Mencari dalang wayang ideal

Oleh: Agung Suseno Seto*)
Akhir tahun 2009 lalu, Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan (POPK) menyusun kalender acara untuk tahun 2010. Tujuannya adalah mempromosikan kegiatan pariwisata di Sukoharjo agar memberi keuntungan lebih bagi daerah, yakni meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ditengarai, objek wisata di Kabupaten Sukoharjo Makmur ini sulit diharapkan. Salah satu agenda Dinas POPK adalah memasukkan kegiatan Paguyuban Dalang Waton (Pandawa).
Pandawa dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dalang agar masyarakat dengan menemukan dalang-dalang berkualitas dan profesional. Selama ini dalang yang dikenal masyarakat tidak beranjak kesosok-sosok yang lain, hanya itu-itu saja. Ada semacam gejala stagnasi kaderisasi dalang di dunia tradisi pewayangan masyarakat Sukoharjo. Melalui Pandawa, Dinas POPK akan membantu para dalang untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam bentuk pementasan wayang. Rencananya tiap malam Minggu Kliwon Dinas POPK akan menyajikan suguhan wayang kulit. Dalang yang bermain adalah dalang yang tergabung dalam Pandawa. 
Wayang, seperti juga produk-produk seni tradisi lainnya, eksistensinya kian terpinggirkan. Dominannya disebabkan pengaruh modernitas. Masyarakat lebih memilih memalingkan langkahnya menuju bioskop, mall, di depan televisi, diskotik dan sebagainya. Transformasi sosial budaya yang menghadirkan simbol-simbol dan baju modernitas dicurigai sebagai penyebab utama tersisihnya eksistensi seni tradisi.
Apa yang dilakukan Dinas POPK Sukoharjo dengan mengorganisir dalang dalam wadah Pandawa membersitkan kesan bahwa minimnya apresiasi masyarakat terhadap wayang karena faktor dalang. Padahal, dari perspektif sosial keagamaan, pergeseran pola keberagamaan masyarakat juga mempengaruhi. Artinya, budaya keberagamaan perlu dilihat sejenak yang kemungkinan menjadi satu dari sebab mengapa seni tradisi wayang atau budaya lokal lainnya tergerus oleh zaman. Itu artinya, potensi lenyapnya seni tradisi tidak hanya disebabkan oleh gempuran modernisasi atau minimnya kreatifitas dalang, tapi juga keyakinan pemahaman agama yang cenderung anti mitos, takhayul, khurofat, bid’ah dan sebagainya.
Kebutuhan menempatkan akar persoalan diluar modernitas menjadi penting agar kreatifitas dalang se-elegan dapat mengakomodasi atau menyesuaikan dengan karakter keberagamaan yang terus berubah. Disinilah peran dalang untuk mendialektikakan pemahaman konsep dan ide wayang dengan agama.
Kekhasan wayang yang lebih mengedepankan mitologi, atau cerita-cerita irasional bukanlah semata musuh modernitas yang rasionalistik dan positivistik, namun juga musuh agama, kususnya dalam konsep tauhid (akidah). Asumsi demikian didasarkan pada gejala keberagamaan dengan polanya yang formal-skriptural, mempertentangkannya dengan konsep-konsep budaya lokal karena dianggap tidak sah menurut akidah. Pada akhirnya, pemahaman demikian berpotensi menjadi mesin penggilas seni tradisi atau budaya lokal.  
Maka, antara agama dan tradisi lokal perlu adanya sikap saling pro-aktif dan adaptif, memunculkan suatu pemahaman agama dan budaya yang saling mengisi, menginspirasi, dan dapat melahirkan ruang-ruang dialektis kreatif. Dari sinilah kemudian kekayaan makna baru diproduksi, keduanya akan berjalan beriringan. Secara eksistensial, keduanya pun pada dasarnya merupakan teks yang meniscayakan sebuah gerak interpretasi, penafsiran, dan kontekstualisasi sesuai kebutuhan zaman.
Pemahaman sebagai hasil dari proses panjang penafsiran mesti diaktualisasikan demi berkembangnya agama dan kebudayaan. Aktualisasi itu dilakukan dengan mentransformasikan pemahaman dan bentuk penafsiran ke dalam gagasan kehidupan lebih konkrit seperti sistem nilai, gambaran dunia dan pandangan hidup, juga dalam berbagai bentuk peribadatan, upacara keagamaan dan ekspresi budaya lainnya.
Penafsiran transformatif demikan harus dilakukan secara serentak terhadap gagasan keagamaan dan konsep-konsep kebudayaan untuk mencari makna yang dapat dipahami dan diakrabi tanpa mengorbankan luasnya dan kekayaan makna yang dikandung dalam gagasan awal. Agama dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Antara satu dan lainnya menjadi modalitas penting dalam mengekspresikan kemuliaan pandangan hidup. Bahkan, secara berbarengan ekspresi agama adalah juga ekspresi budaya, dan begitu sebaliknya. Mempertentangkan keduanya hanya akan menjadikan keduanya berjalan pincang.
Mengelus dada terus karena minimnya apresiasi masyarakat akan budaya lokal tidaklah cukup. Oleh karenanya, mendesak dijawab dengan sikap renponsif dan akomodatif antar satu dengan lainnya. Bukan tidak mungkin, dialektika demikian akan memunculkan pemaknaan baru dalam pandangan hidup sebagai tawaran alternatif menapaki kehidupan lebih baik.    
Jika suatu saat nanti masyarakat sudah jenuh oleh kepongahan budaya saat ini (materialis, hedomis, konsumeris, individualis, rasionalitas semu, dan lain-lain), agama dan budaya sudah siap menawarkan solusi kebermaknaan hidup sejati, dinamis dan transformatif.
Dalang integral
Akhirnya, iktikad baik Dinas POPK tidak cukup hanya disokong oleh pekerja seni dan budaya tanpa melibatkan elemen-elemen lain. Peran agamawan, guru, penafsir dan pengkaji agama, tokoh masyarakat dan lain-lain juga turut menentukan. Diranah praktis, pentas wayang perlu terus-menerus digalakkan. Namun yang tak kalah penting lagi adalah pewacanaan pemahaman antara agama dan budaya tidak harus diperhadap-hadapkan.    Sosok dalang perlu berkarakter integratif. Sosok yang tidak hanya dikenal sebagai budayawan, tapi juga pemuka agama, tokoh masyarakat, sastrawan, sekaligus intelektual.         
*) Aktivis IMM Sukoharjo           

1 Response to “Mencari dalang wayang ideal”:

  1. tampilane semakin ganas mas......

    okelah kalo beg...beg...beg....

    semangat \m/

Leave a comment