Muhammadiyah dan civil society

Oleh: Agung Suseno Seto
Memperingati jelang pascaseabad Muhammadiyah, Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsuddin beberapa waktu lalu melontarkan gagasan tahap kedua gerakan dan program Muhammadiyah. Orang nomor satu di organisasi masyarakat sosial keagamaan itu menyerukan agar strategi Muhammadiyah kedepan mulai dari bidang budaya, sosial, ekonomi, dan kaitannya dengan politik kekuasaan perlu menyesuaikan dengan konteks perubahan zaman, terlebih sindrom globalisasi. Singkatnya, tahab kedua harus memiliki terobosan-terobosan lebih baik dibanding tahap pertama. Seruan itu dilontarkan disela-sela sesi sambutan dihadapan pembesar (pejabat) negara, pemimpin Partai Politik (Parpol), perwakilan ormas agama, dan lain-lain beberapa waktu lalu di Jakarta (24/11).
Slogan yang dilontarkan Dien diatas tentu petut disimak, ditangkap secara kritis, diulas, bahkan ditafsir kembali korelasi dan relevansinya dengan Muhammadiyah kini dan akan datang. Apalagi rencana agenda Muktamar Muhammadiyah ke-46, Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, dengan tema ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” juga sudah ditetapkan. Tidak berlebihan jika dikatakan terminologi “Peradaban Utama” ditempatkan sebagai salah satu isu sentral yang termasuk dalam agenda tahab kedua diatas. Pun, Perbincangan seputar Peradaban Utama, masyarakat beradab, masyarakat madani, masyarakat utama, masyarakat sipil atau civil society dalam kaitannya dengan Muhammadiyah belakangan ini sempat ramai diperbincangkan baik dikalangan Muhammadiyah sendiri maupun sementara pengamat diluar Muhammadiyah. 
Yang tak kalah menarik lagi dalam kaitan civil society dan Muhammadiyah adalah fenomena gerakan sosial yang dalam sepekan ini kian menampakkan riak-riak garangnya. Gerakan sosial terus membanjir mengiringi gejala inkonsistensi elit-elit politik dalam pemberantasan korupsi baik dilevel eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Ditengah krisis komitmen dan pudarnya sikap kenegarawanan elit-elit dan pejabat pemerintah itulah gerakan sosial marak. Sesekali isu itu diplesetkan untuk diarahkan menjadi gerakan politik yang tidak sedikit mengundang rasa pitam, sesak nafas, dan kebakaran jenggot elit-elit sekitar senayan.
Bila ditelisik sekilas, elemen-elemen dalam gerakan sosial itu seperti kelompok mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, pelbagai kelompok atau perorangan yang bukan “negara”. Sebagian dari elemen-elemen itu didominasi oleh kelompok-kelompok yang bukan pemerintah dan bukan pula militer. Kemunculan gerakan sosial itu salah satunya dilatari oleh potret stagnasi bahkan degradasi peran dan fungsi lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Kasus aktual adalah ketidakberdayaan lembaga-lembaga demokrasi menghadang brutalnya gerakan korupsi berjamaah yang diduga melibatkan mafia peradilan, makelar kasus, elit-elit yudikatif dan ekskutif, polisi, dan lain-lain. Ditengah kecamuk itu, lembaga legislatif pun tak lebih menjadi penonton dan malah mengabaikan arus gelombang aspirasi mayarakat.
Gerakan sosial tersebut tak lain hendak menggugah kebekuan demokrasi yang secara prosedural memang sukses dilakoni. Namun, secara substansial jauh panggang dari api. Sementara kalangan menilai, kebekuan demokrasi itu disebabkan oleh proses-proses politik demokratis transaksional, konspiratif, korup, dan de-moralisasi, serta tranparansi yang terabaikan. Secara prosedural, demokrasi sebagai bentuk konkrit kedaualtan rakyat memang tampak meng-adab-kan dan meng-utama-kan masyarakat bangsa dan negara, tapi secara secara esensi lebih mengutamakan dan mensejahterakan elit-elit politik dan golongan tertentu.
