Aku pakai batik, maka aku ada

Oleh: Agung Suseno Seto*
Arus modernitas lintas batas yang digerakkan oleh globalisasi makin deras. Pelbagai ragam produk pasar yang menuntun kita bagaimana cara makan, minum, hiburan hingga berpakaian, secara perlahan tapi pasti menggerus nilai-nilai budaya lokal bangsa, tak terkecuali batik.
Batik sebagai hasil kreasi budaya lokal yang mulai gencar di-global-kan dan diperhadapkan dengan produk pasar non lokal (produk asing) kini tidak lagi inheren dalam kehidupan masyarakat. Lebih-lebih para remaja. Remaja saat ini lebih gandrung terhadap produk-produk asing. Bagaimana sikap kita? Sejauhmanakah relevansi produk lokal batik sebagai medi aperlawanan terhadap hegemoni budaya global?
Budaya dominan
Produktifitas batik memang mengalami kemajuan dan perkembangan cukup berarti. Berkat tangan-tangan kreatif anak bangsa yang sadar akan nilai-nilai budaya lokal, batik dengan segala motif, corak, desain, fungsi dan teknik produksinya telah mewarnai aksesori-aksesori mulai dari sepatu, dompet, tas, sandal dan sebagainya.
Namun bila diteropong pada sisi lain, upaya lebih jauh mempopulerkan batik mengalami pasang surut. Bahkan anjuran ibda’ binafsi (memulai dari diri sendiri) tidak dijadikan doktrin ampuh guna membopong batik menjadi produk budaya komersil yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomis sebelum dilagakan dengan produk-produk asing dikancah global.
Kalaupun ada sebagian masyarakat kita yang berpakaian batik, biasanya hanya popular dan didominasi oleh kalangan tertentu yakni kalangan yang tidak lagi remaja atau muda. Pun penggunaan batik identik dengan moment-moment tertentu seperti acara pernikahan, pameran budaya, kebijakan wajib seragam batik pada instansi atau lembaga pemerintah, sekolah, dan acara-acara resmi lainnya.
Sebaliknya, bagi kalangan remaja, batik tidak lagi populer dan mereka lebih gandrung terhadap produk-produk buatan asing yang mencitrakan budaya Amerika atau Barat. Para remaja menganggap akan lebih nyaman, merasa modern, dan gaul bila berpakaian seperti apa yang diinformasikan oleh banyak iklan. Sementara menggunakan batik dianggap kolot, tradisional, dan ketinggalan zaman.
Lewat iklan yang dikemas dalam media elektronik (baca: teve), majalah, koran, dan sebagainya, produk budaya asing itu mewabah begitu massifnya dan mempengaruhi cara berpakaian masyarakat kita. Disana ada blue jeans, t-shirt, baju loreng, bermacam warna rambut, laki-laki pakai anting, bibir dan pusar diberi anting. Selain itu, yang membuat kita lumayan geli adalah pusar bukan lagi bagian badan yang harus ditutupi.
Tidak cuma menjamur di kota-kota besar, hal demikian juga sudah mewabah sampai ke kota-kota kecil hingga desa. Dimana produk budaya asing menancapkan kuku-kukunya, maka disitulah masyarakat terhipnotis oleh bujuk rayu iklan yang menawarkan produk tersebut. Bahkan Solo sendiri yang dijuluki Kota Budaya, budaya asing itu kini sedang gencar-gencarnya menjalar lewat mall-mall, supermarket, dan swalayan. 
Faktor yang paling dominan menggiring masyarakat kita untuk melupakan akar tradisi budayanya adalah kekalahan bangsa ini dalam kancah globalisasi. Bukan keuntungan bersama yang didapat dari globalisasi, atau paling tidak ada semacam elaborasi antar ragam budaya. Akan tetapi yang terjadi adalah dominasi budaya tertentu terhadap budaya lainnya.
Indonesia yang kaya akan ragam budaya dan segala kekhasannya sejak lama sudah menjadi bagian dari globalisasi itu. Namun karena ketidakmampuan kita menjadi budaya dominan maka kita pun ikut arus dalam budaya asing itu. Akankah keragaman budaya lokal yang selama ini menjadi kebanggan kita, tak terkecuali batik, mampu eksis ditengah gempuran produk-produk budaya Barat yang mewakili budaya Amerika yang semakin dominan?
Melawan dominasi
Sulit diprediksi memang. Namun hemat penulis, satu hal yang mutlak, doktrin globalisasi yang meneguhkan keunggulan, kemodernan, dan kemajuan Amerika atau Barat sebagai referensi gaya, mode, maupun pola hidup yang terlanjur melekat dalam benak anak bangsa harus disingkirkan. Dalam hal teknologi Amerika atau Barat memang nomor wahid, namun tidak semua produk mereka harus dijadikan panutan. Dominasi itu harus dilawan dengan kekhasan dan kekayaan lain yang kita miliki, yakni tradisi budaya lokal.
Dalam konteks itulah usaha mempopulerkan batik ditengah masyarakat tidak hanya sebatas berseru “kenali, cintai, sayangi, beli dan pakailah batik”. Atau keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh sekolah atau instansi/lembaga pemerintah yang mewajibkan para murid, guru atau pegawai birokrasi mengenakan batik pada hari-hari tertentu.
Akan tetapi, sejak dini, pengenalan pada dimensi dan aspek terdalam makna batik dan kesadaran perlawanan terhadap dominasi budaya asing yang destruktif dan merusak seyogyanya dijadikan strategi. Pengenalan itu memberi pengertian bahwa, menjiplak budaya asing dengan mengabaikan dan acuh terhadap tradisi budaya sendiri hanya akan melanggengkan dominasi budaya asing, menenggelamkan budaya sendiri, serta meneguhkan ketidakberdayaan kita.
Dengan memahami aspek terdalam akan tradisi budaya secara holistik, optimisme kebesaran bangsa sendiri, dan kesadaran perlawanan terhadap dominasi budaya luar, maka kepercayaan menggunakan batik akan tertanam kuat dalam diri anak bangsa. “Aku pakai batik maka aku ada”, begitu kira-kira harapan bersama kita agar eksistensi bangsa dan segala keragaman budayanya hadir mewarnai era globalisasi.
Bukan tidak mungkin, bila seruan “ibda’ binafsi” dan “Aku pakai batik maka Aku ada” selalu diingat, dihayati, dan dipraktekkan, Indonesia akan lebih berperan dalam pergulatan era globalisasi saat ini yang kadung masuk didalamnya. Pandangan optimistis harus tetap dibangun dengan memerankan bangsa ini lewat kekayaan dan ragam budaya yang kita miliki biarpun pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) masih jauh panggang dari api. 
*) Aktivis IMM Sukoharjo



0 Responses to “Aku pakai batik, maka aku ada”:

Leave a comment