Kader Teroris Kampus (Mahasiswa) Sebagai Korban

Oleh: Agung Suseno Seto*
Sepak terjang polisi belakangan ini terkait perburuan teroris cukup membuat banyak kalangan bangga dan menaruh apresiasi positif. Sederet pelaku teroris, bahkan gembong paling dicari Noordin M.Top, berhasil bumihanguskan. Saat perburuan, tanpa ampun pelaku teroris dihujani tembakan. Seperti dikatakan salah satu pembesar Polri, ada komitmen untuk menangkap hidup-hidup pelaku teroris, namun karena ada perlawanan balik, polisi dipaksa sigap dengan terlebih dahulu melakukan aksi pelumpuhan.
Kedepan, tampaknya polisi perlu mencari jalan alternatif lain agar pelaku teroris dapat ditangkap hidup-hidup seperti menggunakan tembakan bius berdosis tinggi atau lainnya. Pelaku terorisme, apalagi yang notabene mahasiswa, sejatinya dilihat sebagai korban. Yaitu korban doktrinasi ideologi terorisme. Seperti dialami oleh Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan dimana ketiganya tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.          
Pola peruburuan seperti yang selama ini dijalankan tentu sulit dirubah jika tidak menggeser paradigma dalam melihat pelaku teroris. Artinya, sejak awal target perburuan terlanjur dijatuhi stereotip sebagai sosok-sosok penebar teror, penjahat, pembunuh, perusak, dan sebagainya, alih-alih sebagai korban. Padahal dilihat dari latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan keluarga, sama sekali tidak menunjukkan gelagat penjahat atau lainnya. Bahkan, salah satu diantara mahasiswa UIN Jakarta yang terlibat terorisme diatas dikenal cukup baik dalam bersosialisasi maupun akademiknya.      
Sayang, alam bawah sadar, hati, dan otak ketiga mahasiswa itu tersusupi doktrin jahat yang mampu menggerakkan jiwa dan raga agar suatu saat nanti mau melakukan tindakan terorisme yang sama sekali sulit dinalar dan dirasionalisasi. Kekuatan penggerak tersebut memang maha dahsyat. Berkelindan dengan sesuatu yang transendental, absolut, suci, dan mulia. Yaitu, janji-janji surga, kebahagiaan dan “kesejahteraan” diakhirat kelak, bukan didunia dengan jalan meluluskan kuliah, kemudian kerja dan berguna bagi banyak orang, layaknya seorang anak harapan orang tua dan keluarga, bangsa serta negara.
Akar persoalnya tentu tidaklah sedangkal itu. Yang lebih mendesak dipertanyakan lebih jauh adalah mengapa dan bagaimana doktrin ideologi teroris bisa terinternalisasi masif dalam otak dan jiwa mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual-kritis?  
Basis wacana keagamaan
Terjerembabnya mahasiswa dalam kubangan doktrin terorisme disebabkan oleh lemahya wacana keagamaan dilingkungan mahasiswa. Pada konteks ini, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis ideologi Islam serta concern terhadap pembaruan wacana sosial-keagamaan-islam turut bertanggung jawab. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif, tapi juga dilandasi basis filosofis baik ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Dengan kerangka basis filosofis diatas, pengkajian wacana keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan aspek formal, simbolis dan skriptural.
Agama sejatinya dilihat secara komprehensif, holistik, dan kontekstual. Yakni, pemahaman yang tidak memisahkan antara teks dan konteks. Dengan kontekstualisasi dan menurunkan makna teks dalam pergulatan realitas, maka dapat menjadi pencerah sejarah. Namun, jika sebaliknya, yaitu tanpa ada ijtihad ekstra dalam membongkar makna substansial dan universalitasnya, pembumian semangat agama hanya akan menampakkan wajah yang garang, bengis dan sarat kekerasan. Hal demikian disebabkan karena konteks diturunkannya pesan-pesan agama tidak ditransmisikan atau dikonfirmasi ulang dengan konteks kontemporer saat ini. Sederhananya, konteks Islam dulu dilingkupi suasana perang atau jihad fisik melawan bala tentara jahiliyah.
Pengkajian agama dengan basis analisis filosofis dapat mengantarkan kepada pemahanan kritis dan mencerahkan. Seperti, apa itu agama? (ontologi), apa tujuan agama? (aksiologi), dan bagaimana menemukan pemahaman agama yang mendekati keberanaran? (epistemologi). Dengan kerangka filosofis itu pula, pesan-pesan sejati seputar nilai-nilai sosial, kedamaian, keadilan, kesamaan, solidaritas, kebebasan, dan sebagainya yang menjadi intisari dari agama dapat disibak.
Analisis filosofi epistemologi misalnya. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer dikenal tiga pendekatan yang seyogyanya ditempatkan secara sinergis, yakni bayani (tekstual), burhani (kontekstual), dan irfani (intuitif). Bayani mengedepankan pada normatif seperti al-Qur’an dan as-Sunnah, burhani berpijak pada akal, logika, atau rasionalitas, sedangkan irfani berdasarkan pengalaman. Singkatnya, bayani bertolak dari landasan fundamental-tekstual, burhani memanfaatkan ilmu-ilmu humaniora, sementara irfani bersandar pada dialog intuitif, emosionalitas, dan pengalaman batin yang memunculkan sikap dan perasaan unik seperti toleransi dan simpati.
Stereotip keluarga korban
Sampai disini, bisa diasumsikan bahwa infiltrasi doktrin terorisme dilingkungan mahasiswa disebabkan karena kurangnya pemahaman agama berbasis filosofis. Proses pemahaman yang luput dari sorotan pihak kampus, organisasi kemahasiswaan berbasis sosial agama dan pemikiran Islam, dan pihak-pihak lain. Jika sejak awal dan jauh-jauh hari semua pihak tidak alpa memberi perhatian akan pemahaman agama kepada anak bangsa, sulit kiranya doktrin terorisme merangsek masuk kelingkungan mahasiswa.
Dengan demikian pelaku teroris yang notabene mahasiswa tidak lantas dijatuhi tuduhan penjahat, pembunuh, perusak dan penebar teror, tapi perlu dilihat sebagai korban. Maka, ada kesempatan dan masa depan cerah mengembalikan jati-diri pelaku teroris. Pihak keluarga pun turut diselamatkan nama baiknya dan tidak menjadi korban cercaan serta sinisme ditengah masyarakat.
Kenyataannya keluarga korban turut menanggung stereotip miring yang entah sampai kapan berakhirnya. Mereka, keluarga pelaku teroris, kerap dituding-tuding ikut bertanggung jawab atas perbuatan salah satu keluarganya yang terlibat aksi terorisme. Padahal, keluarga korban teroris bercita-cita agar kelak anaknya yang menjadi mahasiswa bisa menjadi orang yang sukses, berguna bagi diri sendiri, keluarga, bahkan bangsa dan negara. Wallahu a’lam      
*) Aktivis IMM Sukoharjo  

0 Responses to “Kader Teroris Kampus (Mahasiswa) Sebagai Korban”:

Leave a comment