Menemukan Muhammadiyah “Yang Asing”

Oleh: Agung Suseno Seto*
Kehadiran awal Muhammadiyah dalam sejarahnya tampil dengan wajahnya “yang asing”. Ditengah keterpurukan berfikir dan deru bising mesin-mesin penjajahan kolonial yang berdampak pada langgengnya kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan sebagainya, Muhammadiyah dengan gigihnya menyerukan revolusi berfikir (ijtihad), kebangkitan nasionalisme, menggalakkan pendidikan, dan meramaikan gerakan amaliyah. Dimata penjajah kolonial, Muhammadiyah jelas menjadi gerakan “yang asing”. Bahkan, sementara warga pribumi pun memandang Muhammadiyah sebagai sesuatu “yang asing”.
Muhammadiyah berpegang pada prinsip keterbukaan, toleran, bersendikan semangat pluralisme. Disaat sebagian warga pribumi ramai-ramai meneriakkan anti kolonial berikut sistem atau model pendidikan kolonial Belanda yang sekuler, Muhammadiyah tampil dengan penuh keterbukaan. Tak hanya mengadopsi sistem pendidikan sekolah model Belanda yang sekuler, tapi juga terbuka terhadap siswa-siswa non-muslim (Kristen) maupun abangan. Tak lain, bangunanan ideologis Muhammadiyah berpijak pada prinsip gerak iman (tauhid), amal sahaleh, birr, amar ma’ruf nahi mungkar dan fastabiqul khoirot (berkarya dan ber-inovasi) (Ahmad Jainuri:2002).
Mencari dan menemukan Muhammadiyah “yang asing” tentu perlu terus-menerus diupayakan agar vitalitas Muhammadiyah tetap menemukan relevansinya. Apalagi, apa yang menjadi prinsip Muhammadiyah dulu seiring sebangun dengan realitas objektif bangsa, yakni keniscayaan pluralitas baik politik, agama, bahasa, budaya dan etnis. Pertanyaanya, adakah kini Muhammadiyah “yang asing” itu? Bagaimana menemukan wajah Muhammadiyah “yang asing” dalam konteks keniscayaan pluralitas sebagai warisan otentik bangsa?   
“Yang asing”
Muhammadiyah “yang asing” tentu bukan dalam arti eksklusif, terisolasi, dan teralienasi dari dinamika sosial masyarakat, tapi asing karena ide-ide cerdas, kreatif dan inovatif. Muhammadiyah “yang asing” adalah Muhammadiyah “yang lain” –meminjam istilah Abdul Mu’ti- agar terhindar dari kesan-kesan eksklusif. Beberapa literatur sejarah menyebutkan, bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah untuk membendung arus kristenisasi di Indonesia, Muhammadiyah dibentuk menjadi rival Kristen. Selain itu, Muhammadiyah juga kerap diidentikkan sebagai anti tradisi lokal, radikal dan tidak toleran sebagai konsekuensi puritanisme Muhammadiyah. Muhammadiyah “yang asing” adalah bertolak dari tesis Aboul Fadl (2005:95) yang melihat bahwa ideologi puritan cenderung eksklusif, tidak ramah keberbedaan dan anti dialog.                                 
Dalam tilikam banyak pengamat, kesan-kesan diatas dalam sejarahnya tidaklah selalu benar. Orientasi gerakan Muhammadiyah terbukti sangat menekankan pentingnya ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda. Akar-akar toleransi, pluralisme, ideologi sosial, dan relativisme (terbuka terhadap ide-ide baru dan prinsip ijtihad) ada dalam Muhammadiyah.            
Temuan Mitsou Nakamura (1976), James L Peacock (1980), Ahmad Jainuri (2002) dan Alwi Shihab (1998) misalnya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat dan pemeluk agama lain, kususnya Kristen/Katolik. Pun demikian dengan temuan Alfian (1989), MT Arifin (1987), dan Amir Hamzah Wirjosukarto (1962). Ketiganya menemukan bahwa Muhammadiyah, baik dalam politik maupun pendidikan cukup besar andilnya dalam memajukan bangsa, salah satunya adalah menentang sangat keras kebijakan pemerintah kolonial yang kontra produktif terhadap kebebasan beragama seperti Ordonansi Guru.
Melengkapi temuan-temuan Muhammadiyah “yang asing” itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, 2000) juga sempat mengelontorkan wacana terkait pandangan Muhammadiyah mengenai pluralisme. MTPPI menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme kususnya menyangkut pandangan terhadap Ahlul Kitab, kerja sama antarumat beragama, keadilan sosial dan pernikahan beda agama.
Muhammadiyah mutakhir           
Meneropong Muhammadiyah “yang asing” untuk konteks mutakhir juga telah dilakukan oleh aktivis Muhammadiyah Abdul Mu’ti bersama Fajar Riza ul-Haq (2009) Kristen Muhammadiyah, Kovergensi Muslim Kristen dalam Pendidikan. Arah kajian Muhammadiyah “yang asing” ini mengeksplorasi domain pluralisme agama dalam institusi pendidikan yang sebenarnya mampu menceritakan potret (lain) dari interaksi Muhammadiyah dengan umat beda agama.
Mu’ti dan Fajar menyerukan cara pandang baru dalam melihat Muhammadiyah “yang asing”, yakni selangkah lebih maju dengan sudi keluar dari dominasi pengidentifikasian ke-jawa-an sebagai pusat tafsir atas Muhammadiyah. Muhammmadiyah “yang asing” pun ditemukan dibelahan Timur Indonesia yakni seperti di Ende, Flores Nusa Tenggara Timur dan Serui, Yapen Warupen, Papua yang notabene mayoritas Kristen/Katolik. Terminologi Kristen-Muhammadiyah (Krismuha) tepat untuk disematkan sebagai konsekuensi logis perjumpaan sosiologis antara Muslim dan Kristen dilingkungan institusi pendidikan Muhammadiyah. Krismuha adalah arti lain dari orang-orang Kristen yang sangat memahami, menjiwai dan mendukung gerakan Muhammadiyah.
Dengan demikian, menemukan Muhammadiyah “yang asing” semisal lainnya menjadi penting ditengah tantangan kehidupan akan masa depan pluralisme di Indonesia. Tentu, prasarat tak terelakkan yang perlu dikedepankan agar menemukan Muhammadiyah “yang asing” lainnya adalah menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan akomodatif, tidak monolitik, toleran, inklusif, kemampuan melakukan objektivikasi dakwah Islam dan –meminjam bahasa James L Peacock (1980)- rasionalisasi kebudayaan.     
Akhirnya, apa yang terekam dalam studi  atau kajian ilmiah sebagai hasil potret kiprah dan kontribusi Muhammadiyah dalam pentas sejarah umat dan bangsa, tentu menjadi asing pada zamannya. Asing dalam arti sebuah temuan kebaruan, kreatifitas, dan inovasi, perlu terus digalakkan sesuai tuntutan zaman.       
*) Aktivis IMM Sukoharjo                       

0 Responses to “Menemukan Muhammadiyah “Yang Asing””:

Leave a comment