Debat Capres ala Socrates

Oleh: Agung Suseno Seto*
Debat calon presiden (capres) perdana Kamis malam 18 Juni 2009 lalu cukup menarik perhatian kalayak. Sebagian menampakkan aura positif, namun tidak sedikit pula yang kecewa. Penulis pun termasuk pemirsa yang kecewa.
Kendati demikian, suguhan debat paling bergengsi sepanjang sejarah politik bangsa itu memberi pengalaman baru dan warna berbeda bagi wajah demokrasi kita. Nilai jualnya sangatlah mahal yaitu pendidikan politik bagi publik. Semakin berkualitas suasana debat, maka semakin mahal pula harga atau pelajaran politik yang bisa dipetik.
Dalam tradisi diskusi dan debat baik di seminar, workshop, lokakarya, dan sebagainya, kerap terdengar ungkapan populis penuh senda gurau seperti ”apakah jawaban yang diberikan memuaskan?” Biasanya ungkapan itu dilontarkan oleh moderator kepada audien atau peserta yang bertanya. Selain itu segudang alasan lainnya juga dilontarkan untuk menghindari rasa penarasan dan ketidakpuasan peserta.
Tradisi diskusi dan debat diruang-ruang akademik atau kampus tentu berbeda dengan debat capres yang ditonton sekitar tujuh puluh persen (70%) penduduk Indonesia. Selain materi yang diperdebatkan ilmiah, logis, realistis dan membumi, beban moral politik dan komitmen realisasinya berada diatas pundak kandidat yang berdebat.
Dalam diskusi dan debat kampus, misalnya, kepuasan dikembalikan kepada audien. Namun dalam debat capres, para kandidat harus bisa meyakinkan pemirsa yang notabene calon pemilih untuk mengikuti apa yang diwartakan. Debat harus berbobot tinggi.
Berbobot tidaknya debat capres adalah cermin kualitas calon pemimpin bangsa. Oleh karenanya tidak ada alasan untuk menghindar dari tuntutan kepuasan pemirsa. Dalam hal ini kepuasaan bagi pemirsa debat merupakan hak yang semestinya dipenuhi. Belajar kekecewaan publik terhadap debat capres perdana, bagaimana idealnya proses debat dilalui?
Makna debat     
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) debat merupakan pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal yang saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam konteks debat capres, para kandidat adalah orang-orang yang saling berdebat dan mendebatkan sekaligus berbantah-bantahan antar pendapat satu dengan lainnya. Debat harus dibarengi dengan alasan-alasan argumentatif dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jauh hari sebelum debat capres diadakan, debat simbol dan slogan diruang maya sudah berlangsung baik melalui iklan politik, poster, baliho, spanduk dan lain-lain. Selain itu debat semu juga bisa dilihat dari orasi antar kandidat dengan jarak yang sangat jauh seperti dalam kampenya terbuka. Para kandidat dalam setiap orasi politiknya kerap menyindir, menggugat dan menyalahkan pendapat kandidat diluar dirinya.  
Melalui debat nyata yang mempertemukan para kandidat dalam satu forum debat tidak lagi semu dan diawang-awang. Antar kandidat secara langsung dan terbuka saling berhadap-hadapan. Dari debat nyata itu akan terlihat siapa diantara para kandidat yang benar-benar menguasai persoalan sekaligus skenario problem solving (pemecah masalah) yang disodorkan. Jamak dipahami, persoalan bangsa kini sangat pelik, multidimensi, dan kompleks mulai dari kemiskinan, penganggran, korupsi, alustista, birokrasi awut-awutan, buruh migran, kekerasan terhadap perempuan, dan sebagainya. Tanpa diperkaya dengan wawasan memadai, intelektualitas mumpuni, dan perangkat analitis tajam, problem solving yang ditawarkan akan gersang dan dangkal.
Dari pengalaman debat capres perdana Kamis malam lalu, catatan kritik patut dilayangkan. Proses debat terlihat datar, normatif, monoton, dan tidak dialektik. Padahal, debat capres merupakan debat level tinggi dan menjadi penentu bagi masa depan bangsa. 
Rangkaian acara yang terlewatkan dan cukup membikin kecewa pemirsa adalah ditiadakannya sesi saling melontar tanya atau pun jawaban. Mengacu pada makna debat diatas, para kandidat sejatinya diberi ruang untuk saling berdebat, mendebatkan, dan berbantah-bantahan dalam melihat suatu persoalan.
Dialektika
Saling mendebat dan berbantah-bantahan itulah sebenarnya letak esensi debat yang kemudian muncul suasana dialektika dan bukan hanya sekedar dialogis dan komunikatif. Tidak menutup kemungkinan suasana dialektika akan mengarah pada penemuan suatu konsepsi dan kesepemahaman bersama dalam melihat persoalan. 
Bercemin dari tradisi filosof kondang dari Yunani, Socrates, dialektika adalah jalan pencarian kebenaran dengan cara bertanya, lalu dijawab, dan kemudian diperdebatkan. Proses pencarian itu dilakukan Sokrates dengan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya. Ketika jawaban dilontarkan, Socrates kembali menimpalinya dengan pertanyaan lain dan begitu seterusnya. Layaknya karakter seorang filosof, dialektika Socrates meniscayakan objektifitas, keterbukaan, kejujuran, dan kebijaksanaan. Terbukti, dialektika ala Socrates menginspirasi banyak orang sezamannya untuk terus menggali wawasan, pengetahuan dan menemukan kebanaran sejati dengan jalan dialektikanya.
Sayang, para lakon debat capres kurang menceminkan sosok-sosok  Socrates yang bijaksana dan haus akan kebajikan, wawasan, ilmu pengetahuan, dan kebenaran. Debat capres terjebak pada klaim-klaim kedirian bangsa yang santun, beradab, ramah, dan berbudaya tinggi. Klaim-klaim itu pada akhirnya menggiring debat capres pada suasana formalitas dan seremonial.   
Kesantunan dan keadaban dalam debat memang penting. Namun yang jauh lebih penting lagi adalah keterbukaan, kejujuran dan keberanian untuk mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Keterbukaan bukan berarti saling cibir, fitnah, dan mengumbar aib satu sama lain. Tapi berlapang dada menerima kritik, saran dan masukan dari siapapun. 
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Debat Capres ala Socrates”:

Leave a comment