Terorisme, agama dan politik

Oleh: Agung Suseno Seto*
(Peneliti RESCI (Religion and Social Change Insitut), tinggal di Solo}

…menanggulangi kekerasan agama, ternyata pada akhirnya terletak pada apresiasi pembaruan agama itu sendiri. (Mark Juergensmeyer).

Ungkapan optimisme diatas diutarakan salah seorang pakar terorisme kontemporer. Kekerasan berbau agama (baca:terorisme) merupakan fase transisi yang diyakini akan berakhir, tapi sebuah akhir yang bersarat. Bahwa, diatas pentas sejarah terorisme agama terselip secercah desiran pesan suci yang dimanifestasikan dalam wujud perlawanan dan perjuangan untuk kebaikan-kebaikan publik sekaligus nyala lentera bagi tatanan moral. 
Terawang optimisme masa depan umat manusia dan agama yang meniscayakan pembaruan agama diatas memang patut diapresiasi dan dikonfirmasi ulang dengan konteks terorisme di Indonesia yang kerap berseliweran sejak hampir satu dasawarsa belakangan ini. Fenomena faktual adalah ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot Mega Kuningan Jakarta Jum’at (17/7). Akibatnya sembilan orang meregang nyawa dan puluhan lainnya luka-luka baik ringan maupun parah. Bagaimanapun kekerasan tetaplah kekerasan. Apapun bentuknya, nurani kemanusiaan, logika keadilan maupun agama pasti menolaknya.
Politisasi teror?  
Terorisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks dan situasi sosial dan politik hingga perubahan budaya (culture change). Sehingga tafsir terorisme menjadi luas. Berbagai rentetan ledakan bom sejak setengah dasawarsa meneguhkan asumsi awam publik bahwa apa yang terjadi tidaklah selalu terorisme agama. Artinya, bisa terorisme politik maupun kriminalitas murni. Dalam terorisme agama, ramai-ramai semua kalangan mengecam. Sementara, terorisme politik hanya menguntungkan segelintir elit dan kerusakannya sepenuhnya ditimpa diatas pundak masyarakat. Jika muncul kecaman tak lebih dari “maling teriak maling”.
Kehadiran teror bom Mega Kuningan Jakarta baru-baru ini yang bertepatan dengan penyelenggaraan hajatan pesta demokrasi menguatkan fleksibelitas makna terorisme dari agama (terorisme agama) ke politik (terorisme politik). Bahkan pernyataan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyon (SBY) pasca ledakan bom secara sederhana bisa dimaknai bahwa ada upaya-upaya politisasi teror untuk tujuan-tujuan politik tertentu dan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Begitupun dengan aksi-aksi teror sebelumnya, selalu beriringan dengan momen-momen politik.
Karakteristik terorisme Indonesia yang sulit diidentifikasi baik ideologi, tujuan, program atau apakah terorisme agama atau terorisme politik, tidaklah berbahaya bagi kekuasaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan malah menguntungkan kekuasaan itu sendiri. Sebab, aksi-aksi yang ada bukannya menarik simpati, tapi sebaliknya yakni penolakan dan kecaman.
Agama dan politik
Terlepas dari isu politisasi teror yang sempat menyeruak ditengah publik beberapa waktu lalu, membaca bahaya laten terorisme sejatinya diteropong dari banyak aspek. Agama adalah salah satunya.
Pada konteks ini, agama dan terorisme ibarat dua mata uang yang tak bisa dipisahkan biarpun secara substansi berlawanan. Bahkan, untuk beberapa kasus adanya hubungan agama dan terorisme merupakan tesis tak terbantahkan. Kendati demikian dalam konteks terorisme diIndonesia tidak lantas tesis itu mendapat mendapat tempat.
Seperti temuan Mark Juergensmeyer (2003:9), bahwa agama turut memberi motivasi, justifikasi [pembenaran], organisasi dan pandangan dunia. Kekerasan dilakukan karena sifat alami imajinasi agama, yang selalu memiliki kecenderungan mengabsolutkan dan memproyeksikan pandangan-pandangan perang kosmik.
Kekerasan juga banyak dilakukan bersamaan dengan ketegangan-ketegangan sosial didalam ruang sejarah masa kini, yang menuntut solusi-solusi absolut dan perasaan terhina dari orang-orang yang ingin memulihkan integritas, yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang hilang akibat perubahan-perubahan sosial dan politik global. Ide-ide agama hendak menyumbangkan kedalaman dan kejernihan atau kemurnian ideologi (ideology clarity) bagi berbagai kasus pengalaman nyata kemiskinan ekonomi (economic destitution), penindasan sosial (social apression), kecurangan politik (political corruption) dan keputusasaan karena harapan yang dimunculkan kehidupan modern.
Pada ranah inilah kekerasan berbasis agama hadir ketika bertemali dengan realitas sosial-politik konkrit. Agama hendak direkomendasikan ketengah kehidupan publik sebagai jawaban solutif atas anomali-anomali yang ada akibat dominasi sekularistik. Pada akhirnya, agama harus bergandengan dengan dinamika politik dan benturan-benturan kepentingan kekuasaan. Hal demikian berangkat dari pandangan bahwa agama dan politik memiliki keterpaduan absolut.
Adanya keterpaduan absolut antara agama dan politik-lah sejatinya akar kekerasan agama. Atas dasar pandangan demikian agama ditarik dalam pergumulan kekuasaan untuk tujuan-tujuan politik agar agama menjadi titik pijak dalam kehidupan publik baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, selama agama masih meneguhkan dirinya dalam konteks dinamika sosial politik skriptural dan formalis, potensi-potensi resistensi akan tetap menyeruak.
Dalam konteks politik dan relasinya dengan agama di Indonesia, sebenarnya hingga saat ini pun terus mengalami pergulatan dan pencarian bentuk. Sayangnya, relasi yang terbangun tidak menampakkan proporsionalitas dan keseimbangan utuh baik dalam wacana maupun praktek. Antara modernisasi (negara bangsa) dan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas (agama) masih timpang dan saling mensubordinasi.
Merupakan tugas bersama bagi semua elemen untuk menghadirkan agama tidak selalu berdimensi politik skrituralis dan formalis. Menarik keluar agama dari pentas politik bukan berarti memarginalkan peran agama dari dinamika urusan publik. Tapi menyelamatkan agama dari objek “kuda tunggangan” atau justifikasi semu untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertolak belakang dengan spirit agama itu sendiri.   
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Terorisme, agama dan politik”:

Leave a comment