Stop! Kaderisasi Teroris Kampus

Oleh: Agung Suseno Seto
 
    …menanggulangi kekerasan agama (terorisme) ternyata pada akhirnya terletak pada apresiasi terhadap pembaruan agama itu sendiri. (Mark Juergensmeyer, 2003:366).     
Tesis diatas diungkapkan seorang pakar terorisme kontemporer, Mark Juergensmeyer. Bagi Mark, kekerasan berbau agama merupakan fase transisi yang diyakini akan berakhir, tapi sebuah akhir bersarat. Sarat itu yakni perlu adanya apresiasi pembaruan terhadap pemahaman agama. Pembaruan disini adalah sudi melepas baju politis-ideologis absolut, skriptural, formal dan simbolis terhadap agama dari kehidupan publik yang kemudian diganti dengan pakaian bersih-murni dan substansial. Jalannya, yaitu dengan membaca agama secara kritis-konstruktif berbasis keadilan (justice), kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), dan berkemajuan (progress).
Lalu, apa hubungan tesis diatas dengan fenomena teroris mahasiswa yang belakangan ini kerap dibicarakan banyak kalangan? Sebagaimana banyak diberitakan media massa belakangan ini, Fajar Firdaus, Sony Jayadi, dan Afham Ramadan yang ketiganya masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Sahid) Jakarta, ditangkap polisi karena diduga terlibat jaringan teroris. Tak syak lagi, kampus yang notabene dihuni kaum mahasiswa terdidik, pintar, kritis, dan intelek adalah tulang punggung dan pengawal pembaruan pemahaman agama itu sendiri. 
Pertanyaanya, adakah yang salah dengan  cara pandang mereka terhadap agama? Siapa yang paling bertanggung jawab membendung kaderisasi teroris mahasiswa?     
Absolutisme politik
Tesis Mark diatas juga memberi pemahaman bahwa dalam pembaruan pemahaman agama perlu disesuaikan dengan perubahan zaman kini; laju modernisasi yang kian tak terbendung, desakan telak globalisasi, dan pelbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Jika perubahan zaman kini yang berakar pada cara pandang sekularistik itu tidak dijawab dengan pemahaman agama yang baru, agama berpotensi ditempatkan secara ideologis, absolut, skriptural, formal dan simbolis. Pada ranah inilah kekerasan berbasis agama hadir karena bertemali dengan realitas sosial-politik konkrit. Agama hendak direkomendasikan ketengah kehidupan publik sebagai jawaban solutif atas anomali-anomali kehidupan publik akibat dominasi perubahan zaman yang sekularistik.
Pada akhirnya, agama akan bergandengan dengan dinamika sosial-politik dan keniscayaan benturan-benturan dengan kekuasaan politik formal. Hal demikian berangkat dari cara pandang bahwa agama dan politik memiliki keterpaduan absolut. Modernisme,  globalisme, dan derivasinya yang sekularistik adalah produk generasi atau orang-orang yang tanpa iman, tidak bertuhan, miskin moralitas, kafir, musyrik, dan sebagainya. Sebuah cara pandang yang mampu menggerakkan otak pikiran, jiwa dan raga untuk melakukan tindakan bom bunuh diri. Sebuah tindakan yang memiliki justifikasi akan kekuatan-kekuatan absolut, transendental dan suci (qudus).
Maka, selama agama diterjunbebaskan dalam dinamika sosial-politik yang idiologis, skriptural, formalis, dan simbolis, potensi-potensi kekerasan akan tetap menyeruak. Perlu diperhatikan, menarik keluar agama dari pentas politik formal bukan berarti memarginalkan peran agama dari dinamika sosial-politik publik, namun menyelamatkan agama dari objek “kuda tunggangan” atau justifikasi semu untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertolak belakang dengan spirit agama itu sendiri.      
Basis wacana
Kemampuan mahasiswa sebagai kaum terdidik, kritis, pintar dan intelek adalah modal merambah jalan pembaruan pemahaman agama. Hal demikian sekaligus menjadi benteng paling efektif dan strategis membendung kederisasi teroris mahasiswa. Lingkungan mahasiswa harus diperkuat dengan basis wacana dan pemikiran keagamaan. Bukan hanya wacana keagamaan yang bersifat normatif-tekstual, tapi juga dilandasi basis metodologis komprehensif dan kritis-konstruktif. 
Dengan basis metodologis itulah, pengkajian wacana dan pemikiran keagamaan tidak terjebak pada pemahaman yang parsial, dangkal, serta ansich  mengedepankan dimensi ideologis yang eksklusif. Pada konteks ini, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis Islam dituntut untuk menjadi garda depan mengawal pembaruan pemahaman Islam sebagai modalitas wacana dan pemikiran Islam dilingkungan mahasiswa.   
Akhirnya, mengurai problem gejala kaderisasi teroris mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sikap respon aktif banyak pihak mulai dari pimpinan kampus, organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis Islam hingga pemerintah, dalam hal ini polisi. Hemat penulis, polisi tidak harus melihat teroris mahasiswa sebagai penjahat, penebar teror, dan penghancur tatanan sosial, bangsa dan negara, tapi sebagai korban. Yakni, korban ideologisasi doktrin terorisme akibat kealpaan mewacanakan pemahaman agama yang inklusif, toleran, dan pluralistik.      
Terlebih bagi organisasi mahasiswa Islam, pemahaman-pemahaman Islam berbasis keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian dengan perangkat analisis metodologis mendesak untuk digelontorkan, diwacanakan dan dihadirkan terus menerus dilingkungan mahasiswa sebagai benteng penghalang proses infiltrasi doktrin terorisme. Upaya demikian bisa dilakukan dengan jalan menggalakkan forum-forum kajian, seminar, diskusi publik,dan sebagainya.
Tumbuh satu muncul-lah seribu. Itu mungkin bahasa yang tepat jika saja ada satu mahasiswa yang berhasil disusupi doktrin terorisme. Wabahnya akan semakin menjalar. Dengan kemampuan terdidik, kecerdasan dan kepintaran satu mahasiswa, sel-sel terorisme akan kian melebarkan sayap-sayapnya ditengah masyarakat.
Adalah tugas dan tanggung jawab semua pihak untuk menegakkan kembali panji-panji kampus sebagai ladang penggodokan orang-orang pintar, mujtahid, cendikiawan, ilmuwan dan kaum professional. Bukan tempat munculnya jenderal, pasukan, mujahid, atau pahlawan berani mati yang siap melakukan bom bunuh diri dengan alas an-alsan perjuangan suci menegakkan panji-panji ilahi. Stop! kaderisasi teroris kampus!         
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Stop! Kaderisasi Teroris Kampus”:

Leave a comment