Reorientasi kepemimpinan Golkar

Oleh: Agung Suseno Seto*
Hajatan akbar Partai Golkar, Musyawarah Nasional (Munas) ke-VIII di Pekan Baru, Provinsi Riau, telah memantapkan Aburizal Bakrie atau Ical sebagai pemegang pucuk pimpinan untuk peride 2009-2014. Dulu, diera Orde Baru (Orba), kemenangan beruntun direngkuh Golkar. Sejak reformasi dukungan politik kian menyusut.
Golkar baru berkibar. Pada Pemilu 1999, pucuk teratas diduduki PDIP. Namun pada Pemilu 2004, kejayaan Partai Golkar terulang, peraup suara terbanyak legislatif. Jelang Pemilu 2009, jarum jam dukungan berubah arah. Partai Golkar tersalip Partai Demokrat. Nama Akbar Tanjung mengudara seiring kejayaan Golkar di Pemilu 2004. Sementara Jusuf Kalla (JK) mendapat kritik tajam karena diangap gagal menakhkodai Golkar setelah pendahulunya, Akbar Tanjung.
Kini, Golkar dipimpin Aburizal Bakrie, sosok pengusaha kaya. Terkait dengan politik uang (money politic), Aburizal Bakrie secara verbal menilainya sebagai suatu kewajaran. Akankah kedepan Partai Golkar kian tergelepar terlindas gerak laju mesin politik partai-partai lain? Cukupkah kebangkitan Partai Golkar mengandalkan kepemimpinan berbasis uang? Saya pikir, jawabannya terletak pada sejauhmana publik menginterpretasikan wacana seputar revitalisasi visi-misi dan reorientasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Golkar.    
Dilema posisi  
Belajar dari dua suksesi kepemimpinan Partai Golkar pasca Akbar Tanjung, yakni JK maupun Aburizal Bakrie tampaknya kecenderungan pragmatisme kian mengental. Latar belakang pengusaha dan bermodal uang kuat dijadikan ukuran layak atau tidaknya duduk dipucuk pimpinan. Sementara kader-kader yang minim modal uang, tapi kaya wawasan dan intelektualitas, kurang mendapat pertimbangan. Sehingga bukan tidak mungkin, kepemimpinan Partai Golkar kedepan akan bergeser ke arah sentralisasi kepemimpinan berbasis uang. Hiruk-pikuk Munas Partai Golkar lalu memperkuat tesis diatas.   
Selain itu, pragmatisme pun tidak cuma dalam konteks kepemimpinan berbasis saudagar, tapi juga hasrat dan obsesi untuk tetap merapat kebarisan partai pemerintah. Wacana pilihan sikap politik calon Ketua Umum menjelang Munas Partai Golkar yang jauh-jauh hari sudah menampakkan gelagatnya, apakah akan menjadi oposan atau partner pemerintah, berpengaruh besar terhadap pilihan suara peserta Munas. Pilihan terhadap Aburizal Bakrie adalah pilihan untuk tidak menjadi oposisi.
Masing-masing pilihan memang memiliki konsekuensi. Pilihan tidak oposisi dapat mengamankan jalan Susilo BambangYudhoyono (SBY). SBY tidak merasa kawatir karena setiap kebijakannya akan berjalan mulus. Hanya saja, seberapapun kiprah atau kontribusi Partai Golkar dalam menyokong pemerintahan SBY, tidak sepenuhnya mewakili peran Partai Golkar. Kebesaran Partai Golkar akan terus berada dibalik bayang-bayang kinerja koalisi besar yang dibidani Partai Demokrat.
Sementara, jika pilihannya diantara oposisi dan tidak oposisi yakni partner yang kritis, akan memunculkan kesan sikap politik yang oportunistik. Pilihan demikian pun dirasa dilematis. Syak dan prasangka partai-partai koalisi besar pendukung SBY sulit dihindari. Partai Golkar akan dipandang sebagai duri dalam daging yang tidak secara penuh mendukung pemerintah.  
Berbeda jika pilihannya adalah oposisi. Selain menjawab kekawatiran banyak pengamat akan ancaman ketidakseimbangan politik diparlemen, saatnyalah Partai Golkar mengasah mentalitas oposan kader-kadernya. Jika mentalitas oposan terinternalisasi, maka dengan sendirinya peran, fungsi, dan tanggung jawab partai Politik sebagai pilar demokrasi berjalan secara maksimal. Sebuah mentalitas politik oposan yang sejak kelahirannya belum pernah dilakoni Partai Golkar. 
Bisa jadi, kekalahan Partai Golkar pada Pemilu lalu disebabkan oleh kurangnya melakoni peran-peran ideal partai, terjebak pada tarikan-tarikan kepentingan politik pragmatis. Pascakepemimpinan Akbar Tanjung, sisa-sisa pengaruh atau karisma politik dimata birokrat, pegawai, atau militer, kalangan sipil muslim seperti Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah (NU), tidak mampu dipertahankan. Sebuah panorama pragmatisme politik bercampur dengan kesan eksklusifitas. Partai Golkar sebagai partai terbuka, egaliter dan akomodatif terhadap segala aspirasi lintas simbol, profesi dan golongan tergerus arus dominasi model kepemimpinan berbasis saudagar dengan segala kekuatan modal uangnya.
Dukungan beberapa tokoh organisasi masyarakat agama seperti NU dan Muhammadiyah merupakan bukti keterbukaan Golkar dimata masyarakat. Tingkat kepercayaan kalangan muslim lewat tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah yang identik dengan pemahaman Islam moderat dan toleran juga menunjukkan bahwa orientasi perjuangan Golkar yang berkaitan dengan kepentingan Islam tidak terjebak pada simbol-simbol skriptural dan formal.
Terbuka
Oleh karenanya, corak kepemimpinan Partai Golkar sedapat mungkin mampu membuka ruang-ruang bagi hadirnya elit-elit sipil muslim yang memiliki basis riil dimasyarakat, kususnya kalangan muslim. Program-program politik perlu diselaraskan dengan tujuan perjuangan ormas agama. Sebab, basis riil politik terletak dijantung-jantung ormas agama yang selama ini belum tergarap dan terberdayakan secara maksimal. Agenda-agenda keadilan, kebebasan, kesejahteraan, penegakan hukum, kemiskinan dan sebagainya harus dijadikan komitmen.
Jalan melepas baju eksklusifitas kepemimpinan Golkar adalah melakukan reorientasi kepemimpinan. Artinya, perlu reorientasi latar belakang kepemimpinan yang tidak melulu didominasi kepemimpinan berbasis saudagar. Yakni, kepemimpinan transformatif, intelektual, karismatik, visioner, wasanan teruji dan seagainya. Pragmatisme politik dan kepemilikan uang besar bukanlah segalanya dalam menentukan masa depan partai. Tapi pemimpin yang kaya akan gagasan brilian dan mampu mengkomunikasikan keberagaman diinternal Partai Golkar yang bisa dibilang “unik” dari lainnya. 
Wajah Golkar akan lekang dan kian melekat pada beberapa partai lain, seperti Partai Demokrat, yang sekilas tampak mengarah pada karakteristik yang dimiliki Golkar, jika tidak segera berbenah diri. Hanya saja, Golkar jauh lebih banyak mengenyam asam garam pengalaman politik. Partai Demokrat lahir diera reformasi. Sementara Golkar ada sejak era Orba. 
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Reorientasi kepemimpinan Golkar”:

Leave a comment