Gerakan Jilid II Muhammadiyah

Oleh: Agung Suseno Seto*
Untuk ukuran manusia, usia seabad (seratus tahun) bisa dibilang renta dan sudah menemukan senjakalanya. Namun bagi organisasi masyarakat sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, seratus tahun masih relatif muda, walau jauh lebih tua dibanding usia Indonesia yang baru-baru ini melahirkan belasan menteri dalam jargon Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang dikomandoi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kedewasaan Muhammadiyah perlu terus dimatangkan dalam mengawal pencarian jati diri bangsa ini yang seolah kian mengalami ambiguitas dan ambivalensi disegala lini. Fakta didepan mata adalah degradasi moral politik, karut-marut keadilan hukum, dan sebagainya.  
Memperingati seabad  usia Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyerukan program tahap kedua Muhammadiyah. Seruan itu dilontarkan disela-sela sesi sambutan dihadapan pembesar (pejabat) negara, pemimpin Partai Politik (Parpol), perwakilan ormas agama, dan lain-lain beberapa waktu lalu di Jakarta (24/11).
Jamak dipahami, Muhammadiyah sejauh ini memang sudah menjajaki proses-proses (tahap pertama) dengan segala capaian dan keberhasilannya. Oleh karenanya, apa yang ditoreh Muhammadiyah dulu dan kini harus dijadikan pijakan dalam menatap masa depan. Muhammadiyah tahap kedua yang diserukan Dien Syamsuddin perlu berpijak pada tahap pertama Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga usia seabad.
Pengawal kekuasaan
Berbagai temuan ilmiah terkait kontribusi Muhammadiyah menegaskan bahwa Muhammadiyah tak diragukan lagi komitmen kebangsaan dan ke-Indonesiaan-nya mulai dari aspek sosial, budaya hingga politik. Lebih-lebih politik.
Muhammadiyah dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Diatas pentas sejarah, kelahiran Muhammadiyah tak lepas dari respon atas politik kekuasaan. Alfian (1989) mencatat bahwa Muhammadiyah dalam politik cukup besar andilnya dalam memajukan bangsa. Sikap resistensi dan oposisi keras ditunjukkan Muhammadiyah terhadap kebijakan-kebijakan Belanda yang kontra-produktif dengan keberadaban.
Dalam konteks demokratisasi saat ini, berdasarkan patokan sejarah itu, adalah tepat kiranya jika Muhammadiyah memposisikan diri sebagai elemen yang kritis-konstruktif atas keputusan-keputusan politik yang ditelurkan pemerintah. Wajah Muhammadiyah dalam berhadapan dengan politik kekuasaan semestinya tidaklah monolitik. Pilihan-pilihan strategis dan jitu perlu dipikirkan. Keterkaitan Muhammadiyah dan politik merupakan pilihan rasional yang tak terbantahkan.
Dorongan mengenakan jubah kekuasaan politik praktis selayaknya disingsingkan guna menatap jalan mitra-kritis, otonom, independen, oposisi. Apalagi rencana agenda Muktamar Muhammadiyah ke-46, Yogyakarta, 3-8 Juli 2010, dengan tema ”Gerak Melintasi Zaman: Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama” juga sudah ditetapkan.
Kalau boleh penulis melintas diatas maksud tema diatas, “peradaban utama” yang termaktub tak lain adalah “masyarakat utama” yang kerap dipadankan dengan “masyarakat madani”. Bahkan ada juga sementara kalangan yang menyandingkannya dengan civil society.
Dalam banyak literatur, secara substansial istilah ini sering kali merujuk pada makna sebagai masyarakat beradab, lembaga atau perorangan yang “bukan negara”, masyarakat bukan militer atau masyarakat yang terpisah dari militer. Civil society adalah masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah dan yang bebas dari paksaan serta ancaman.
Hanya saja dalam tradisi Muhammadiyah, cita-cita civil society adalah salah satu varian dari gagasan besar Muhammadiyah yakni menciptakan masyarakat utama yang diridhoi oleh Allah SWT atau sebuah peradaban utama yang berdiri diatas peradaban yang dianjurkan atau telah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, yakni masyarakat madani.      
Wajah Muhammadiyah yang sarat gerakan civil society perlu terus dipolesi spirit kemandirian agar cita-cita awal Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial keagamaan dan pemberdayaan umat tidak pudar. Pengalaman mencatat, ketika Muhammadiyah terjebak dalam hiruk-pikuk politik praktis, Muhammadiyah hilang kendali dan keluar dari rel sebenarnya. Muhammadiyah lupa dan mengabaikan umat. Cita-cita kemaslahatan umat cenderung ditindih oleh obsesi membangun kemaslahatan politik kekuasaan dilevel struktural dengan mengorbankan keterbukaan Muhammadiyah.    
Penjaga budaya
Komitemn lainnya yang tak kalah penting adalah peneguhan Muhammadiyah sebagai payung, pelindung dan pintu penjaga tradisi lokal yang dimiliki bangsa ini yang juga sebagai penanda keberagaman (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Orientasi gerakan Muhammadiyah telah terbukti sangat menekankan pentingnya ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda. Akar-akar toleransi, pluralisme, ideologi sosial, dan relativisme (terbuka terhadap ide-ide baru dan prinsip ijtihad) ada dalam Muhammadiyah.            
Temuan Mitsou Nakamura (1976), James L Peacock (1980), Ahmad Jainuri (2002) dan Alwi Shihab (1998) misalnya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat. Melengkapi torehan-torehan Muhammadiyah diatas, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, 2000) juga telah menggelontorkan wacana terkait pandangan Muhammadiyah mengenai pluralisme. MTPPI menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme,
Terbuka
Oleh karenanya, prasarat yang perlu diletakkan diatas pundak Muhammadiyah agar menjadi pengawal kekuasaan, payung budaya, dan penjaga tradisi lokal bangsa adalah menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan terbuka, akomodatif, tidak monolitik, toleran, kemampuan melakukan objektivikasi dakwah Islam dan –meminjam bahasa James L Peacock (1980)- rasionalisasi kebudayaan.
Jika Muhammadiyah mengabaikan prasarat diatas bukan tidak mungkin Muhammadiyah akan kian diidentikkan sebagai anti tradisi lokal, radikal dan tidak toleran sebagai konsekuensi identifikasi gerakan puritan yang terlanjur dikantongi Muhammadiyah. Dampaknya, Muhammadiyah tidak lagi dimiliki oleh semua, tapi hanya milik segolongan tertentu. Dengan prasarat-prasarat diatas, Muhammadiyah tidak akan gamang berinovasi dan menemukan wajah Muhammadiyah yang kreatif sesuai tuntutan perubahan zaman. Agenda perubahan tahap kedua atau Jilid II dengan demikian bukanlah mimpi untuk diwujudkan. Semoga!      
 *) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Gerakan Jilid II Muhammadiyah”:

Leave a comment