rifah (dari Dzunnun al-Mishri), mahabbah (dari Rabi’ah al-‘Adawiyah), Wahdat al-Wujud (dari Ibn ‘Arabi), Ittihad (Abu Yazid al-Busthami), hulul  (dari Ibn Mansur al-Hallaj).
Adapun yang kedua, ajaran-ajarannya kembali kepada al-Quran dan Sunnah, untuk pendalaman batiniah agar memperoleh akhlak yang luhur (Harun Nasution, 1973).  Victor Said Basil (2000) mencatat, pola ini bisa dilihat dari Abu Zhar al-Ghifari seorang sufi yang taat dengan ajaran sunnah, dan Al-Ghazali seorang sufi yang berusaha “menghidupkan” kembali sunnah Nabi. Tampaknya, gerakan purifikasi atau perlawanan terhadap tasawuf menjatuhkan ketakutan dan pejoratifnya pada pola yang pertama, yaitu tasawuf falsafi. Oleh karenanya melihat iklim keberamaan di Indonesi pola yang pertama dirasa lebih mudah diterima.
Muslim sufi
Cendekiawan muslim Indonesia Komarudin Hidayat (1995) mendedahkan inti tasawuf sebagai ajaran yang menyatakan bahwa hahekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya. Dalam nurani manusia terdapat cahaya suci yang yang senantiasa ingin menatap Tuhan yang kemudian muncul kebahagiaan dan kedamaian prima. Jika penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagamaan dan karenanya setiap muslim mesti menjadi sufi. Tidak sedikit, baik ayat al-Qur’an atau al-Hadis menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah menyucikan jiwa sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam prilaku insaniyahnya.
Menggeser format dakwah dari simbolis dan formalitas ke substantif atau sufistik bukanlah tanpa halangan. Gerakan purifikasi dakwah Islam yang lekang dari akar identitas bangsa kian mendapat tempat. Sehingga, pemahaman dan pengalaman agama yang “formalistis” terlihat dominan. Selanjutnya “formalisme” itu akan membawa kekeringan penghayatan keagamaan.
Pada titik inilah NU dan Muhammadiyah perlu mengedepankan gerakan dakwah sosial keagamaan yang lebih liberal-spiritualistik. Bukan saatnya lagi sikap keagamaan legal formal yang bersifat hitam-putih dan pandangan monolitik yang dapat menghilangkan entitas dan kedirian yang lain (the otherness) dikedepankan. 
 *) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Reorientasi dakwah ormas agama”:

Leave a comment