Citra angker pansus Century

Oleh: Agung Suseno Seto*
Panitia kusus (pansus) angket Century sedikit menampakkan citra wajah angkernya. Keangkeran itu bisa dilihat dari gebrakan moral yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Srimulyani dan Wakil Presiden Boediono agar nonaktif dari jabatannya. Paling tidak pansus sudah berusaha menjerat pejabat-pejabat negara yang diduga menjadi hantu-hantu dalam penggelontoran dana Bank Century yang sementara kalangan menilai telah merugikan negara hingga 6,7 triliun rupiah.
Sontak himbauan pansus itu menggegerkan senayan. Reaksi keras bermunculan dari berbagai kalangan. Presiden pun tampak pasang ancang-ancang berdiri paling depan menolak himbauan moral pansus. Walau harus bertolak dari aspirasi sebagian masyarakat yang menghendaki Srimulyani dan Boediono dinonaktifkan, Presiden rela “bunuh diri citra” asal keduanya tidak menjadi korban angkernya pansus.
Wal hasil, himbauan tetap saja himbauan. Bak macan ompong, himbauan itu tidak memiliki gigi, tanpa sengatan. Tak jelas kemana akan berlabuh, walau nasib negara kian memprihatinkan. Nasib himbauan itu terkatung-katung menunggu sikap kenegarawanan pejabat-pejabat yang diduga menjadi hantu-hanatu negara. Dikatakan menunggu karena secara konstitusi memang tidak dibenarkan. Adalah sah tentunya jika himbauan itu tidak diindahkan oleh Srimulyani maupun Boediono. Kalau pun hendak diindahkan, tak bisa lepas dari restu Presiden.  
Tanpa merasa terusik sedikitpun, keduanya tetap berdiri diatas angin. Sah menurut konstitusi, tapi secara moral publik sudah menaruh sikap apriori dan curiga. Tidak salah jika apriori masyarakat juga dijatuhkan pada diri Presiden. Sebab, Presiden turut mengawal dan berdiri dibarisan paling depan menolak himbauan moral pansus. Lagi-lagi, alasan Presiden didasarkan alasan konstitusional. Menonaktifkan dua pejabat publik diatas adalah inkonstitusional. Kepastian hukum belum didapat apakah dua orang pilihan Presiden itu melanggar hukum atau tidak.
Ada asap pasti ada api. Begitu juga dalam kasus Century. Himbaun pansus bukan tanpa dasar, tapi berpijak pada temuan-temuan sementara yang sudah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengindikasikan ada keterlibatan keduanya dalam kasus Bank Century. Dan pun, masyarakat dilevel grasroot (akar rumput) mulai dari mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat dan ormas, hingga LSM juga mendesak agar Srimulyani dan Boediono dinon-aktifkan. Disinilah sebenarnya sikap kenegarawanan pejabat publik negeri ini diuji. Toh penonaktifan keduanya tidak berarti keduanya dijatuhi kesalahan. Tujuannya adalah agar proses-proses pengusutan berjalan secara efektif, elegen dan objektif. Lalu mengapa Presiden tampak gamang dan khawatir?
Desakan moral menghendaki tanggung jawab etis dan sikap kenegarawanan agar sudi melepas sejenak tugas-tugas kenegaraan demi menjalankan peran kenegaraan lainnya. Tidaklah sulit melengserkan Srimulyani dan Boediono berdasarkan pilihan moral. Dan bukan hal yang sulit juga mencari pengganti keduanya yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama.
Artinya, jika Presiden berkehendak, keduanya dapat diyakinkan agar untuk sementara tidak menjabat alias nonaktif. Nah, adakah alasan lain mengapa Presiden rela “bunuh diri citra” berhadapan dengan suara-suara moral masyarakat yang sebagian menghendaki Srimulyani dan Boediono dinon-aktikan? Sudah jamak dipahami, rumor keterlibatan keduanya dibalik kasus Century seolah kian mengkristal begitu dalam dibenak publik. Artinya, dosa-dosa sementara Century  diletakkan diatas pundak dua sosok ekonom tersebut.
Kalau boleh direka-reka, alasan mengapa Presiden membela dua orang kepercayaan itu karena adanya gejolak dan ketidaknetralan suhu politik dilingkaran kekuasaannya. Pilihan moral dan konstitusional dihimpit oleh motif-potif politis yang datang dari elit-elit sekitar senayan. Isu paling santer yang ramai diberitakan baru-baru ini adalah adanya pengkhianatan politik dilingkaran koalisi. Jauh hari sebelum itu pun, seteru Srimulyani dan Abu Rizal Bakrie bisa menjadi petunjuk ketidakstabilan kekuasaan Presiden. Tanda-tanda lain juga bisa dibaca dari kecemasan Presiden akan adanya gerakan politik dibalik gerakan sosial 9 Desember  lalu yang nyata-nyata tidak terbukti. Kecurigaan inikah yang mendasari Presiden tidak mengambil pilihan moral kepada dua orang kepercayaannya (Srimulyani dan Boediono)? Bukanlah himbauan pansus diatas sama dengan kasus Bibit-Candra (KPK atau Cicak) lawan Buaya (Polri)? 
Jika memang demikian, sikap Presiden itu tentu tidak produktif. Presiden mesti menaruh sikap positif dan bisa meyakinkan partner koalisinya untuk merapatkan barisan, menyatukan soliditas koalisi politik hingga akhir kepemimpinan. Masyarakat tentu tidak menginginkan isu pecah kongsi koalisi yang berpotensi menghambat kinerja dan program-program politik yang telah dijanjikan, lebih-lebih program 100 hari pemerintah.
Oleh karenanya, kecuriagaan terhadap pansus Century sebagai ajang atau momentum merongrong kekuasaan SBY selayaknya dibuang-jauh-jauh. Harapan publik semata-mata hanya agar tabir kasus Century disibak selebar mungkin. Akan lebih objektif jika proses pengusutan dalam posisi tidak menjabat agar tidak terjadi ketimpangan dan dualisme kepentingan.
Lanjutkan pansus angket Century. Buat seangker mungkin pansus agar hantu-hantu negara segera ditangkap dan diadili.               
*) Aktivis IMM Sukoharjo   

0 Responses to “Citra angker pansus Century”:

Leave a comment