Dibalik gerakan sosial itu, tidak terlihat secara jelas apakah Muhammadiyah turut andil didalamnya. Namun secara gamblang bisa dikatakan bahwa Muhamamdiyah merupakan organisasi atau lembaga yang bukan bagian dari pemerintah, bukan militer. Muhammadiyah adalah organisasi sosial masyarakat keagamaan yang independen guna memajukan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat baik melalui pendidikan, dakwah, amal saleh, pemberdayaan, dan sebagainya. Dalam bahasa lain Muhammadiyah hendak mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Jika Muhammadiyah dimaknai secara demikian, Muhamamdiyah sudah memenuhi sarat sebagai gerakan sosial yang sejatinya menjadi gerbong serta motor penggerak pendobrak kebekuan demokrasi. Angan-angan dan mimpi gerakan sosial terseut tak lain adalah menegakkan masyarakat, bangsa dan negara diatas nilai-nilai keadaban yang bebas dari korupsi, misalnya. Demokrasi harus mewujudkan masyarakat transparan, komunikatif, akuntabel, rule of law (supremasi hukum), mengindahkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan lain-lain.
Tidak salah jika dikatakan bahwa tema Muktamar Muhamamdiyah kedepan memiliki pesan sebangun dengan tujuan-tujuan diatas. Selain itu, ada benang merah yang penting untuk diulur dan kemudian dirajut kembali antara cita-cita Muhammaidyah dengan gagasan civil society. Apalagi dalam sejarahnya, demokrasi dan civil society ibarat saudara kembar yang hadir secara berbarengan. Demokrasi akan terkonsolidasi jika bangunan civil society kokoh. Selain itu, penciptaan sistem demokrsi tidak bisa didasarkan semata pada niat baik pemerintah atau kekuasaan Negara, tapi dilakukan oleh masyarakat melalui penguatan-penguatan potensi yang ada sehingga dapat menjembatani hubungan antara individu dan masyarakat disatu pihak, dan negara dan pemegang institusi lainnya dipihak lain.
Peradaban Utama dalam tema Muhammadiyah diatas tampaknya memiliki kesamaan makna dengan civil society. Diatas jagat intelektual Tanah Air, tidak sedikit kalangan yang menyepadankan gagasan peradaban utama dengan civil society, masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat utama. Sedikit perlu disinggung, di Indonesia, istilah civil society dipahami secara beragam. Implikasinya yang paling kentara adalah apakah civil society itu sepadan dengan nilai nilai Islam atau tidak. Dawam Raharjo misalnya. Ia lebih memilih masyarakat madani dari pada civil society. Alasannya, masyarakat madani dapat dilacak arkeologisnya, yakni zaman Nabi Muhammad di Madinah.
Sampai disini, terlalu simplistis memang mengkaitkan gagasan civil society atau peradaban utama, masyarakat madani, masyarakat utama, dengan maraknya gerakan sosial saat ini. Tapi hemat penulis, gerakan sosial bisa ditempatkan sebagai artikulasi “minimalis” dari civil society yang perlu terus disirami, dijaga, dan disemai kehadirannya. Itu artinya, ada artikulasi “maksimal” atau “ideal” yang memerlukan sarat-sarat tidak sedikit agar gagasan civil society atau peradaban utama benar-benar dapat diimplimentasikan.
Dalam kaitan Muhammadiyah dan civil society diatas, pertanyaan yang kemudian layak diunculkan adalah adakah ketersediaan “bahan-bahan sosial” bagi Muhamamdiyah untuk mengidentifikasi sebagai pembopong civil society? Ketika berhadapan dengan negara, peran dan fungsi pokok seperti apakah yang mendesak untuk dimainkan oleh Muhammadiyah? Dua pertanyaan itu saya pikir menjadi simpul strategis dalam mendedahkan gagasan-gagasan civil society yang kemudian disandingkan dengan Muhammadiyah.
Pertanyaan-pertanyaan fundamental lain yang tentunya memiliki keterkaitan dengan pertanyaan diatas adalah, seperti apakah gagasan awal civil society? Adakah keselarasan gagasan civil society dengam Muhammadiyah di Indonesia yang memiliki tradisi Islam? Relevakah gagasan civil society atau masyarakat madani disematkan dalam tubuh Muhammadiyah jika dilihat dari dinamika sejarah Muhammadiyah baik sejak awal kemunculannya hingga saat ini? Yang lebih penting lagi, bagaimana menjelaskan civil society dan Muhamamdiyah pascareformasi dimana banyak elit-elit Muhamamdiyah berbareng bergerak eksodus ke politik praktis?              
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Muhammadiyah dan civil society”:

Leave a comment