Menanti wakil rakyat negarawan

Oleh: Agung Suseno Seto*
Pemilihan umum legislatif periode 2009-2014 telah usai digelar. Debar jantung dan rasa was-was calon legislatif terjawab sudah. Tanpa diwarnai kendala berarti seperti konflik, gesekan-gesekan fanatis antar pendukung, dan huru-hara lainnya, sukses pemilu legislatif Kamis, 9 April 2009 lalu patut diberi apresiasi positif.  
Bagi caleg yang kalah dalam persaingan, harus menerima secara legowo dan elegan mengakui ketangguhan lawan-lawan politik. Adapun terhadap caleg terpilih, tangga berikutnya adalah duduk dikursi dewan (DPR/DPRD/DPD) dengan menggendong setumpuk program politik yang telah diwartakan kepada audien atau konstituen. Sebab, kemenangan suara yang telah diraup sarat dengan amanah dan tanggung jawab.  
Tangga dimaksud bukanlah susunan bertingkat dari papan kayu atau besi sebagaimana tangga yang kita pahami selama ini. Bukan tangga sebagai alat untuk menjangkau sesuatu yang lebih tinggi. Akan tetapi, tangga yang terdiri dari tumpukan, kumpulan, dan susunan suara politik masyarakat pemilih. Diatas tumpukan suara rakyat itulah caleg itulah berdiri tegak, tegap, dan gagah.
Oleh karenanya jika caleg terpilih abai akan peran, fungsi, dan tugas-tugas keterwakilannya, itu sama saja dengan menginjak-injak harga diri dan martabat ribuan bahkan jutaan konstituen yang rela dan sudi mempertaruhkan pilihan politik pada saat hari “H” pencontrengan.  
Pesan implisit dari sekelumit ilustrasi atau pengandaian diatas hendak mengatakan bahwa jabatan wakil rakyat adalah kepanjangan tangan rakyat yang kelak menjadi pengibar bendera aspirasi. Jabatan prestis kursi anggota dewan bukanlah ladang mencari kesenangan, keuntungan, dan pekerjaan untuk pribadi, keluarga atau golongan. Namun berdiri diatas tanggung jawab dan amanah rakyat, bangsa, dan negara.
Pemilu legislatif 2009 yang ditegakkan berdasar sistem politik yang dinilai lebih demokratis, berdaulat, dan sesuai suara rakyat tentunya harus lebih menampakkan citra positif dibanding legislatif produk pemilu 2004. Apalagi pengorbanan dan ongkos menuju sukses terselenggaranya pemilu legislatif tidaklah sedikit. tenaga, pikiran, danuang jor-jorang tercurah. Bahkan, integritas dan solidariats anak bangsa juga dipertaruhkan.
Pengorbanan lain yang patut diperhatikan adalah ketidakengganan masyakat untuk setia memberikan suaranya dan penuh optimis membubuhkan harapan dan doa kepada caleg pilihan agar kelak jika terpilih berpola sewajarnya dan tidak keluar dari koridor atau kode etik jabatan yang diemban.
Ditengah coreng-moreng dan remuk redam kredibilitas lembaga dewan selama ini ternyata tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk selalu menaruh rasa percaya. Sabar menjadi kata yang pas untuk dilekatkan kepada masyarakat saat ini. Nah, selayaknya bangsa ini berterima kasih kepada masyarakat yang selalu sabar dan masih menaruh keyakinan akan masa depan lembaga dewan sebagai candradimuka dan gawang aspirasi. 
Dalam lingkaran sistem politik demokrasi saat ini, partisipasi masyarakat menjadi hal yang mutlak. Tanpa partisipasi masyarakat, jabatan kekuasaan demokratis akan kosong dari legitimasi politik. Kekosongan inilah yang bisa membahayakan bangsa dan negara karena kepemimpinan yang ada rawan terjungkal dalam ketidakpastian dan mudah terombang ambing.
Fakta partisipasi politik masyarakat dari pesta demokrasi satu ke pesta demokrasi lainnya menunjukkan intensitas yang cenderung terus menurun. Obrolan politik seputar golongan putih atau golput menjadi menu sehari-hari. Bahkan temuan beberapa lembaga penelitian terkait sikap politik golput pada ajang pesta demokrasi pemilu legislatif 2009 kali ini mencapai 40% (empat puluh persen).s
Sejenak membalikan perhatian kebelakang, pada pemilu 1999 yang berdekatan dengan dibukanya pintu reformasi, antusiasme masyarakat mengikuti pemilu legislative nyaris terlihat menggelegar. Pun demikian pada saat pemilu 2004. Namun karena janji-janji program politik caleg terpilih 1999 maupun 2004 tak kunjung terwujud, dalam rentetan pemilihan kepala daerah (pilkada) diseluruh Indonesia, respon masyarakat dalam pemilihan tampak menyusut.
Alasan-alasan mengapa menyusutnya tingkat partisipasi politik masyakat tentu saja mudah dipahami. Alasan yang paling logis dan rasional kemungkinan besar adalah karena masyarakat sudah jengah dan bosan kepada pola dan laku elite-elite politik. Alih-alih memegang dan merealisasikan janji-janji program politik, elit-elite politik malah menjadi pelaku korupsi itu sendiri yang seharus diberantas.
Bersama-sama mata kepala kita telah menyaksikan perayaan pemilu legislatif 2009. Tidak ada yang bisa menjamin apakah lakon yang dimainkan oleh anggota dewan kedepan lebih baik, sama saja, atau tambah kusut dan buram. Harapan publik tentu wakil rakyat terpilih mampu menunjukkan jiwa patriotisme dan semangat kenegarawanan dalam berbangsa dan bernegara.
Sikap keberterimaan masyarakat yang masih mau turut andil dalam hajatan pesta demokrsai harus dimaknai sebagai rasa cinta tanah air, bangsa, dan negara biarpun selama ini sadar akan posisi subordinat, objek, konsumen, dan komoditas politik. Sikap welas asih masyarakat akan nasib bangsa selayaknya didudukkan sebagai bentuk rekonsiliasi dan afiliasi kesadaran kolektif menuju Indonesia lebih baik dan bermartabat. Selamat kepada wakil rakyat terpilih. Masa depan bangsa ada dipundak kalian!                          
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Menanti wakil rakyat negarawan”:

Leave a comment