Tradisi Gunungan, Perjumpaan Agama dan Budaya
Oleh: Agung Suseno Seto*
Komunitas Pasar Gede, salah satu pasar tradisional di Solo, merayakan hari ulang tahun (ultah)nya yang ke-80 Kamis (12/1). Ekspresi penuh antusias komunitas Pasar Gede dan pengunjung dalam perayaan itu menandakan kebersemangatan mengisi ruang-ruang pasar untuk mencari mengais rejeki. Walau terus digempur kehadiran pasar-pasar modern seperti mall, mini market, dan sejenisnya, Pasar Gede yang diresmikan pertama kali oleh Paku Buwono X dan Gusti Ratu Hemas pada tahun 1930 dengan arsiteknya Hermas Thomas Karsten, masih terlihat ramai setiap harinya.
Roti tar berbentuk tumpeng yang menyerupai gunungan dibuat setinggi hampir 4 (empat) meter. Komunitas Pasar Gede maupun pengunjung ramai-ramai mengelilingi gundukan roti yang kemudian dimakan bersama.
Dibalik antusiasme ultah itu, pesan agama, sosial, dan budaya menyumbul disamping juga pesan politik. Untuk yang terakhir, pesan politik, terepresentasikan oleh letak Pasar Gede yang bisa dibilang hampir berhadapan dengan pusat (sentral) pemerintahan Kota Solo, yakni Gedung Wali Kota. Sejatinyalah Wali Kota Solo dan aparat pemerintahan melihat perayaan itu sekaligus menaruh simpati dan perhatian lebih memajukan Pasar Gede dan pasar-pasar tradisional lainnya sekaligus tanggung jawab melestarikan budaya lokal dalam bungkus tradisi gunungan.
Gunungan merupakan simbol agama sekaligus simbol budaya, hasil dari sebuah proses dialektika agama dan budaya. Bentuk yang sama juga ditemui pada penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad yang ditransformasikan melalui Sekaten (dari “syahadatain”, dua kalimat syahadat: laailaha illa Allah wa Muhammad Rasul Allah). Dalam Sekaten-an, sebuah gunungan disusun dari berbagai buah-buahan, telur dan makanan, kemudian digotong dari Kraton menuju halaman Masjid Agung, dibuat panggung, didendangkan gamelan dan sebagainya.
Dalam sejarahnya, gunungan sebagai simbolisasi budaya dan agama bukanlah monopoli Islam Jawa ansich. Pada abad ke-11 M, orang-orang Islam telah memiliki pengetahuan tentang kebudayaan dan agama Hindu, sebagaimana kebudayaan Yunani, China, Kristen dan Persia (Annemarie Schimmel:1981). Di Asia, kususnya Asia Tenggara, pemujaan terhadap Gunung dikaitkan dengan raja-raja Asia Tenggara. Raja-raja itu merasa keturunan dewa-dewa yang berasal dari puncak gunung. Misal, sejarah Melayu yang menyebut raja-raja Melayu berasal dari Bukit Siguntang. Atau, legenda Watu Gunung di Jawa maupun Dinasti Syeilendera yang sengaja menamakan dirinya sebagai raja-raja Gunung.
Gunung juga merupakan simbol tempat pertemuan manusia dengan Tuhan atau Dewa. Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, nabi Musa menerima titah Tuhan di Thursina atau puncak Bukit Sinai. Selain itu, Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri, atau makam raja-raja Jawa yang didirikan diatas bukit seperti Imogiri di Yogyakarta dan Asta Tinggi, Sumenep. Pun, Gunung menjadi simbol pengetahuan tertinggi, simbol kesuburan, kemakmuran serta pusat kehidupan dunia. Ada juga, diatas istana raja-raja Jawa, Sumatera dan Siamm memiliki semacam gunungan. Gunungan juga bisa di presentasikan sebagai Stupa Emas di Bangkok, Tamansari di Yogyakarta dan Cirebon, dalam bentuk lingga seperti Tugu Monas Jakarta dan lain-lain.
Estetika profetik
Roti berbentuk gunungan yang dimakan bersama-sama oleh komunitas Pasar Gede maupun pengunjung dapat dimaknai sebagai simbol aktualisasi pemerataan untuk kemakmuran, kesejahteraan dan kesentosaan sekaligus kemurahan hati bagi sesama. Melalui simbolisasi gunungan itu pula hakikat dan ajaran moral dipancarkan dan diaktualisasikan. Tidak berlebihan jika dikatakan dalam tradisi tersebut terjadi proses dialektika agama dan budaya serta menjadi wahana melestarikan nilai-nilai pengabdian dan pemujaan atas kebesaran Tuhan (Musa Asy’ari:2000).
