Kesalehan nasional pascaramadan

Oleh: Agung Suseno Seto*
Gegap gempita spiritualitas dibulan ramadan mewarnai hari-hari terpilihnya anggota DPR/DPRD, DPD maupun Presiden periode 2009-2024. Dan dibulan suci ini pula, sharing power, manuver politik, dan lobi-lobi jabatan turut menyelimuti. Tidak jarang antarelit politik satu sama lain saling berbalas pantun sarat kecaman dan pendiskreditan.
Sebagai bangsa yang sedang dilanda krisis multidimensi termasuk moral dan etika politik, kehadiran bulan ramadan tentu menjadi penting. Paling tidak, elit-elit politik dan pejabat publik dituntut untuk meningkatkan kualitas kesalehan sosial-politik. Apalagi penduduk Indonesia mayoritas adalah muslim, sudah barang tentu para wakil rakyat yang terpilih sebagian besar juga muslim.
Selain itu, tuntutan kesalehan sosial juga dinantikan dari semua warga bangsa. Sebuah harapan kesalehan yang tidak hanya berdimensi individual, tapi juga transformatif. Berkah ramadan harus ditransformasikan dalam ranah praksis aplikatif untuk kepentingan sosial, umat, bangsa dan negara.   
Muslim simbolik
Secara kuantitas, Islam mayoritas memang identik dengan Indonesia. Namun diteropong sisi kualitas, sulit dikemukakan jawaban spontanitas. Jelang ramadan misalnya. Hampir-hampir suasana semarak religiusitas dan spiritualitas diwakili oleh layar kaca televisi. Setiap acara yang disodorkan pemirsa tampak apik dengan bungkusa dan racikan bernuansa Islam. Strategi agamis itu tentu untuk mengakomodasi keberadaan pemirsa di Tanah Air yang mayoritas Islam.
Mengapa dikatakan kuantitas tidak selalu segaris dengan kualitas? Lihat saja, gaya dan pola hidup kurang mencerminkan semangat Islam. Mulai dari persoalan sepele hingga yang urgen, kerap bertentangan dengan anjuran-anjuran idealnya. Ambil contoh masalah keberihan, budaya mengantri, tertib berlalu lintas, dan seterusnya.
Terlalu dini kiranya jika Indonesia dilabeli negara bersih dan ramah lingkungan. Tradisi membuang sampah pada tempatnya bak jauh panggang dari api. Tidaklah sulit menemukan sampah dijalan-jalan, pasar-pasar yang kumuh maupun sungai yang ditumbuhi dengan sampah. Akibatnya, polusi dimana-mana, berbagai penyakit mudah mewabah. Lebih dari itu, setiap kali datang musim penghujan, banjir siap menerjang.
Pun demikian halnya budaya antri. Kurang tertanamnya budaya antri kerap memunculkan gesekan-gesekan emosional, cek-cok, bahkan tragedi. Sebagai misal, tragedi maut yang merenggut nyawa manusia akibat antri menerima zakat dari salah seorang pengusaha di Jawa Timur. Jauh sebelum itu pun insiden serupa selalu dijumpai. Tak jauh beda dengan budaya bersih dan tertib lalu lintas. Minimnya kesadaran untuk mentaati aturan lalu lintas mengakibatkan angka kecelakaan melejit. Tidak sedikit pengguna jalan meregang nyawa akibat kecelakaan.                                       
Dalam konteks yang lebih luas lagi, kesenjangan antara Islam teori dan praktek juga menjadi tontonan miris. Secara lahiriah, formal, dan skriptural, simbol-simbol agama, spiritulitas dan religiusitas memang mewarnai denyut nadi kehidupan sosial-keagamaan. Kelompok-kelompok pengajian tumbuh bak jamur dimusim hujan baik ditengah masyarakat maupun lingkungan birokrasi. Instansi-instansi pemerintah dan swasta ditumbuhi masjid, seragam kebesaran elit politik dan pejabat publik dianggap tidak etis jika tidak menyertakan pernak-pernik atau asesoris bernuansa islami seperti kopiah atau peci.  
Lagi-lagi, simbol-simbol agamis yang ditampakkan bertentangan dengan gaya atau pola kehidupan sehari-hari, lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kususnya tindak-tanduk elit politik, pebegak hokum, dan birokrat. Korupsi mentradisi, jual-beli hukum menjadi tontonan, suap-menyuap meraja-lela, antar elit politik saling tikam dari belakang, ketimpangan antara si kaya dan kaum papa kian akut, yang kuat melindas yang lemah, kejahatan ilegal loging marak, tawuran menjadi menu sehari-hari, dan sebagainya. Hal demikian menandakan bahwa Islam secara kaffah (komprehensif) dan sempurna (kamil) belum benar-benar dijalankan.
Kesalehan sosial
Dari potret semua anomali dan kesenjangan keberislaman antara teori dan praktek diatas, layak diajukan semacam tesis bahwa Islam belum sepenuhnya terinternalisasi dalam denyut nadi kehidupan warga bangsa Indonesia. Islam masih cuma polesan kosmetik semata untuk mempercantik raut muka lahiriah, belum menyentuh aspek susbtansial. Parahnya lagi, Islam pun kerap dijadikan kedok, topeng dan artifisial oleh elit-elit politik tertentu untuk tujuan-tujuan politis temporer.
Menyambut momentum ramadan dan jelang 1 sawal sebagai Hari Besar muslim di seluruh dunia tak terkecuali muslim Indoesia, sedikit banyak tentu berharap lahirnya kualitas individu-individu yang konsisten membumikan Islam dalam keseharian. Dari berbagai strata dan profesi, terlebih elit-elit politik terpilih pada pemilu 2009 lalu, dinantikan kesuksesannya dalam melakukan proses-proses individuasi diri dibulan ramadan. Tak cuma kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial dan plitik.
Islam merupakan ajaran yang sempurna. Mulai dari bangun tidur hingga persoalan negara terangkum didalamnya. Kebersihan, anjuran hidup tertib dan disiplin intrinsik dalam Islam. Islam menuntut realisasi janji-janji (politik), melaknat perbuatan korupsi dan mencecar elit-elit politik yang mangkir dari amanah, tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Semoga!   
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Kesalehan nasional pascaramadan”:

Leave a comment