Selama ini ada semacam kekhawatiran terhadap hubungan antara agama dan budaya. Kekhawatiran tersebut berangkat dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan yang profan. Secara eksistensial, bila ketuhanan (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang dimaksud “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan (Allah) dalam prilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Agama yang sakral menjadi substansi atau inti kebudayaan. Kebudayan merupakan konfigurasi semangat agama (Amin Abdullah: 2000).
Untuk konteks yang lebih aktual lagi, dibalik tradisi kebudayaan itu tersimpan semangat keagamaan yang dapat menjadi tiang penyangga dan pemelihara kualitas kerohanian masyarakat, yakni pengalaman estetik spiritual. Dari pengalaman itu kemudian muncul dan lahir kesadaran religiusitas yang tinggi dan dalam. Dan dari sini pula keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik dapat terjaga sebagai dampak dari arus perubahan maupun transformasi sosial yang berjalan sangat cepat berikut kompleksitas yang menyertai.
Berkaca dari pengalaman Solo yang identik dengan “sumbu pendek”, aktualisasi-aktualisasi simbol-simbol agama dan budaya diatas dapat memberi andil positif dan mencerahkan. Oleh karenanya perlu terus dilakukan re-aktualisasi dan dikembangkan secara kreatif, dinamis dan responsif. Individu maupun kolektif yang tidak tersentuh oleh pengalaman estetik spiritual emosinya tidak stabil dan dapat memicu ketegangan-ketegangan sosial atau tindakan kekerasan.
Akhirnya, kalau perayaan Sekaten gunungan dibawa ke halaman masjid untuk kemudian dinikmati oleh khalayak penduduk sebagai bentuk kemurahan “penguasa”, roti tar raksasa di ultah Pasar Gede ke-80 perlu digotong ke depan kantor Wali Kota Solo. Dengan demikian pesan kritik sosial lebih membumi lagi, yakni Wali Kota sebagai simbol kekuasaan politik dapat merealisasikan komitmen kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Solo.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Komunitas Pasar Gede, salah satu pasar tradisional di Solo, merayakan hari ulang tahun (ultah)nya yang ke-80 Kamis (12/1). Ekspresi penuh antusias komunitas Pasar Gede dan pengunjung dalam perayaan itu menandakan kebersemangatan mengisi ruang-ruang pasar untuk mencari mengais rejeki. Walau terus digempur kehadiran pasar-pasar modern seperti mall, mini market, dan sejenisnya, Pasar Gede yang diresmikan pertama kali oleh Paku Buwono X dan Gusti Ratu Hemas pada tahun 1930 dengan arsiteknya Hermas Thomas Karsten, masih terlihat ramai setiap harinya.
Roti tar berbentuk tumpeng yang menyerupai gunungan dibuat setinggi hampir 4 (empat) meter. Komunitas Pasar Gede maupun pengunjung ramai-ramai mengelilingi gundukan roti yang kemudian dimakan bersama.
Dibalik antusiasme ultah itu, pesan agama, sosial, dan budaya menyumbul disamping juga pesan politik. Untuk yang terakhir, pesan politik, terepresentasikan oleh letak Pasar Gede yang bisa dibilang hampir berhadapan dengan pusat (sentral) pemerintahan Kota Solo, yakni Gedung Wali Kota. Sejatinyalah Wali Kota Solo dan aparat pemerintahan melihat perayaan itu sekaligus menaruh simpati dan perhatian lebih memajukan Pasar Gede dan pasar-pasar tradisional lainnya sekaligus tanggung jawab melestarikan budaya lokal dalam bungkus tradisi gunungan.
Gunungan merupakan simbol agama sekaligus simbol budaya, hasil dari sebuah proses dialektika agama dan budaya. Bentuk yang sama juga ditemui pada penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad yang ditransformasikan melalui Sekaten (dari “syahadatain”, dua kalimat syahadat: laailaha illa Allah wa Muhammad Rasul Allah). Dalam Sekaten-an, sebuah gunungan disusun dari berbagai buah-buahan, telur dan makanan, kemudian digotong dari Kraton menuju halaman Masjid Agung, dibuat panggung, didendangkan gamelan dan sebagainya.
Dalam sejarahnya, gunungan sebagai simbolisasi budaya dan agama bukanlah monopoli Islam Jawa ansich. Pada abad ke-11 M, orang-orang Islam telah memiliki pengetahuan tentang kebudayaan dan agama Hindu, sebagaimana kebudayaan Yunani, China, Kristen dan Persia (Annemarie Schimmel:1981). Di Asia, kususnya Asia Tenggara, pemujaan terhadap Gunung dikaitkan dengan raja-raja Asia Tenggara. Raja-raja itu merasa keturunan dewa-dewa yang berasal dari puncak gunung. Misal, sejarah Melayu yang menyebut raja-raja Melayu berasal dari Bukit Siguntang. Atau, legenda Watu Gunung di Jawa maupun Dinasti Syeilendera yang sengaja menamakan dirinya sebagai raja-raja Gunung.
Gunung juga merupakan simbol tempat pertemuan manusia dengan Tuhan atau Dewa. Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, nabi Musa menerima titah Tuhan di Thursina atau puncak Bukit Sinai. Selain itu, Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri, atau makam raja-raja Jawa yang didirikan diatas bukit seperti Imogiri di Yogyakarta dan Asta Tinggi, Sumenep. Pun, Gunung menjadi simbol pengetahuan tertinggi, simbol kesuburan, kemakmuran serta pusat kehidupan dunia. Ada juga, diatas istana raja-raja Jawa, Sumatera dan Siamm memiliki semacam gunungan. Gunungan juga bisa di presentasikan sebagai Stupa Emas di Bangkok, Tamansari di Yogyakarta dan Cirebon, dalam bentuk lingga seperti Tugu Monas Jakarta dan lain-lain.
Estetika profetik
Roti berbentuk gunungan yang dimakan bersama-sama oleh komunitas Pasar Gede maupun pengunjung dapat dimaknai sebagai simbol aktualisasi pemerataan untuk kemakmuran, kesejahteraan dan kesentosaan sekaligus kemurahan hati bagi sesama. Melalui simbolisasi gunungan itu pula hakikat dan ajaran moral dipancarkan dan diaktualisasikan. Tidak berlebihan jika dikatakan dalam tradisi tersebut terjadi proses dialektika agama dan budaya serta menjadi wahana melestarikan nilai-nilai pengabdian dan pemujaan atas kebesaran Tuhan (Musa Asy’ari:2000).
Selama ini ada semacam kekhawatiran terhadap hubungan antara agama dan budaya. Kekhawatiran tersebut berangkat dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan yang profan. Secara eksistensial, bila ketuhanan (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang dimaksud “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan (Allah) dalam prilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Agama yang sakral menjadi substansi atau inti kebudayaan. Kebudayan merupakan konfigurasi semangat agama (Amin Abdullah: 2000).
Untuk konteks yang lebih aktual lagi, dibalik tradisi kebudayaan itu tersimpan semangat keagamaan yang dapat menjadi tiang penyangga dan pemelihara kualitas kerohanian masyarakat, yakni pengalaman estetik spiritual. Dari pengalaman itu kemudian muncul dan lahir kesadaran religiusitas yang tinggi dan dalam. Dan dari sini pula keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik dapat terjaga sebagai dampak dari arus perubahan maupun transformasi sosial yang berjalan sangat cepat berikut kompleksitas yang menyertai.
Berkaca dari pengalaman Solo yang identik dengan “sumbu pendek”, aktualisasi-aktualisasi simbol-simbol agama dan budaya diatas dapat memberi andil positif dan mencerahkan. Oleh karenanya perlu terus dilakukan re-aktualisasi dan dikembangkan secara kreatif, dinamis dan responsif. Individu maupun kolektif yang tidak tersentuh oleh pengalaman estetik spiritual emosinya tidak stabil dan dapat memicu ketegangan-ketegangan sosial atau tindakan kekerasan.
Akhirnya, kalau perayaan Sekaten gunungan dibawa ke halaman masjid untuk kemudian dinikmati oleh khalayak penduduk sebagai bentuk kemurahan “penguasa”, roti tar raksasa di ultah Pasar Gede ke-80 perlu digotong ke depan kantor Wali Kota Solo. Dengan demikian pesan kritik sosial lebih membumi lagi, yakni Wali Kota sebagai simbol kekuasaan politik dapat merealisasikan komitmen kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Solo.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
0 Responses to “Tradisi Gunungan, Perjumpaan Agama dan Budaya”: